
Dionysus: Pertarungan Kaum Beriman dengan Penguasa
Dionysus adalah tragedi Yunani kuno yang ditulis oleh Euripides 405 SM dalam naskah drama “Bakkhai”. Sebuah kisah tentang Pantheus, raja Thebes, dan ibunya Agave yang menolak untuk menyembah dewa Dionysus. Akibatnya, mereka mendapatkan hukuman dari Dionysus.
Minggu malam (30/9/2018), Suzuki Company of Toga (SCOT) berkolaborasi dengan Purnati Indonesia mementaskan kembali “Dionysus” di Open Air Theater Candi Prambanan, Yogyakarta. Pentas pertama dilangsungkan pada akhir Agustus lalu di Toga, Prefektur Toyama, Jepang. Tadashi Suzuki, maestro teater asal Toga, Jepang, yang dikenal kalangan teater sebagai pencipta metode latihan keaktoran Suzuki adalah sutradara pementasan ini.
Alur singkat “Bakkhai” karya Euripides
Dionysus yang menjelma menjadi seorang pemuda menyerukan kepada orang-orang Thebes, ia akan membuktikan bahwa ia benar-benar dewa. Ia akan menghukum Phanteus yang menolak adanya ritual Bakkhai menggunakan tangan Mainad, perempuan-perempuan pengikutnya.
Pantheus berang. Ketika Dionysus mengatakan kepadanya bahwa ritual Bakkhai adalah perintah dewa, ia menyanggah untuk menyembah dewa. Sebagai anak Echion dan Agave ia merasa lebih berkuasa di Thebes daripada Dionysus.
Pernyataan Pantheus yang arogan itu rupanya membuat Dionysus murka. Ia pun bersumpah akan menghukum Pantheus (dan Agave, ibunya) dengan penuh penderitaan.
Didorong kabar dari seorang informan yang menyebutkan ibunya, Agave, menjadi bagian dari ritual, Pantheus pergi untuk menghentikan ritual Bakkhai di Gunung Cithaeron. Namun, dalam perjalanannya mendaki gunung, petaka datang padanya. Ia dihabisi oleh Mainad. Kepalanya dipenggal.
Agave yang telah terpengaruh bisikan Dionysus, berada dalam kelompok perempuan yang telah terpengaruh. Ia membawa potongan kepala Pantheus yang ia kira adalah kepala singa. Namun saat tersadar—akibat mengingkari Dionysus—ia memegang kepala anaknya sendiri. Agave menjadi kambing hitam atas kematian Pantheus.
Ia memohon ampun. Namun, bagi Dionysus permohonan ampunnya telah terlambat. Agave, seperti halnya Pantheus, layak mendapatkan hukuman atas abainya pada perintah mengimani Dionysus.
“Dionysus” adaptasi Tadashi Suzuki
Dalam pementasannya, Suzuki tidak menghadirkan Dionysus ke atas pentas sebagai sesosok pemuda. Ia menginterpretasikan kehadiran sang dewa melalui sekelompok pendeta.
Enam pendeta (yang diperankan oleh Ari Dwianto, Washadi, Mohammad Aditia, Anwari A.A. Pahar, Dian N. Saputra, Seftino A. Sambalao) muncul di panggung dengan gerakan kaki seperti ninja. Mereka menyerukan Dionysus sebagai Dewa, ritual Bakkhai yang harus diikuti seluruh perempuan Thebes, dan penyanggahan penguasa Thebes terhadap Dionysus sebagai dewa.
Kemudian muncul Cadmus (Jamaluddin Latif), kakek dari Pantheus yang merupakan anak dari putrinya, Agave. Cadmus mendengarkan seruan-seruan para pendeta tersebut, dan mendengarkan petunjuk mereka.
Para pendeta tetap berada di panggung dalam sikap beku. Sekaligus menjadi latar. Keenam pendeta yang merupakan jelmaan Dionysus itu tidak keluar panggung sejak muncul hingga akhir pementasan. Mereka akan bergerak-berdialog, ketika ada adegan-adegan Dionysus.
