Fb. In. Tw.

Realitas dan Mimpi La La Land

And here’s to the fools who dream
Crazy as they may seem

Here’s to the hearts that break
Here’s to the mess we made

….

(Mia, “Audition – The Fool Who Dream”)

Realitas dan mimpi. Pikiran–perasaan, serta cinta dan cita-cita. Dialektika ide klasik (yang tak terdamaikan) ini mengambil tempat penting dalam informasi La La Land.

Selama dua jam delapan menit, kita akan mengkonsumsi bagaimana dua ide klasik itu saling membangun, sekaligus menghancurkan (satu sama lain) pada waktu bersamaan. Makna tunggal dalam film musikal yang penuh warna ini hanya dapat kita simak dalam “Audition – The Fool Who Dream” aransemen musik karya Jurstin Hurwitz.

La La Land berasal dari gabungan bahasa Spanyol-Inggris dan akronim Los Angeles yang berarti, kepada/itu(lah) tanah Los Angeles. Mengingatkan kita kepada sejarah Los Angeles, sebuah kota di selatan California (bagian dari Kerajaan Spanyol, 1542) yang dibangun dan berkembang oleh orang-orang kreatif dengan impian besar.

Pemimpi pertama kita ialah, Mia Dolan (Emma Stone). The Dreamers yang kurang bisa berdamai dengan kenyataan. Memori masa kecil Mia dengan bibinya yang merupakan seorang aktris teater, membuatnya meneguhkan tekad untuk meninggalkan (kemapanan) sekolah hukum (ditahun ketiga) dan merantau ke LA, menggapai mimpinya tersebut. Bagi seorang barista kedai kopi di studio Warner Bros ini, realitas selalu berusaha lebih untuk membentengi/mengalihkan jalannya menuju impian.

Mengidolakan Charlie Parker, pemimpi terakhir adalah Sebastian (Ryan Gosling). Seorang pianis muda yang bercita-cita membawa jazz kembali ke puncak kejayaannya di tanah LA, yang tak menghargai kesenian dan nilai sejarahnya lagi. Pria idealis konservatif (I am a phoenix, rising from the ashes). Delusional serta keras kepala. Tidak memiliki pekerjaan tetap tetapi ingin membuka klub jazz sendiri.

Dua ide paradoksal La La Land yang telah disebutkan tadi, mengambil bentuk dalam proses interaksi antara Mia dan Sebastian, di dalam kata yang bisa kita sebut dengan mempengaruhi dan dipengaruhi.

Interaksi sosial dan komunikasi memiliki hubungan dialektika yang mustahil dipisahkan. Pembaca yang semua adalah makhluk sosial pada posisi tertentu, akan menyadari bahwa komunikasi pada akhirnya ialah proses penyampaian informasi guna mempengaruhi seseorang dalam rangka mencapai suatu kata yang disebut, mengerti.

Bukan bertendensi positivistik, bahwa hal baik ialah ketika dua orang atau lebih memiliki ide dan pemahaman yang (persis) sama terhadap sesuatu. Tetapi cukup dengan “mengerti” bahwa kita berbeda. Seperti mereka berdua. Berbeda ide, berbeda pengalaman dan lingkungan yang membentuk karakter dan gagasannya sebagai manusia.

Tidak seperti hubungan sosial lainnya. Bagi pembaca yang memiliki pasangan, pada posisi tertentu akan merasakan bahwa dalam suatu hubungan batas “mempengaruhi dan dipengaruhi” ini begitu erat daya tarik-menariknya, serta bias sekali untuk diidentifikasi. Suka dan duka, berdampak positif dan negatif (disuatu sisi) sekaligus. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Damien Chazelle ini, dengan sangat bijak mengemasnya dalam wujud penuh kegembiraan, penuh warna dan sangat positif. Suka-duka, perpisahan-pertemuan, dst merupakan wujud keindahan yang memotivasi kita untuk terus bergerak, mengungkap misteri kehidupan selanjutnya.

Sebastian hadir ke dalam kehidupan Mia sebagai pembimbing, penyemangat. Mengingatkan Mia bahwa ia adalah seorang anak ajaib yang tidak harus mengemis-ngemis di depan kamera. Ia mendorong Mia untuk berdikari, mewujudkan mimpinya sendiri. Semangat yang membuatnya berhenti sebagai barista dan memulai proyek monolognya

“Kau bisa buat ceritamu sendiri. Peran yang sama menariknya dengan dirimu. Jadi kau tak perlu mengikuti audisi sampah ini.”

Rencana tidak berjalan sesuai harapan. Penonton sedikit, omongan seliweran yang bernada negatif, gedung teater yang tak terlunasi, dan Sebastian tidak ada. Mia kecewa dan berakhir putus asa. Dalam keputus-asaan itu Sebastian membimbingnya kembali, menyulutkan kembali gairahnya. Yang dimana, berakhir pada kesuksesan Mia meraih impiannya.

Sedangkan Mia adalah harapan baru, nyala api penyulut gairah Sebastian. Mia datang kepadanya sebagai pelipur lara, kala jenuh tak lagi terdamaikan. Mia adalah alasan Sebastian menerima tawaran Keith (John Legend) walau bertentangan dengan idealismenya–atau ia pikir begitu.

