
Peranti Puitik Tiga Penyair
Preambul
Dalam menghadirkan ulang sebuah kisah, penyair melakukan kerja pemaknaan ulang peristiwa, baik itu dengan cara afirmasi ataupun negasi. Seperti yang dilakukan oleh tiga penyair yang sajak-sajaknya tayang di harian Kompas edisi 12 Mei 2018. Marsten L Tarigan, May Moon Nasution, dan Aslan Abidin menghadirkan ulang teks yang telah ada dengan pengolahan puitik tersendiri.
Saat membaca sajak-sajak ketiga penyair tersebut, saya mencoba menggali khazanah pengetahuan untuk digunakan sebagai kompas perlawatan menuju pemaknaan. Saya diajak menekuni riwayat-riwayat asing, gagasan-gagasan yang samar, dan kesunyian-kesunyian yang puitis.
Tiga penyair menulis sajaknya dengan teknik yang berbeda. Meskipun dalam sajak-sajak tersebut, intertekstualitas tetap hadir sebagai salah satu unsur puitik sajak. Esai ini hadir sebagai tawaran cara pembacaan dan pemahaman yang berbeda atas sajak-sajak ketiga penyair.
***
Sajak dari Marsten L Tarigan berjudul “Melawat 1258 Saka”. Kurang-lebih sajak ini menceritakan penolakan suku Karo terhadap invasi yang dilakukan kerajaan Majapahit. Dalam sumpah Palapa, Gajah Mada menyebut ring Haru sebagai salah satu kerajaan yang akan ditaklukkan. Dalam sajak ini, penutur menyebut dirinya sebagai Kami. Penolakan atas penaklukan tersebut kentara dari bait pertama,
Sumpah Palapa, tahun 1258 Saka; nama
kami telah disebutkan untuk segera ditaklukkan.
Tapi tanduk kerbau telah kami letakkan di ujung
atap-atap rumah kami, sebagai tanda rendah diri,
sekaligus tanda bahwa kami tak akan tunduk
pada sesiapa yang menganggap kami sebagai
musuh atau bidak.
Dalam sajak ini, subjek lirik Kami menyadari ketidakjayaan kerajaan Haru dan membuatnya kurang begitu dikenal oleh orang-orang. Hal ini dapat dibaca pada larik …Haru Karo, mungkin adalah/ingatan yang paling tipis, yang mungkin akan kau/lewatkan dalam lipatan-lipatan sejarah… atau pada larik Lipatan sejarah, barangkali telah sembunyikan kami/dari pukau orang-orang yang mengerti bahasa.
Meskipun begitu, pada akhir sajak, subjek lirik kami menuturkan …Tapi kami masih/menemukan diri kami sendiri lewat tamsil Piso/Tumbuk Lada, ukir Gerga, kembayat Uis Megara,/petalian hidup Rakut Si Telu dan Tutur Si Waluh.. Larik ini menggambarkan masih hadirnya eksistensi suku Karo lewat kesenian, kekerabatan, dan kepercayaan.
Agaknya sajak Marsten ini bukanlah sajak yang dapat dibaca sebagai perenungan personal, apalagi oleh pembaca di luar suku Karo. Ketika kita membacanya, banyak istilah lokal yang harus kita pahami terlebih dulu. Selain itu, aforisme yang hadir sangat terkait dengan konteks isi sajak. Meskipun begitu, sajak ini tetap menarik untuk dipahami dan dimaknai. Terutama gagasan-gagasan penyair lewat sudut pandang penolakan suku Karo atas penaklukan Majapahit.
***
Sajak selanjutnya adalah “Begu-begu dalam Kepalaku” karya May Moon Nasution. Begu merupakan bahasa batak yang kurang-lebih berarti hantu. Sajak ini berisi fragmen-fragmen tentang beberapa jenis begu atau hal mistik lain dalam budaya batak. Namun cukup disayangkan, fragmen dimulai dari fragmen 6. Terdapat keterangan di bawah titimangsa, bahwa bagian 1-5 lebih dulu tayang di harian Kompas edisi 14 Oktober 2017. Setelah bertanya kepada penyairnya, memang sajak ini dikirim secara terpisah.
