Fb. In. Tw.

Media Sosial dan Terorisme

Jumat pagi (15/3/2019), lantunan ayat suci dari masjid dekat rumah belum terdengar. Saya urung  menyeruput teh manis karena terkejut membaca berita di media daring: terjadi serangan teroris di Masjid Al-Noor dan Linwood, Christchurch, Selandia Baru. Dilaporkan 49 orang meninggal dunia akibat serangan tersebut.

Meski Cianjur dan Christchurch berjarak sekitar 7.600 kilometer, berita menyebar dengan cepat. Warganet ramai merespons tragedi itu. Banyak yang menyampaikan perasaan duka. Namun, celakanya, banyak juga yang secara tidak langsung turut menyebarkan api teror.

Video yang direkam dan disiarkan langsung oleh pelaku banyak disebarkan. Meskipun dibubuhi dengan komentar penentangan, penyebaran video terorisme justru membuat tujuan dari para teroris—menyebarkan ketakutan—kian mudah tercapai.

Banyak juga respons yang mengkritik  respons. Hal itu diungkapkan oleh sebagian kalangan yang menganggap dunia lambat bergerak untuk bersimpati pada kejadian di Christchurch. Mereka menganggap dunia baru akan merespons dengan tanggap ketika muslim menjadi pelaku teror, bukan korban. Tentu ini berbahaya. Tuduhan serampangan malah akan semakin memperluas permusuhan.

Dalam menyikapi perilaku teror, label agama sebaiknya tak perlu ditonjolkan. Cukup menyebut pelaku sebagai teroris yang tak memiliki rasa kemanusiaan.

Buktinya, begitu besar empati yang ditunjukkan dunia untuk para korban di Christchurch pasca kejadian. Ribuan orang berkumpul di lapangan kota Christchurch untuk berdoa dan mengirim karangan bunga. Pengamanan salat Jumat bagi muslim oleh warga non-muslim juga dilakukan seminggu setelahnya—kegiatan ini menjalar hingga ke Inggris. Seorang pemuda yang dijuluki “Egg Boy” bahkan berani memecahkan telur di kepala Fraser Anning, anggota parlemen Queensland, yang menuduh Muslim sebagai dalang utama di balik tragedi Christchurch.

Pentingnya Literasi Media
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, saya mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam lokakarya literasi media di Rangoon, Myanmar. Lokakarya itu diselenggarakan oleh YSEALI dan VIA. Hadir dalam kegiatan itu  Sidney Jones, pengamat terorisme Indonesia dan Asia Tenggara.

Ada paparan penting yang disampaikan Jones dalam dua kesempatan kelasnya yang saya ikuti. Ia menyebut bahwa media sosial memiliki peran penting dalam gerakan terorisme.

Pertama, media sosial mentransformasi simpatisan gerakan terorisme menjadi anggota yang aktif. Hal ini disebabkan oleh terpaan informasi dan intensitas interaksi yang terbangun. Kedua, media sosial menjadi alat penguatan solidaritas kelompok setelah calon-calon kader terosis direkrut. Ketiga, media sosial menjadi alat komunikasi. Menariknya, konsep keluarga, teman, dan kelompok in-group akan berubah menjadi konsep yang sesuai dengan arah gerakan terorisme tersebut.

Keempat, media sosial menjadi pusat diseminasi propaganda. Kelima, media sosial juga menjadi wadah belajar untuk hal-hal teknis pergerakan: taktik perang, taktik propaganda, dan sebagainya. Kelima, media sosial digunakan untuk penggalangan dana melalui anggota kelompok.

Terakhir, yang menarik, media sosial juga menjadi wadah perjodohan antar-anggota. Salah satu peserta lokakarya yang merupakan jurnalis di Indonesia menambahkan, perjodohan tersebut dilakukan melalui pertukaran curriculum vitae yang kemudian akan dipasangkan oleh pemimpin gerakan terorisme. Saat mendengar itu, saya seketika teringat dengan aksi teror bom yang dilakukan sebuah keluarga di Surabaya pada 2018 lalu.

Namun, media sosial tetap sebatas alat. Pengguna yang sepenuhnya menentukan apakah alat tersebut akan menjadi baik atau buruk. Media sosial, di sisi lain, punya potensi untuk dijadikan alat melawan terorisme.

Jones menceritakan anak-anak muda di Poso yang membuat gerakan perdamaian. Ketika isu yang memicu konflik tersebar di media sosial, mereka datang langsung ke lokasi, menceritakan kejadian sebenarnya, dan menyebarkannya di media sosial agar masyarakat terhindar dari tindak kekerasan.

Kemampuan untuk melakukan perlawanan terhadap terorisme di media sosial hanya dapat dilakukan ketika kemampuan literasi media yang baik telah dimiliki oleh banyak orang. Ada berbagai konsep yang merumuskan apa itu literasi media. Dalam pandangan saya, literasi media adalah kemampuan kritis  dalam mengonsumsi dan memproduksi konten untuk tujuan positif dalam hidup. Ketika sekelompok masyarakat masih mudah termakan kabar palsu, maka kemampuan literasi medianya masih payah.

Media sosial juga menjadi ruang interaksi antarindividu atau kelompok yang memiliki beragam pandangan serta nilai. Jika ini bisa disikapi dengan tepat, cara pandang seseorang terhadap dunia bisa semakin luas dan bijaksana.

Namun, apabila tidak, media sosial akan membuatnya sulit memandang perbedaan. Pandangannya akan semakin sempit disertai akal yang picik. Ia hanya mau mengikuti apa yang senilai dengannya. Seperti diterangkan Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise, manusia akan mengonsumsi apa yang ia percayai. Itulah susahnya jadi kaum “sophia”.

Literasi media yang buruk hanya satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan tumbuh  sumburnya gerakan terorisme. Menurut Jones, tindakan intoleransi bahkan tak selalu berbuah terorisme. Ia membutuhkan variabel lain sehingga seseorang memutuskan untuk melakukan tindakan teror. Selain itu, menurutnya, ideologi kekerasan lebih sedikit berpengaruh dibandingkan kuatnya ikatan kelompok gerakan terorisme.Terorisme adalah masalah yang multidimensional sehingga penyelesaiannya pun mesti ditelaah dari berbagai aspek.

Seberapa pun tidak masuk akalnya, di sudut-sudut dunia ini masih ada orang yang percaya bahwa kekerasan adalah jalan untuk menegakkan cita-cita yang mereka angankan. Salah satu hal  yang bisa dilakukan oleh kita yang tak menyetujuinya  adalah membatasi ruang eksistensi mereka, utamanya di media sosial. Seperti yang dikatakan Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, dalam pidatonya yang berani dan bijak, “Dia mencari popularitas (dari kejahatan yang dilakukan). Dia adalah teroris, kriminal, dan ekstrimis. Bahkan saya tidak akan pernah menyebut namanya.”[]

 

KOMENTAR

Seorang pekerja di Jakarta, pendengkur saat di Cianjur. Mengisi kejemuannya dengan bergiat dalam tim pengelolaan dan redaksional Buruan.co. Menulis puisi, resensi, dan esai.

You don't have permission to register