
Chungking Express, Dari Kenelangsaan Hingga Murakami
Preambul
Hong Kong 1994, hampir bulan Mei, wanita dengan wig pirang, mantel hujan, dan kacamata hitam berjalan tergesa melewati lorong-lorong yang padat, lorong-lorong yang dipenuhi oleh transmigran India. Sesekali wanita dengan wig pirang itu melihat ke arah belakang. Sementara, gelap telah jatuh di potongan kota itu. Kurang-lebih, begitulah sin yang membuka film Chungking Express (1994) garapan Wong Kar Wai.
Sin wanita dengan wig pirang itu dibingkai dengan tingkat frame yang rendah tetapi diproyeksikan dengan kecepatan normal. Maka yang kita lihat hanyalah kelebatan gambar yang terasa cepat dan terpotong-potong. Teknik tersebut kelak digunakan dalam sin-sin setelahnya. Teknik ini pula, dalam beberapa hal, menguatkan pengadeganan tentang latar yang riuh, keresahan, atau perasaan terisolasi para tokohnya.
Sin berlanjut dengan peristiwa dan senandika dari He Zhiwu, seorang polisi berkode 223, salah satu tokoh senter dari cerita ini, selanjutnya saya menggunakan 223 untuk menyebut He Zhiwu. 223 sendiri, baru-baru itu, tepatnya pada awal April sebelumnya, dicampakkan oleh kekasihnya.
Terdapat dua kisah senter dalam Chungking Express. Kisah tentang 223 adalah yang pertama, kisah kedua dinarasikan oleh seorang yang juga petugas kepolisian, ia berkode 663. Hampir mirip dengan 223, petugas berkode 663 itu, seiring berjalannya cerita, dicampakkan oleh kekasihnya yang bekerja sebagai seorang pramugari.
663 digambarkan sebagai seorang yang kurang perhatian. Ia selama itu kurang memperhatikan hal-hal kecil, misalnya jumlah ikan dalam akuariumnya, CD musik yang ada di kamarnya, bahkan ia tidak tahu bahwa kekasihnya tidak menyukai salad yang selalu ia berikan.
Kisah antara 223 dan 663 dihubungkan dengan sebuah kantin bernama Midnight Express. Keduanya sering membeli makanan di sana pada jam kosong, meskipun keduanya tidak pernah berbicara bahkan bertemu secara langsung. Di kantin inilah, 663 bertemu dengan Faye, seorang pelayan kantin yang kelak melanjutkan kisah cintanya. Selain kantin itu, hubungan dari dua tokoh tersebut, tentu saja, rasa kenelangsaan-pasca-dicampakkan mereka masing-masing.
Kenelangsaan yang Memikat
Wong Kar Wai, dalam film ini menghadirkan kisah-kisah yang memikat. Baiklah, “memikat” barangkali kata adjektiva yang terlalu abstrak. Maka saya hanya bisa memaparkan seperti ini, bahwa Wong menghadirkan peristiwa yang dekat dan barangkali pernah juga dirasakan oleh penontonnya, khususnya dalam penggambaran rasa kenelangsaan dan patah hati.
Kenelangsaan dihadirkan oleh Wong dengan peristiwa yang bisa dibilang metaforis. Misalnya, saat 223 menghabiskan 33 nanas kalengan yang hampir kedaluwarsa, hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa rasa cintanya juga telah kedaluwarsa.
Setelah menghabiskan 33 nanas kalengan, 223 pergi menuju sebuah bar untuk minum dan mengurangi rasa mual sehabis memakan 33 nanas kalengan. Di bar itu, 223 bertemu dengan wanita dengan wig pirang, mantel hujan, dan kacamata hitam. Hingga akhirnya, pertemuan singkat itu berakhir pada sebuah kamar hotel. Tidak banyak yang bisa dilakukan 223, sebab wanita itu langsung tertidur. 223 akhirnya pergi setelah menyeka sepatu wanita itu dengan dasinya.
Pada pagi harinya, 223 lari berkeliling di sebuah lapangan, meskipun saat itu hujan sedang turun. Sebab setiap kali patah hati, 223 merasa harus berlari, ia menganggap bahwa ketika cairan dalam tubuhnya habis melalui keringat, maka tidak akan ada sisa cairan lagi untuk menangis.