Fragmen dalam sajak ini terbagi menjadi tema yang lebih kecil, yaitu jenis-jenis begu atau ritual mistik. Isotopi yang dibangun dari setiap fragmen terjaga, misalnya dalam penjelasan begu kayu terdapat juga kata hutan, rimba, akar, buah, jerat, daun, dan lain-lain. Selain itu, terlihat upaya penyair untuk menghadirkan bunyi yang berima. Maka, penjelasan jenis begu dalam setiap fragmen sajak ini bisa kita nikmati dan ikuti.
Suatu sumber mengatakan bahwa penyebutan begu dalam kepercayaan batak adalah cara masyarakat mengartikan sebuah penyakit, kelainan psikologis, atau kerusuhan sosial. Masyarakat tradisional memercayai kondisi yang belum bisa dimengerti oleh nalar merupakan pengaruh dari begu atau hal-hal mistik.1 Setidaknya hal inilah yang dapat saya kaitkan dalam fragmen terakhir yaitu ritual datu, yang mengelabui mata batinmu,/yang hakikatnya, harimau tetaplah harimau,/buaya juga buaya, dikecekkan saja bahaya.
Hanya saja saya merasa terdapat ketidak-konsistenan dalam sajak ini. Misalnya, dalam beberapa cara pemisahan bait menggunakan tanda pagar ‘#’, sedangkan beberapa lainnya tidak. Saya tidak menemukan fungsi sintaksis atau semantik atas perbedaan cara pemisahan bait ini. Selain itu, saya tidak melihat keterkaitan isi sajak dengan diksi Kepalaku pada judul. Diksi Kepalaku saya pahami sebagai sesuatu kepemilikan yang subjektif dan personal, ke-aku-an ini tidak benar-benar hadir, karena isi sajak hanya menjelaskan jenis-jenis begu dan ritual mistik.
Baca juga:
– Memetik Buah Tangan Jokpin
– Belantara Kata Ahmad Yulden Erwin
Sajak dari penyair yang terakhir terlihat berbeda dengan dua sajak sebelumnya. Aslan Abidin tidak menghadirkan lokalitas dalam sajak-sajaknya. Dua sajak Aslan yaitu “Buku Harian” dan “Seekor Ular Betina”. Sajak dari Aslan Abidin menonjolkan unsur tanda dalam penyampaian sajaknya.
Misalnya dalam sajak “Buku Harian”, sajak ini diawali dengan bait berikut, sebuah buku harian selalu/terbuka lebar dalam dirimu./lembar demi lembar terus kau/tulisi aksara dan gambar. Secara konotatif, buku harian bukan hanya diartikan sebagai sebuah buku yang berisi catatan sehari-hari. Melainkan juga merupakan kondisi personal yang terbuka lebar, atau selalu siap mengalami sesuatu. Dalam sajak ini, aku lirik bertutur kepada lawan bicara yang hadir dalam dimensi sajak terkait dengan pengalaman-pengalamannya.
Sedangkan, sajak “Seekor Ular Betina” merupakan kisah aku lirik yang dalam perjalanannya terjerat oleh seekor ular betina. Dalam awal sajak ini, imaji ular betina seakan dibangun secara denotatif. Namun di bait terakhir, imaji tersebut diruntuhkan, aku tersengal mendesis,/samar terhidu aroma manis/lipstiknya. Tentu saja tidak ada seekor ular yang menggunakan lipstik secara harfiah. Dalam sajak ini, hipogram tentang kisah Adam dan Hawa digunakan sebagai penguat peristiwa yang sedang dialami oleh aku lirik – aku bukan adam dan/tak bersama hawa, tiada pohon/khuldi serta tidak berada/di surga.
Dua sajak Aslan terkesan mengisahkan peristiwa personal dari aku lirik. Meskipun begitu, kita masih dapat mengikuti maksud dari sajak-sajak tersebut. Tentu saja tidak dengan cara mengartikannya secara harfiah. Melainkan dengan menyatukan koherensi tanda-tanda dalam sajak.
***
Sajak-sajak dari ketiga penyair ini cukup melelahkan jika dibaca sekali duduk. Apalagi dengan perbedaan unsur puitik yang membangun sajak. Maka, sastra koran seharusnya dirayakan tidak dalam waktu yang sebentar untuk memahaminya. Kerja pengarsipan sangat dibutuhkan untuk membaca pencapaian teknik atau wacana penulis saat ini.[]
1 Lihat “Begu dan Dunia Medis Batak” di link berikut pkbssiakhulu.wordpress.com