
Menjejaki Rumah, Kerinduan dan Suara Kemanusiaan Migran
Catatan Pengamatan Perjalanan Body Migration- (Not) Longing for Home
Haloo
Nama Saya Kamu. Kamu siapa?
Saya Kamu. Pekerjaannya apa?
Saya perantau
Kenapa merantau
Karena mmmmhh, sayaaa… mmmmhhh. Ya agar hidup saya lebih baik dan bisa bantu keluarga.
Sepilahan teks dan suara pembuka dari rentetan kalimat karya tari Body Migration- (Not) Longing for Home ditafsirkan Siska Aprisia dan Jay Afrisando dalam bentuk kosakata gerak dan suara. Diawali ketika Siska memainkan pesawat kertas biru bertuliskan need help. Dalam karya tari pendeknya, Siska dan Jay mencoba mereproduksi tafsir atas tubuh migran, rasa takut dan suasana di balik ancaman yang dihadapi pekerja migran Indonesia di Malaysia. Khususnya, pekerja rumah tangga yang dikurung dan seringkali mengalami kasus penderaan tubuh dan psikologis di balik rumah majikan.
Karya dengan durasi singkat ini menjadi terasa hidup dan berisi karena suara dan teks-teks berpendaran di layar tembok hasil olahan musik dan teks dari Jay Afrisando. Teks dan suara hadir menjadi artistik, background sekaligus penegas dari gerak tubuh yang mewakili tubuh dan kisah para migran Indonesia yang ditemuinya.
Pertunjukan ini hadir di Open-Studio Body Migration- (Not) Longing for Home di Papan Haus, Petalling Jaya, Selangor, Malaysia pada 20-21 Agustus 2025. Selama dua minggu di Kuala Lumpur, Siska Aprisia (penari, koreografer & performer), Jay Afrisando (Komposer dan seniman multimedia), Dani Martin CP (Videografer, fotografer) dan Selvi Agnesia (Penulis), melakukan pengamatan dan wawancara bersama pekerja migran Indonesia, juga mewawancarai komunitas Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) dan lembaga Tenaganita.
Body Migration- (Not) Longing for Home adalah lanjutan dari riset Siska Aprisia, koreografer asal Pariaman, Sumatra Barat tentang tubuh rantau sejak tahun lalu. Ia adalah salah satu seniman yang terpilih untuk peserta residensi REFLEKT bersama TanzFaktur 2024 di Koln, Jerman, sebuah program dari Goethe Institut di Asia Tenggara. Karya ini adalah karya yang tumbuh dari Body Migration- I Do (n’t) Want yang dipentaskan di Koln, Jerman (2024) dan Goethe Institut Jakarta (2025). Bisa disebut, karya ini adalah karya tentang migran yang bermigrasi dari Jerman ke Malaysia. Sebelumnya, Siska yang memiliki basis silat ulu ambek sebagai pondasi gerak, juga menampilkan karya Merantau dalam Diri di ARTJOG 2024. Body Migration- I Do (n’t) Want turut dihadirkan dalam bentuk lecture performance pada 15 Agustus di DekatKL, Kuala Lumpur.
“Karya-karya saya selalu berangkat dari apa yang saya alami. Rumah bagi saya adalah tubuh saya sendiri” ucapnya.
Dari ruang depan Papan Haus, penonton menyimak dengan khidmat pertunjukan tubuh Siska. Semula bergerak perlahan, lambat, namun ketika Siska melesapkan tubuhnya ke dalam plastik trash bag hitam, ia bergerak menggeliat serupa menyimpan ledakan emosional yang tertahan—sembari melubangi plastik dan memunculkan mata yang mengintip, tangan yang ingin meraih hal-hal yang sulit diraih. Gerak tubuh Siska terasa senyap, jauh dari gemulai, puitik namun mengintrupsi — ketika suara pertanyaan dan jawaban dihadirkan overlap yang memunculkan intensitas gangguan-gangguan lewat gerak dan suara.

Siska melesapkan tubuhnya ke dalam plastik trash bag hitam, ia bergerak menggeliat serupa menyimpan ledakan emosional yang tertahan. Foto: Penulis/Dani Martin C.P
Tarian ini ingin menarasikan sesuatu yang ironis berupa lapisan memori dan trauma emosi— Pekerja migran yang tidak mendapat libur, berita kasus penyiksaan yang viral dan luka atas kesunyian dan kerinduan akan rumah dan keluarga. Terutama saat suara saluang yang menggema — menyerupai bisikan yang ditindih waktu, memanggil dari kejauhan untuk pulang. Siska mengajak penonton satu persatu untuk saling berpegangan tangan, menciptakan jaringan tubuh sebagai satu kesatuan. Tidak hanya aku, tapi kami. “Kita harus saling menguatkan. Bergandengan. Berdampingan” Sebagai kekuatan tubuh dan emosi yang bersemayam dalam diri manusia atas empati dan kemanusiaan yang paling hakikat dan purba.
Perahu Tongkang, Kisah Perantauan dan Nasib Pekerja Migran
Alih-alih mendapatkan jawaban lugas dari arti kata “Apa makna rumah, migran dan merantau?” selama dua minggu pengamatan, ketika seniman melakukan riset artistik, alhasil pertanyaan tersebut dijawab dengan karya-karya seni sebagai wadah estetik—bukan laporan tertulis. “merantau sama halnya dengan usia peradaban manusia” kurang lebih seperti yang diungkapkan antropolog Mochtar Naim — juga, menurut saya, merantau dalam konteks force labour turut bersandingan dengan sejarah kolonialisme dan perbudakan manusia. Manusia akan merantau sepanjang masa, makna perjalanan ini tidak hanya perjalanan melewati batas geografis wilayah, namun, hakikat merantau adalah perjalanan diri dari dalam — yang terus berhadapan dengan segala ketegangan dan takdir di luar dirinya.