Setelah berlari, sebuah kiriman pager diterima oleh 223, ucapan selamat ulang tahun dari wanita dengan wig pirang. Dengan gembira, 223 bersenandika dalam hatinya, “Jika kenangan dapat dikalengkan, aku berharap itu tidak akan kedaluwarsa. Jikapun tanggal kedaluwarsanya harus dicantumkan, aku berharap akan habis seribu tahun lagi.”
223 tidak pernah tahu, bahwa wanita dengan wig pirang itu adalah seorang penyelundup narkoba. Wanita itu mempekerjakan transmigran India untuk mengirimkan narkoba. Namun apa boleh buat, saat itu 223 merasa bahagia. Kisah tentang 223 berakhir di sana. Barangkali sebagai penonton, kita cukup tahu, bahwa kisah kenelangsaan 223 akan lebih panjang setelah skrip film berakhir.
Berbeda dengan 223, ketika patah hati 663 melakukan kegiatan yang barangkali dilakukannya dengan setengah sadar. Ia semakin memperhatikan hal-hal kecil di dalam kehidupannya, termasuk benda-benda peninggalan mantan kekasihnya.
Ia secara harfiah mulai bercakap-cakap dengan batang sabun yang semakin kurus, helai serbet yang kerap menangis sehabis dicuci, dan seragam pramugari yang berbau apak milik mantan kekasihnya.
Bahkan 663 tidak langsung menyadari, ternyata ada orang yang masuk ke dalam kamarnya, orang itu adalah Faye, pelayan kantin Midnight Express. Setelah mendapatkan kunci dari mantan kekasih 663, Faye secara rutin masuk ke dalam kamar 663 untuk menyekanya, mengganti batang sabun yang hampir habis, mengganti gelas kotor, dan memberikan ikan-ikan baru di dalam akuarium.
Di luar dari alur cerita, kenelangsaan ini perkuat juga lewat sinematografi yang mendukung. Kamera yang bergoyang, pengambilan gambar dari sudut yang jauh atau dari sela-sela ruang yang tertutup, dan lain sebagainya, menguatkan impresi-impresi peristiwa.
Pada akhirnya, baik 223 atau 663 menyikapi kenelangsaannya dengan cara yang berbeda, bahkan jika kegiatan-kegiatan itu terlihat konyol. Dengan begitu, barangkali hal itulah yang membuat karya ini dekat dengan penontonnya. Maksud saya, bukankah semua orang pernah patah hati, dan semua orang memiliki caranya masing-masing untuk tetap melanjutkan hidup, bahkan dengan cara sekonyol apapun?
Wong dan Murakami
Konflik yang seakan tipis tentang persoalan kaum urban, alusi-alusi budaya pop, protagonis yang nelangsa dan terisolasi karena pikirannya sendiri, tindakan dan keyakinan tokoh yang seolah absurd, tokoh wanita yang terasa dingin dan superior. Dari hal-hal tersebut, saya tak bisa tidak mengaitkannya dengan karya-karya Haruki Murakami. Hal ini memang sering diangkat, yaitu keterkaitan antara karya-karya Wong Kar Wai dan Haruki Murakami. Keduanya memang menghadirkan kisah-kisah yang cenderung murung.
Stephen Teo menyandingkan sin awal Chungking Express dengan pembuka cerpen “On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning”. Menurut Stephen, keyakinan tokoh 223 bahwa ia bertemu dengan wanita yang tepat dalam Chungking Express terinspirasi dari tokoh narator dalam cerpen Murakami tersebut.
Wong’s chief inspiration for Chungking Express was a short story entitled ‘On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning’ by the Japanese novelist Haruki Murakami. The story is about the mutability of perceptions, and begins with the sentence, ‘One fine April morning, I passed my 100% woman on a Harajuku back street.’ Chungking Express similarly begins with a chance encounter, which becomes a motif in the first episode.1
Margaret Hillenbrand juga menulis tentang keterkaitan dua pekarya tersebut dalam jurnalnya yang mengangkat pengaruh karya Haruki Murakami kepada pekarya di Tiongkok Raya. Dalam jurnal itu, Margaret merangkum ulasan-ulasan yang mengaitkan Chungking Express dengan karya-karya Haruki Murakami sebagai berikut.