Kemudian Pantheus (Tian Chong) yang berbaju jirah, lengkap dengan pedangnya, muncul. Ia kemudian dikelilingi para pendeta. Mereka lantas berdebat mengenai kekuasaan dewata dan kekuasan di Thebes.
Koor perempuan (Sugiyanti Ariani, Hildawati, S. Dexara Hachika, D. Asti Wulanjani, Sarah Nurmala, dan Kito Risa) masuk dari dua sisi panggung. Mereka adalah jelmaan Mainad yang sedang berjalan menuju puncak Gunung Cithaeron. Mainad yang trance dalam ritual Bakkhai dapat bertingkah gila-gilaan, mulai dari berteriak-teriak, hingga membunuh dengan cara yang keji seperti mencincang hewan (bahkan manusia).
Suara-suara gaib Dionysus terdengar. Suara-suara tersebut menyatakan akan menghukum Pantheus atas pengingkarannya terhadap Dionysus.
Pantheus kembali muncul. Ia hendak mendaki Gunung Cithaeron dan menghentikan ritual Bakkhai, yang artinya adalah melawan dewa. Perjalanan itu rupanya menjadi akhir hidupnya. Ia dihabisi oleh Mainad.
Di babak akhir pementasan, Agave (Naito Chieko), yang trance dalam kelompok Mainad, muncul membawa kepala Pantheus yang telah terpisah dari tubuhnya. Di saat itulah para pendeta alias Dionysus menghakimi dirinya dengan penderitaan sebagai kambing hitam kematian Pantheus.
Penutup
Pementasan “Dionysus” ditampilkan dalam multibahasa, antara lain Batak, Banyumas/Ngapak, Madura, Manado, Sunda (Pendeta); Rejang (Koor Bakkhai); Jawa (Cadmus); Mandarin (Pantheus); dan, Jepang (Dionysus). Akan tetapi, dialek dialog para aktor terdengar seragam padahal bahasa yang digunakan beragam.
Sejumlah adegan terasa berulang sehingga seolah minim variasi gerak. Seperti teknik muncul dan konfigurasi koor perempuan yang nyaris serupa di tiap adegan. Begitu pula dengan adegan para pendeta, dari sikap beku mereka kemudian akan membentuk formasi melingkar di pusat panggung saat berdialog dengan Pantheus.
Dalam “Dionysus” adaptasi Suzuki, konflik yang ditampilkan bukan perseteruan manusia dengan dewa (Pantheus vs Dionysus) belaka. Melainkan, pertarungan kaum beriman dengan penguasa. Seperti ditegaskan olehnya dalam catatan penyutradaraan, “What we see is a drama of conflict between two communal value systems that exist on the same plane.”
Dalam konteks Indonesia hari ini, pertarungan kaum beriman dengan penguasa dalam berbagai dimensi juga terjadi. Namun, tidak sehitam putih kisah tragedi yang diilustrasikan dalam “Dionysus”. Di sini, justru sekelompok kaum beriman ingin merebut kekuasaan duniawi.
Baca juga:
– Ngobrolin Islam Santai bersama Acep Zamzam Noor
– Layar Tancap di Pantai Depok
Di samping adaptasi Suzuki atas karya Euripides, sebagai penonton saya mendapatkan pengalaman lain yang istimewa. Adalah dapat menyaksikan langsung sebuah pementasan teater hasil metode latihan keaktoran Suzuki—yang berakar dari seni tradisi Jepang (khususnya Noh dan Kabuki) serta sejarah panjang teater dunia sejak zaman Yunani kuno—secara langsung di atas panggung.
Aktor yang bermain dalam “Dionysus” adalah para aktor yang terpilih dari audisi yang diselenggarakan oleh SCOT dan Purnati Indonesia. Mereka telah mengikuti berbagai program latihan yang langsung dipimpin oleh Tadashi Suzuki sejak tahun 2016 di Jepang dan Indonesia.
Dalam catatan ini juga, secara khusus, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mohammad Aditia (salah satu pemeran pendeta) yang telah memberikan kesempatan untuk menyaksikan pementasan “Dionysus”.[]