Fb. In. Tw.

Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” Sukses Dipentaskan

Sempat urung pentas yang disebabkan oleh desakkan dari beberapa Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam, termasuk Front Pembela Islam (FPI), Monolog Tan MalakaSaya Rusa Berbulu Merah” tetap berlangsung pada Kamis (24/03/16). (Baca juga tentang penundaan pentas monolog dapat dibaca di laporan Kita Tidak Ingin Membuang Minyak Ke Dalam Api ini). Monolog yang diselenggarakan oleh Mainteater di gedung auditorium Institute Francais Indonesia (IFI) Bandung ini sukses dipentaskan dua kali dalam sehari, yakni pada pukul 16.00 dan 20.00 WIB. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada penonton yang telah memesan tiket pada hari Rabu.

Untuk mengantisipasi bentrok lanjutan, jajaran kepolisian yang dibantu oleh beberapa Ormas terlihat berjaga di depan gedung IFI Bandung. Alhasil, monolog dapat berjalan dengan tentram tanpa ada gangguan sedikitpun. Panitia mengaku tak gentar dan takut, sebab “pementasan ini tak seperti yang dituduhkan oleh FPI sebagai kegiatan ‘berbau komunis’,” ujar Fuad, stage manager, di sela-sela persiapan pementasan. Ya, tak ada raut ketegangan dan kecemasan baik dari penyelenggara maupun penonton yang mulai memadati gedung sejak pukul 15.00 WIB.

Tepat pukul 16.00 WIB penonton telah memadati gedung pertunjukan. Heliana Sinaga yang juga merupakan Pimpinan Produksi membuka acara. Heliana mengajak penonton untuk tertib dan khidmat mengikuti pertunjukkan. Ia juga menambahkan, “lampu akan segera menyala dan penonton dapat keluar melalui 3 pintu yang tersedia jika terjadi hal darurat,” yang disambut tawa oleh beberapa penonton. Nampak tak ada kekhawatiran dari wajah para penonton.

Seorang muncul dengan kertas di kedua tangannya. Ia mengenalkan dirinya sebagai Tan Malaka alias Ellias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera, Hasan Gozali, dan seterusnya-seterusnya. Di atas meja, terdapat dua buku dan sebuah cangkir, barangkali isinya kopi hitam. Kertas yang dipegangnya ia simpan di samping buku. Ia berjalan menuju sudut ruangan. Ada raut cemas di wajahnya, barangkali ia tengah menunggu seseorang datang menjemputnya.

Ia kemudian bercerita tentang petualang politiknya. Mulai dari kegiatan mengajar di Bandung hingga mengikuti kongres komintern. Di kongres itulah Tan mendapat desakan atas sikapnya yang cenderung berkompromi dengan Pan-Islam di tubuh Sarekat Islam (SI). Sementara, kamerad-kamerad Soviet menganggap Pan-Islam sebagai kontra revolusi.

Saat berjumpa dengan Soekarno dan Hatta, ia mengenalkan dirinya sebagai Ilyas Husein. Soekarno-Hatta berharap akan kemurahan hati Nippon untuk memerdekakan Indonesia. Sementara, Tan tidak. Bagi Tan, kemerdekaan dan kebebasan harus direbut langsung oleh seluruh rakyat. Tan mendebat keduanya yang kemudian mencemooh para pesohor yang mengedepankan diplomasi atas kemerdekaan dan kebebasan Republik Indonesia. Tan memang tak mau berkompromi dengan kolonialisme dan imperialisme.

Ia ambil lagi kertas tadi di atas meja. Rupanya kertas itu berisi wasiat dari Soekarno yang berbunyi akan menyerahkan tampuk pimpinan revolusi pada Tan Malaka jika Soekarno gagal membawa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan.

“Bagi negara kolonialis, siapapun yang menentang dan menghalang-halangi jalannya kapitalisme, maka harus secepatnya disingkirkan dari sekarang juga serupa peladang yang membuang semua semak-belukar sebelum ia berladang.”

Tan adalah semak belukar bagi ladang kapitalisme. Maka ia harus ditangkap dan dipenjarakan. Dituduh beroposisi dengan pemerintah. Tan kepalang muak dengan para pesohor yang terus mengedepankan diplomasi. Tan memaki jalan yang diambil para pesohor yang memilih ditangkap Belanda daripada melawan dengan cara bergerilya. Maka tak ada jalan lain, Indonesia harus merdeka 100 persen. Ia akan kembali bergerilya dan mengambil tampuk pemimpin revolusi.

“Nama saya Tan Malaka atau Ilyas Husein jika kita pernah berjumpa di rapat pemuda di Jakarta. Atau Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera” dan seterusnya-seterusnya. “Saya Rusa Berbulu Merah.” Pertunjukkan pun usai.

Memang jika menyaksikan Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” yang disutradarai oleh Wawan Sofwan ini tak ada tendensi sama sekali dengan ideologi komunis. Apalagi membangun opini untuk mempertimbangkan kembali gagasan sosialisme Indonesia.

Seperti yang diungkapkan Ahda Imran selaku penulis naskah, bahwa monolog ini lebih pada menyuarakan kembali suara-suara Tan Malaka yang disisihkan dan disingkirkan. Tak ada upaya untuk mendekonstruksi sejarah sehingga mengubah stigma masyarakat terhadap sosialisme yang telah berhasil dibangun oleh rezim anti-komunis. Maka bagi saya, tuduhan dan kegarangan FPI salah alamat.

Di luar gedung pertunjukkan semakin ramai. Tak ada ketegangan dan kecemasan sama sekali. Bahkan sebagian orang tak merasa terusik oleh gerimis. Para penonton sesi kedua sudah ramai memadati meja penukaran tiket. Tampak kelegaan di wajah mereka. Barangkali mereka bersyukur sebab tetap dapat menyaksikan monolog yang asyik untuk disaksikan ini.[]

Pemimpin Redaksi Buruan.co.

KOMENTAR
You don't have permission to register