Fb. In. Tw.
Buku Puisi Bangkitnya Kemurungan karya Sarah Monica

Puisi sebagai Tempat Pulang Pengembara-Pencari

*Esai ini didiskusikan dalam gelaran Bukan Jumaahan Akbar di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, 10 Oktober 2025.

Malam, 25 Oktober 2024 yang lalu, barangkali menjadi malam yang tak diduga oleh Sarah Monica. Puisi-puisinya yang sebelumnya pernah tak hendak diterbitkan—yang kemudian terkumpul dalam antologi Bangkitnya Kemurungan (Framepublishing, 2023)—ternyata  mendapatkan takdirnya menjadi pemenang Anugerah Kawistara Bidang Sastra (Puisi) 2024. Sudah takdirnya pula jika anak-anak puisi ini saat ini, seperti diungkapkan Sarah dalam pengantar bukunya tersebut,  menjalani takdirnya di hadapan pembaca.

Saya ternyata adalah salah satu pembaca yang menjadi bagian dari takdir buku itu. Saya pernah membaca karyanya sebagai pembaca  dalam posisi dewan juri Anugerah Kawistara 2024, dan sekarang sebagai pembaca yang  membaca ulang lagi karya tersebut untuk berbagi apresiasi dalam acara  diskusi Bukan Jumaahan Akbar (10 Oktober 2025) ini. Dalam kaitan dengan hal ini, saya akan menyatakan penafian (disclaimer), bahwa sesuai konteksnya, pembicaraan saya pada kesempatan ini bukan sebagai pertanggungjawaban juri, tapi lebih dimaksudkan  sebagai sharing apresiasi.

Sarah Monica di Jagat Puisi Jawa Barat

Dalam mengapresiasi karya Sarah Monica ini saya merasa perlu  terlebih dahulu memberi gambaran perpuisian di Jawa Barat beberapa tahun belakangan untuk kemudian melihat kedudukan karya puisi Sarah itu sendiri.

Dari pengamatan umum saya terhadap buku- buku puisi di Jawa Barat,  saya melihat beberapa kecenderungan. Pertama, kecenderungan penciptaan puisi denganmengotak-atik bentuk puisi, sehingga muncul istilah- istilah haikuku, senriyu, toge, bonsai  sonian, munculnya kembali akrostik, dan sejenisnya. Bukan hanya bentuk yang masih dikategorikan sebagai bentuk puisi. Eksplorasi bentuk itu juga ada yang merambah pada perubahan format puisi pada umumnya menjadi berformat prosa, bahkan format naskah drama. Kedua, eksplorasi gaya ungkap dengan mendistorsi gaya formal atau serius dengan gaya sehari- hari,salah satunya  berupa gaya bicara generasi milenial dan gen-z yang mencampurkan bahasa daerah dan bahasa lisan sehari-hari. Ketiga, menghidupkan kembali unsur-unsur lokal, tradisional, bahkan arkaik. Terakhir, puisi yang berkonsep mensubversi linguistik.

Tentu saja, bentuk puisi lirik yang konvensional tetap masih mendominasi. Namun, beberapa kecenderungan yang muncul seperti saya kemukakan di atas menunjukkan kemungkinan adanya pretensi  percobaan-percobaan inovatif pada puisi. Apakah upaya-upaya dan atau pretensi itu  dipengaruhi oleh adanya berbagai sayembara dalam penulisan puisi yang dalam kaitan itu penulis ingin menunjukkan kebaruan dalam puisinya? Atau terjadi karena pengaruh media sosial yang telah memungkinkan terbentuknya grup-grup penulisan dengan jenis/ bentuk/ gaya tertentu sebagai identitas yang tak jarang kemudian diterbitkan dalam buku-buku antologi? Hal ini tentunya masih harus kita telusuri.

Terlepas dari upaya-upaya di atas yang juga harus kita lihat sebagai kreativitas, bentuk atau struktur bahasa (fisik) puisi tetap harus dipahami bahwa ia bukan sekedar wadah/alat ucap. Struktur fisik (bahasa ungkap) ‘menjadi’ oleh struktur batin (apa yang diungkapkan) dan sebaliknya. Bahkan struktur batin itu bisa memperkaya bahasa puisi. Jadi. keduanya saling menyublimkan. Hal demikian bisa dicapai jika keduanya sudah mendarah daging dalam diri penyair. Dengan begitu, puisi bukan sekadar alat atau corong untuk menyampaikan suara filsafat, sosial, moral, dsj.,  tapi suara puisi itu sendiri. Oleh karena merupakan suara puisi, maka bisa jadi memunculkan suara- suara yang hanya bisa dinamai oleh puisi. Meminjam ungkapan Acep Zamzam Noor dalam puisi “ Tugas Penyair”,  puisi menugaskanmu untuk selalu peka/ mendengar katakata yang tak diucapkan mulut/ namun getarannya langsung menembus dada//.  Atau dalam bahasa Sarah sendiri: memeras makna/ dalam ruh katakata.