The film’s Chinese title, Chongqing senlin (Chungking Wood) is an obvious nod to Norwegian Wood, and is universally acknowledged as such. From here on in, however, there is little consensus on exactly why or how the film is “so Murakami.”2
According to Yomota Inuhiko (2006, 146), it is the author’s early works, and particularly Hear the Wind Sing (Kaze no uta o kike, 1979), that Wong consciously “channels” in Chungking Express.3
Namun, dalam jurnal yang sama, Margaret menyangkal bahwa Wong, khususnya dalam hal ini, Chungking Express, serta-merta meniru karya-karya Murakami. Barangkali benar, kisah Murakami memang hadir dalam Chungking Express, tetapi Wong membentuk Chungking Express dengan sedemikian rupa dengan teknik artistik tertentu dan membuat karya yang sama sekali baru.
Possibly all these Murakami tales live again in Chungking Express; but more likely, tracking paths of influence is only part of the point. I would argue here that Wong reads Murakami not as a corpus of texts that can be plundered at will for in-the-know allusions, but rather as a mood that can be bent and shaped to fit other artistic impulses altogether.4
Selain hal-hal di atas, kisah penyusupan Faye dalam Chungking Express mengingatkan saya kepada cerpen Murakami berjudul “Scheherazade”. Perlu diketahui, saya lebih dulu membaca cerpen “Scheherazade” yang baru dirilis pada tahun 2014, 20 tahun setelah Chungking Express.
Scheherazade tentu hanya nama samaran dalam cerpen ini. Ia kerap berkisah apa saja kepada Habara setelah mereka bersetubuh, lalu setelahnya pulang sebelum pagi hari─dari sanalah nama samaran Scheherazade.
Pada suatu ketika Scheherazade bercerita kepada Habara, bahwa ia pernah membobol rumah bocah lelaki yang disukainya ketika ia duduk di bangku SMP.
“The coolest thing about being in someone else’s house when there’s no one there,” Scheherazade said, “is how silent it is. Not a sound. It’s like the quietest place in the world. That’s how it felt to me, anyway…”5
Tidak berhenti di sana Scheherazade kecil mengambil pensil milik bocah lelaki itu. Ia juga menaruh tampon miliknya di laci meja bocah lelaki itu, dengan begitu ia tidak merasa sebagai pencuri. Saat itu Scheherazade kecil merasa menjadi bagian dari bocah itu.
He wouldn’t have a clue that one was missing. And he probably still hadn’t found the tampon tucked away in his drawer. That idea excited me no end—it gave me a strange ticklish sensation down below. It didn’t bother me anymore that in the real world he never looked at me or showed that he was even aware of my existence. Because I secretly possessed something of his—a part of him, as it were.6
Tindakan ini terus dilakukan oleh Scheherazade kecil. Ia telah kecanduan akan sebuah sensasi yang dirasakan saat berada di dalam kamar bocah lelaki yang disukainya. Sensasi tersebut barangkali juga dirasakan oleh Faye dalam Chungking Express. Faye dengan leluasa melakukan berbagai hal di kamar orang yang disukainya.
Barangkali terdapat hubungan keterpengaruhan antara kisah Faye dan Scheherazade, barangkali tidak, bukan itu persoalannya. Faye dan Scheherazade tentu saja tokoh yang berbeda, mereka hadir dalam cerita yang berbeda pula. Namun pada akhirnya, dari kemiripan peristiwa tersebut, saya dapat lebih memahami perasaan yang dialami oleh kedua tokoh tersebut dari cerita yang satu ke cerita yang lain.
***
Tahun 2019 adalah tepat 25 tahun setelah rilisnya Chungking Express. Meski puluhan tahun berlalu, film garapan Wong Kar Wai ini masih begitu memikat. Dengan menonton film ini, seakan-akan saya kembali diingatkan bahwa ada keindahan dari kenelangsaan, keriuhan, dan keserba-cepatan dari dunia yang saya jalani hari ini.[]
1 Dari buku Wong Kar Wai: Auteur of Time karya Stephen Teo halaman 50
2 Dari Jurnal berjudul Murakami Haruki in Greater China: Creative Responses and the Quest for Cosmopolitanism dalam The Journal of Asian Studies Vol. 68, No. 3 (August) 2009 karya Margaret Hillenbrand halaman 727.
3 Ibid
4 Ibid
5 Dari buku Men Without Women karya Haruki Murakami halaman 124
6 Id at 129