Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Lutfi Mardiansyah

Tamsil Tentang Mawar
____: kepada Serdar Ozkan

Di Topkapi, di sebuah pondok
dengan permadani Persia
perempuan itu memintaku bunuh diri
atau menyeruput kopi Turki.

Ia mengutip Hodja
mengawali cerita:

“Dari mana seorang tukang kebun
mendapatkan sekeranjang dongeng
untuk dikisahkannya kepada para
pengunjung taman, jika bukan dari
bibir mawar yang mekar dan berujar?”

Ia berjanji akan memberiku cendera mata
—sebaris kata mutiara—selain gema
arus Bosphorus dan perahu Ottoman
pada lukisan sepia.

Di Topkapi,
demi mendengar
setangkai mawar bernyanyi,
aku akan bunuh diri,
setelah secangkir kopi Turki.

 

Dari Beethoven Kepada Guicciardi

____Kejelitaanmu kudentingkan
____dalam sebuah sonata,
____ketika aku telah kehilangan telinga.

Di partitur itu
aku menyimpan alis matamu,
seperti menaruh nafas
pada deretan lubang flute.

Kugubah senyummu
ke dalam nada-nada lembut,
sesuatu seperti kesedihan selo
atau ratapan rapuh tuts piano.

Ini lebih sulit dari sekadar
menyisipkan adagio
ke dalam Alegria Schiller,
sebab nada seperti apa
yang sepadan senyummu?

Guicciardi, barangkali
musik menjadi abadi,
manakala kita tak dapat
mendengar apa-apa lagi.

Tak ada lagi suara,
hanya purnama di atas Cantones,
terang membayang di atas air,
gelagat kepergianmu yang getir.

Karenanya kugubah
Sonata Claro de Luna,
di mana tak jeda-jeda
aku menyatakan cinta.

 

Diomira

Setelah bertolak ke arah timur
dari sebuah September,
menempuh tiga matahari,
ia tiba di Diomira.

Di gerbang kota,
dikenalinya 60 kubah
berpelitur perak
dan setapak timah.

Dewa-dewa
terperangkap
dalam perunggu

dan musim gugur terbit
dari teater kristal.

Lampu-lampu kedai
meringkas hari
masuk musim semi.

Ia kenali kebahagiaan
yang dulu dirasakannya
di kota ini, dan kini
melangkah melewati
gerbang itu, ia merasa
bahagia lagi.

 

Isidora

Setelah sekian lama berkuda,
akhirnya ia melihat—atau
lantaran hasrat, ia mengira
telah melihat—kota.

(Ia mengelus janggutnya
yang putih, dan percaya bahwa
segalanya adalah mimpi,
maka ia menghela kudanya
agar berlari.)

Tapi memang ia dapati kota—
cangkang kerang pada tekstur tangga,
bangunan-bangunan melingkar,
pabrik teleskop dan biola.

Di Isidora, orang-orang
menggunakan teleskop
untuk menilik benda angkasa
dan memainkan biola
untuk melihat surga.

Ia ingin berkata, Inilah kota
yang kuimpikan sejak muda,
tapi ia hanya kembali mengelus
janggutnya yang putih.
Kenangan memutih.

 

Dorothea

Seorang sais unta,
pada suatu pagi
memasuki Dorothea
dan mendapati empat menara
mencium langit alumunium.

Dulu aku datang ke kota ini
manakala musim semi,
dan jembatan-jembatan itu belum mati.
Parit di bawahnya mengalir
dengan air warna safir, mengalir
ke arah empat kanal hijau,
melintasi kota sebelum pecah
jadi sembilan sungai kecil.

Kukenali Dorothea, kota
dengan pasar yang sibuk—
para perempuan bergigi rapi,
serdadu meniup terompet,
dan gerobak yang hilir mudik—
sebagaimana kukenali gurun
dan jalur-jalur kafilah
di belakang punggungku
dan punuk si unta.

Tak beda, masa lalu
dan yang akan tiba.

 

KOMENTAR

Lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Menulis puisi dan prosa, serta menerjemahkan karya sastra. Saat ini tinggal di Bandung bersama istri, anak, dan seekor kura-kura.

You don't have permission to register