Membedah puisi-puisi Bangkitnya Kemurungan

Lalu, bagaimana dengan puisi-puisi Sarah Monica, khususnya dalam buku Bangkitnya Kemurungan? Di tengah kecenderungan yang saya  gambarkan di atas, puisi Sarah Monica tampil tenang, tanpa pretensi melakukan keberbedaan atau kebaruan; tulus,  tak ada kehebohan yang menyeolahkan ingin berkata atau pamer  pada  dunia akan  suatu pencapaian. Ia lebih menarik ke dalam diri, bagaikan mengajak pulang ke ruang yang tenang, di mana segala peristiwa, pengalaman, pertanyaan- pertanyaan,  kebisingan, keliaran lahir dan batin,   dan sejenisnya,  redam dalam renungan khusyuk ke dalam diri menjadi pengembaraan spiritual yang imanen dan transenden. Tak heran jika Sarah, dalam pengantar bukunya mengistilahkan puisi sebagai jalan pulang yang damai.

Kemampuan semacam itu tentulah bukan kemampuan sembarangan. Hal itu hanya bisa dicapai oleh mereka yang memiliki kematangan, dan pengalaman-pengalaman Sarah sendiri telah membentuknya memiliki kematangan itu. Ia pernah kuliah hingga pascasarjana di universitas ternama, terpilih sebagai peserta workshop Majelis Sastra Asia Tenggara,  menjadi perwakilan Indonesia mendapat fellowship ke Jepang, mendapat penghargaan NAWA (Nusantara Academic Writing Award) dari bakti BCA, dan diundang pada berbagai festival sastra. Pendapat saya, puisi-puisi Sarah memang matang. Benarlah pula apa yang dinyatakan para penulis testimoni buku ini tentang kokoh dan stabilnya rancang bangun  puisi-puisi  Sarah: jernih, efektif, padat dan terjaga. Saya senang karena setelah membaca karya-karya di dalamnya, menemukan kebenaran pernyataan para peng-endors tersebut, yang tidak hanya “jual kecap”. Oleh karena itu, di bawah ini saya bermaksud menegaskan kesetujuan saya ini.

Di atas telah dinyatakan bagaimana puisi yang ideal. Bagaimana struktur batin dan struktur fisik saling menjadikan, dengan catatan bahwa keduanya telah mendarah daging terinternalisasi dalam diri penyair, yang kemudian menjadi suara puisi. Indikatornya adalah kekuatan, ketajaman, kejernihan, kesejatian/tidak artifisial, kesegaran. Inilah yang secara umum saya temukan pada puisi-puisi dalam Bangkitnya Kemurungan. Sebagai contoh, dalam hal pemilihan dan penyusunan kata, kata- kata yang digunakan penyair terasa kuat, tajam, jernih, sejati, dan segar.

Dalam hal tersebut, Sarah bagai menerapkan prinsip Chairil Anwar di mana kata harus dipilih dan ditimbang dengan cermat, tajam seperti sinar rontgen yang menembus tulang sumsum. Artinya, pentingnya ketepatan dan kedalaman dalam memilih kata. Kata bukan sekadar ornamen, tapi harus mengandung makna yang menembus inti kenyataan, pengalaman, dan perasaan manusia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sarah dalam “Catatan Perjalanan Puisi”-nya.  Ia menyatakan bagaimana kata membawa seluruh rasa dalam jiwa. Tatkala menuliskannya, seakan potongan jiwa melekat dan bersemayam di dalamnya. Menjadi ruh puisi itu sendiri. Tak heran jika kita menemukan ungkapan yang tajam dan segar seperti: mimpi tercekik di cakrawala, mayatmayat kerinduan, roh disegel, air terjun peristiwa, cinta adalah kebun usang tanpa tuan, penantian bagai sebuah senapan yang siap menghantam dendam tapi tak kunjung memuntahkan peluru, perpisahan adalah takdir atas perjumpaan/ sebagaimana kematian menjadi takdir dari tiap kelahiran, dan banyak lagi.

