Fb. In. Tw.

AARC-MKAA: Kekerasan Seksual dan Nasionalisme

Asian-African Reading Club–Museum Konferensi Asia-Afrika (AARC-MKAA) adalah sebuah komunitas baca yang berdiri di bawah naungan Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika (SMKAA) dan didirikan pada tahun 2009. Terbentuknya komunitas ini didasari oleh semangat Bandung yang digelorakan di dalam Konferensi Asia-Afrika pada 1955 dan bervisi membentuk kehidupan peaceful co-existence (hidup berdampingan secara damai).

Saat ini, AARC-MKAA dengan program tadarusan bukunya setiap Rabu sore, sedang menggulirkan buku The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani yang memaparkan sejarah di balik terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Biasanya, setelah para sahabat AARC bertadarus buku–membaca secara bergilir beberapa paragraf–hingga selesai satu atau dua bab, dilanjutkan dengan berdoa, menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, kemudian diskusi mengenai bab yang sedang ditadarusi oleh narasumber dari bidangnya masing-masing.

Berbeda dari biasanya, diskusi buku AARC kemarin (28/1) kedatangan tamu spesial dari komunitas One Billion Rising (OBR) dan Yayasan PULIH, yang berbagi pengalaman, pengetahuan, dan kepedulian di bidang kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Setelah tadarusan buku The Bandung Connection hingga akhir bab 15, acara dilanjutkan dengan perkenalan dari teman-teman komunitas tersebut, termasuk memperkenalkan apa itu komunitas One Billion Rising dan apa itu Yayasan PULIH. Sebelum acara diselingi sementara dengan istirahat dan shalat Maghrib, terlebih dahulu ada sajian film Oppressed Majority dari OBR yang mengisahkan kekerasan seksual yang di Perancis.

Pemutaran film "Oppressed Majority".

Pemutaran film “Oppressed Majority”.

Setelah teman-teman melaksanakan shalat sambil beristirahat, acara dilanjutkan dengan berdoa, menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, dan diskusi hangat seputar kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Muhammad Rizky–atau yang lebih senang dipanggil Kibot–pembicara dari OBR, berbagi pengetahuan dan pengalaman selama berkecimpung dalam membagikan kepedulian pada korban kekerasan seksual. Katanya, “kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan saja, tetapi juga terjadi pada laki-laki.” Dampak dari kekerasan seksual begitu berbekas pada diri korban, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikis. “Yang paling sulit adalah membuat korban kekerasan mau bicara,” katanya. Korban biasanya menangis dan menolak membicarakan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya, yang membuat para terapis, konselor, dan orang lain yang ingin membantunya kewalahan dalam menangani masalah ini.

Tanggapan dari teman-teman AARC pun tidak kalah seru dari bahasan yang dipaparkan oleh OBR dan Yayasan PULIH. Seperti Lely Mei, setelah membacakan salah satu puisi dari buku “Dari Atas Viaduct” berjudul Bondon, berkomentar dengan semangat, “Hai Wanita, berhentilah merasa menjadi korban. Lawan!” Selain itu, ada juga tanggapan lagi dari Taufiq Abdullah (sesepuh AARC berusia 79 tahun) yang memaparkan mengenai kerangka pemikiran psikoanalisis Freud demi membedah kekerasan seksual yang terjadi itu. Beberapa tanggapan lain pun bermunculan, baik dari teman-teman OBR, Yayasan PULIH, maupun perawat Rumah Sakit Boromeus yang juga hadir malam itu. Diskusi hangat menyita perhatian teman-teman yang hadir sebanyak hampir 40 orang tersebut.

Taufiq Abdullah (79 th) di tengah-tengah Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika (SMKAA).

Taufiq Abdullah (79 th) di tengah-tengah Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika (SMKAA).

Bagi saya pribadi, berbagi pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian terhadap kekerasan seksual memberi kesan tersendiri, terutama dalam hal peaceful co-existence yang digagas para founding father negeri ini 60 tahun silam[i]. Diadakannya Konferensi Asia-Afrika menyuarakan pesan perdamaian dan persatuan di antara negara-negara dari dua benua menuju kemerdekaan diri mereka, demi hidup berdampingan secara damai. Begitu pula kemarin malam, para sahabat yang hadir menyuarakan pesan perdamaian dan persatuan di antara komunitas-komunitas untuk menghentikan tindak kekerasan seksual, dari lingkungan sendiri, dari hal yang kecil, dan dari sekarang, demi hidup berdampingan secara damai, demi masa depan yang lebih baik.[] Bandung, 29 Januari 2015

[i] Hidup berdampingan secara damai hanya dapat dicapai, apabila beberapa persyaratan pokok lebih dahulu dipenuhi. Antara lain, bahwa kita semua harus siap dengan suatu sistem pembelaan terhadap agresi. Kalau tidak, perdamaian tidak akan dapat dipelihara (Lihat Roeslan Abdulgani, The Bandung Connection (1980:132)). Salah satu bentuk agresi adalah kekerasan seksual.

Sumber foto: Dokumentasi Pramukti Adhi Bhakti

Post tags:

Pegiat Asian African Reading Club-Museum Konferensi Asia Afrika dan menglola blog pribadi pramredesign.wordpress.com

KOMENTAR
You don't have permission to register