Berawal dari percakapan Mia dengan Ibunya. Pikiran delusif Sebastian menyimpulkan bahwa Mia ingin dia segera mendapatkan pekerjaan tetap dan mulai menabung untuk klub jazznya itu. Diperparah dengan nilai tradisional yang dimiliki oleh semua pejantan. Ia yang beberapa jam sebelumnya dengan tegas menolak tawaran Keith di depan Mia, berubah haluan. Seb membulatkan tekat dan menandatangani kontrak dengan The Messengers (tanpa sepengetahuan Mia) beberapa hari selanjutnya.

Kesepian Mia yang ditinggal Tur oleh Sebastian berpuncak pada makan malam terakhir mereka. Mia terkejut oleh Sebastian yang berubah menjadi dirinya yang dulu, dirinya ketika belum termotivasi oleh Sebastian. Sebastian melakukan apa yang ia kritik kepada Mia sebelumnya. Mengkhawatirkan pendapat orang lain, menjadi begitu realistis, menyerah pada keadaan dan melupakan impiannya.

“Mungkin kau hanya menyukaiku saat aku jatuh… karena itu membuat dirimu merasa lebih baik dariku.” Pandangan tak berdasar Sebastian itu berakhir negatif untuk yang kedua kalinya, setelah sebelumnya membuat ia dipecat pada hari Natal oleh Billy (J.K Simmons).

Walau begitu. Sesungguhnya karena pikiran delusif itulah kita bisa menikmati keindahan romansa dinamis mereka. Pikiran delusif itu mengawali pertemuannya dengan Mia. Memberikan Sebastian alasan untuk (bangkit dari keterpurukan), menekan idealismenya dan bergabung dengan The Messengers, membuatnya mampu menabung dan membuka klub jazz nya sendiri.

Paradoksal ini lagi-lagi berproses dialektis dalam keindahan alur misteri kehidupan mereka. Membangun dan menghancurkan pada waktu bersamaan. Suka dan duka dalam dua sisi mata uang seratus rupiah.

Pertemuan pertama mereka yang menyebalkan dalam antrian ratusan mobil di Judge Harry Pragerson Interchange berubah manis di Griffith Observatory ditemani ribuan bintang alam semesta. Dunia hanya milik kita berdua. Ide yang mengambil banyak bentuk dalam setiap adegannya; suatu cahaya yang hanya menerangi mereka berdua kala berada ditengah kerumunan, berdansa-bernyanyi dimana dan kapan pun, ditambah dengan aransement musik menyayat hati menembus mimpi, Justin Hurwitz. Sungguh, romansa yang membawa para jomblo lupa tempat berpijak—teringat sang mantan atau pasangan imajinernya masing-masing.

Film yang tayang perdana pada malam pembukaan Festival Film Venesia 2016 ini menghadapkan kita pada kenyataan, bahwa Sebs dan Mia bertemu dan berpisah atas nama impian. Setelah lima tahun berpisah demi mewujudkan impian masing-masing, mereka bertemu kembali pada musim dingin di salah satu sudut kota Los Angeles.

Sebastian duduk khidmat didepan piano setelah melihat Mia bersama Tom Everett Scott (suaminya), dan mulai memainkan “Mia & Sebastian’s Theme”. Mia membayangkan kehidupan yang bisa dinikmatinya bersama Sebastian, didalam melodi yang mewujudkan keabadian cinta mereka itu.

Kehidupan yang “seharusnya terjadi”, jika saja Sebastian tidak menerima tawaran Keith dan mendukung penuh karier aktrisnya. Sebastian ikut ke eropa, bermain piano di klub-klub paris –tetap idealis dengan impian dan selera jazznya. Mia berharap. Sebastian dapat mengalah, mengurungkan niat untuk membuka klub jazznya sendiri dan memproyeksikan impiannya itu kepada Mia semata.

Terlalu egois memang, tetapi itulah bayangan Mia pada scene terakhir La La Land. Hasil endapan ide Damien Chazelle dan Justin Hurwitz selama tujuh tahun. Menyuguhkan kepada kita hasil elaborasi yang begitu indah, begitu representatif. Penuh kontradiksi antara realitas dan mimpi, antara cinta dan cita tanpa menghilangkan sisi individualis seorang manusia yang memperparah sekaligus memperindah kenyataan pada waktu bersamaan. Sampai pada akhirnya, ketukan jemari Sebastian hinggap pada not terakhir.

Walau tidak lagi bersama, Mia harus mengakui bahwa kerja realitas yang tak sesuai harapan itu berakhir indah dengan terwujudnya impian masing-masing. Realitas membawa Mia pada keadaan, dimana ia adalah seorang aktris besar yang sedang duduk menikmati alunan jazz Sebastian, di klub jazz yang bernama “Seb`s”.

Cukup dengan tatapan mata.Mereka “mengerti” bahwa “Mia & Sebastian’s Theme” ialah romansa masa lalu. Penuntun menuju keindahan masa depan yang mengambil bukti nyatanya di masa sekarang.[]

Post tags:

Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UPI. Aktif di Teater Lakon.

KOMENTAR
You don't have permission to register