Untuk contoh yang lengkap dan utuh sebagai puisi, tentang bagaimana pengalaman batin yang dalam  menjadikan bahasa puisi yang dalam dan tajam juga, akan lebih terasa jika  pembaca membaca dan merasakan sendiri puisi- puisi Sarah secara utuh per puisi.

Pengembaraan dan Kepulangan Puisi-Puisi Sarah Monica

Di atas, kita lebih banyak membicarakan kekuatan Sarah dalam hal kemampuan teknis. Lalu apa suara puisi Sarah dalam buku ini? Untuk memahaminya, puisi “Aku Menulis Puisi” tampaknya bisa menjadi alat bantu. Aku lirik menyatakan: ingin kusingkap langit, ingin kudulang makna, dari tekateki semesta, dan bahwa puisinya tetaplah resah eksistensi.

Memang demikianlah yang kita rasakan dari hampir keseluruhan puisi yang berjumlah 65 dalam kumpulan perdananya ini. Puisi Sarah, yang dapat saya tangkap, adalah pencarian makna dan hikmah keberadaan manusia di dunia dalam segala perjuangannya, jatuh bangunnya, kenelangsaannya, dsb., pengalaman batin dalam perjalanan spiritual mencari dan mendapatkan yang hakiki, menggapai dan menuju Cinta Ilahi, Sang Pencipta. Pencarian itu misalnya dapat kita rasakan dalam puisi “ Sang Pemburu”, aku lirik menjeritkan: Di mana engkau?/ keluhku melolong di harihari yang panjang/ namun kau sublim/ dalam hingar bingar waktu/ membiarkan langkahku luruh di segala penjuru. Aku lirik terus melakukannya karena sadar pada janji yang harus dipenuhi: aku akan terus memburu/ atas janji yang harus/ dibayar semestamu. Jika kita mengacu pada keyakinan Islam, kita mengetahui bahwa setiap ruh sebelum dilahirkan ke dunia telah melakukan perjanjian/ kesaksian  kepada Allah Swt (yang disebut perjanjian azali)  bahwa, seperti dinyatakan AlQuran dalam Surat Al Araf ayat 172, ruh manusia telah bersaksi mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, yang hal ini berkonsekuensi pada ketaatan manusia untuk menyembah Allah dan menjaga keimanan dan ketaatan di dunia.

Aku lirik menyadari bahwa untuk melaksanakan dan menggapai itu  semua, Ia harus menghadapi godaan dunia  yang disebutnya: musim penuh darah dan dengki/ jiwajiwa berbandrol harga/…/Tuhan telah mati/ di altar para penjudi. (Puisi  “ Wajah Dunia” ). Juga waktu di dunia yang kita sering terjebak di dalamnya dengan mempertaruhkannya untuk ambisi duniawi: …/Kereta waktu mendesak mengarak kita/ menjadi bidak- bidak tak berjiwa/ membeli dunia tanpa bunga dan warna/…// (Puisi “ Kala”).

Selain itu,  tidaklah mudah menghadapi semua itu,  karena aku lirik mengalami kenelangsaan, kesunyian, keterasingan, persimpangan-persimpangan, menghadapi titik nol,  sadar sebagai pendurhaka, seperti antara lain dinyatakan dalam puisi “Sepasang Mata”, “ Elegi”,  “Malam Kepergian”, “ Titik Nol“ Oktober Kelabu”, “ Hitam”, namun  aku lirik terus berusaha untuk kembali, minta diselamatkan dari megah pesta duniawi :…/ Selamatkan aku/ di sudut paling purba bumi ini/ dari megah pesta duniawi/…// (Puisi “ persembunyian”). Aku lirik pun terus mencari hikmah di bibir peristiwa ( Puisi “Sarah Monica”) untuk mengambil makna kebijaksanaan: Biar lelah umurku melangkah/ punah hampa segala punya/ tiap peristiwa terus menenun/ kain kebijaksanaan dalam jiwaku/ yang membeku (Puisi Oktober Kelabu”). Juga untuk menemukan kebenaran: Di jalanjalan setapak/ aku mendengarnya bangkit dan berkelana/ meratapi warta dunia/ memanggilmanggil dalam hening/ kebahagiaan yang dilahirkan para Wali/ kecintaan yang ditawarkan para Nabi/ dan kebenaran yang berputar bersama bintang/ (Puisi “Sepasang Mata”).

Untuk menghadapi godaan semu dan fana duniawi juga, dalam puisi lainnya, Sarah menyatakan ingin lebih mengejar cahaya Tuhan dan keabadian: aku terus meminta agar dunia berhenti tumbuh/ dalam kebun hatiku/ melindungi kuncup bunga/ demi mengejar cahaya/ (Puisi “ Cahaya Yang Kuasa”). Bahkan, dalam puisi “ Sarah Monika” dikatakannya: Perjalananmu, Sarah Monica,/ menjauhi diri demi/ mendekati keabadian. Dan, pada puisi “ Berserah”, aku lirik menemukan hikmah yang dalam dan indah: …l Hidup adalah akrawala tipu daya/ rimba pertarungan pedang nafsu/ tapi di pusara cinta/ aku menemukan/ Tuhan hadir dalam segala nama/segala wujud// Dari- Nya/ air terjun mataku/ hanyalah kerinduan tak bertepi//.

Ya, akhirnya aku lirik memang menemukan cinta, seperti diungkapkanbnya dalam puisi “Wajah Keabadian”: Cinta tidak lain/ persembahan untuk Sang Kuasa/ saksi sunyi/ dari wajah keabadian.

Napas Spiritual dan Sufistik

Puisi- puisi tentang pencarian eksistensi, tujuan dan makna hidup, pengalaman dan pengembaraan batin dan spiritual memang telah banyak dilakukan penyair- penyair ( bahkan para filsuf) sebelumnya. Seperti Friedrich Nietzsche, Rainer Maria Rilke,  Albert Camus, Jalaludin Rumi, Muhammad Iqbal, Rabindranath Tagore, dan di negeri kita Amir Hamzah.

Pertanyaan-pertanyaan dan nada sufistik pun muncul dalam puisi-puisi Sarah Monica. Bahkan pada beberapa puisinya Sarah menggunakan pula metafora yang banyak muncul dalam puisi-puIsi para penyair sufi, seperti anggur, mabuk, mawar, kegilaan. Namun, suara puisi Sarah tetaplah suara puisi Sarah yang memiliki individuasinya, baik dalam bahasa ungkapnya, maupun sudut pandangnya karena ia ditemukan dari pengalaman batinnya sendiri yang berbeda.  Sebagai contoh, Sarah berbicara tentang kenelangsaan manusia di dunia, dan tentang kenelangsan ini juga telah banyak dibicarakan dalam puisi dan aliran filsafat eksistensialisme, seperti Nietzsche yang memandang dunia memang tragis, atau Jean Paul Sartre yang mengakui penderitaan hidup dan absurditas, juga philosophical pesimism yang memandang dunia ini tempat penderitaan sehingga hidup manusia dianggap tidak memiliki makna, namun pandangan  Sarah tentang kenelangsaan itu ditemukan lewat pengalaman batinnya  menghayati Eksistensi Tuhan, sehingga Sarah bisa berkata dalam puisinya “ Tamu Jiwa” : duka adalah anak suci pencarian. Bahkan puncak penderitaan, yakni sekarat, ia sebut: sekaratku, kematian ku, hanya goresan kecil pada kitabnya (“ Wajah Keabadian”).

Adapun kata anggur, mawar, mabuk yang sudah ada pada puisi-puisi puisi sufistik sebelumnya, masih digunakan oleh Sarah. Dalam pandangan saya, karena Sarah menganggapnya sebagai simbol yang sudah mapan.

Demikianlah sedikit pandangan saya tentang puisi- puisi Sarah Monica dalam puisi Bangkitnya Kemurungan. Keberadaan puisi ini sangat berarti di tengah dunia yang materialistis dan di tengah gemuruh medsos yang bising, kita diajak sejenak ‘ pulang’  ke pengakuan  awal (azali). Juga sangat berarti karena saat ini yang menulis puisi- puisi semacam ini langka. 

Terakhir, sebetulnya, apa yang saya sampaikan di atas terlalu menyederhanakan persoalan. suara- suara yang muncul dalam puisi Sarah lebih dalam dan lebih luas dari itu, yang banyak tak terkatakan dan terpetakan dalam tulisan saya ini. Para pembaca tentunya akan menemukan lebih banyak dari ruang- ruang kosong yang tak terkatakan oleh saya dan dari  yang terkatakan. Wallahu alam bisawab.

Nenden Lilis Aisyah merupakan seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), penulis dan penyair, Ketua Komunitas Sastra Setanggi, serta pendiri Komunitas Sastra Dewi Sartika.

KOMENTAR
Post a Comment

You don't have permission to register