Alhasil, makna dari rumah, migran dan merantau ini selain dalam karya tari juga diproduksi dalam karya-karya seni berupa film dokumenter (Not) Longing for Home : Kisah Pekerja Migran di Negeri Jiran dari Dani Martin CP dan pameran catatan arsip berjudul Nasib dan Harapan Manusia: Cerita Pekerja Migran Indonesia di Malaysia dari Selvi Agnesia—keduanya, sebagai gambar saling berpantulan sebagai media gambar bergerak dan teks arsip wawancara —dicetak dalam kertas berwarna-warni bersanding dengan foto. Pada film dokumenter, penonton hadir menjadi saksi hidup yang menyaksikan langsung pekerja migran di antaranya: Muffarokah, Subaiki, Suwarni, Hendra, Nia (nama samaran), Bella (nama samaran).
Sepilahan kisah Wak Subaiki yang telah bekerja di Malaysia selama 46 tahun dan Muffarokah yang berangkat ke Malaysia, ketika usianya pada saat itu baru menginjak 14 tahun, keduanya menaiki tongkang —sampan perahu layat atau perahu boat kecil yang mengangkut penumpang dalam jumlah terbatas. Mereka “menempuh jalan mati-matian” —resiko nyawa demi keluarga, untuk makan anak dan sekolah, ungkap Nasrikah, penasihat dan pendiri PERTIMIG yang juga pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Nasrikah juga turut membacakan puisinya berjuluk Langkah yang Tak Pulang.
Masalah himpitan ekonomi, beban hutang yang harus diselesaikan dan keinginan memuliakan keluarga menjadi sekian alasan mereka merantau. Di Malaysia sebagai tempat perantauan, mereka mengejar takdir. Ada yang bernasib baik, banyak pula nasibnya ditentukan di tangan tipuan agent dan majikan yang bengis. Beberapa kasus kekerasan dan kerja paksa (force labour) dari pekerja migran Indonesia yang viral seperti Adelina Sau dan Nirmala Bonat dijelaskan Nasrikah (PERTIMIG), Glorene Das dan Maslina dari NGO Tenaganita . Kebanyakan kasus berasal dari pekerja rumah tangga— adapun jumlah pekerja domestik terbesar di Malaysia berasal dari Indonesia.
“Kasus yang kita terima, yang disiksa, kita memang terharu, buat kita, ada dokumen atau tidak, tak apa. Yang penting mereka adalah manusia dan mempunyai hak. Itu kita harus menghormati, kita dapat tolong, kadang kita dapat aduan macam-macam, tapi kita jangan menjawab tak boleh tolong” ungkap Glorene yang setiap harinya menerima tidak kurang dari 20 email dan aduan hotline telpon.
Rumah, Kebebasan, Kampung Halaman
What does home mean to you? Sebuah pertanyaan yang ditulis di white board pintu masuk. Jawaban yang ditulis oleh peserta open-studio, kebanyakan adalah tempat kelahiran, rasa aman dan kedamaian. Pertanyaan serupa ditanyakan kepada pekerja migran yang diwawancarai.
Selama sekitar 18 atau 19 tahun, Bella tinggal di rumah majikan yang cantik dan bagus. Namun baginya, yang terpenting, rumah yang diharapkan cukup yang bisa membuat pikirannya tenang. Lingkungannya bagus dan suasananya membuat Bella bahagia dengan keluarga, dengan orang-orang yang dia sayangi. Bella sudah memimpikan rumah itu sejak lama. Di kampung halamannya.
Selaras dengan Nia yang telah bekerja 15 tahun di Malaysia dan pernah dipenjara selama tiga bulan di penjara wanita Kajang karena tertangkap sebagai pekerja igran illegal, “Rumah buat saya, tempat istirahat di masa tua.” Lain dengan pemikiran Wak Subaiki yang sudah beranjak 74 tahun dan memiliki 6 anak dan 12 cucu di Malaysia. Di masa tuanya, Wak Subaiki memaknai rumah tidak sebagai bentuk fisik dan hunian. Baginya, makna rumah sesungguhnya hanya bisa ditemukan ketika kita sudah mati, kembali ke kubur.
“Sudah tak ada artinya lagi rumah dan harta dengan kekayaan. Yang ada di sana di dalam kubur adalah yang mutlak selama-lamanya” ucap Subaiki.
Makna rumah tersebut juga bersisian dengan harapan dan kebebasan. Ketika bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke 80 tahun yang dihadiri ibu-ibu pekerja domestik di komunitas Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG). Uli Rini, Ketua PERTIMIG dengan lantang menyebutkan, Indonesia merdeka tapi pekerja rumah tangga belum merdeka. Maksudnya, jauh panggang daripada api untuk menyebut kita pekerja migran bebas dan berdaulat. Hak-hak yang tidak dipenuhi, seperti libur satu hari dalam satu bulan untuk pekerja rumah tangga di Malaysia, masih mati-matian diperjuangkan.

Suasana Workshop Sound and Stories. Foto: Dani Martin CP
Pada momentum hari perayaan kemerdekaan tersebut Siska Aprisia memfasilitasi workshop Gerak Hidup — workshop ini muncul dari amatan Siska tentang kebutuhan orang banyak dengan rasa aman dan nyaman dalam berbagai kisah dan cerita hidupnya, membagikan luka dan kebahagiaanya. Para peserta, ibu-ibu pekerja rumah tangga menuliskan cerita hidupnya selama merantau dan bekerja. Alhasil, salah seorang ibu menangis ketika menceritakan kisah hidupnya yang dipenuhi lapisan trauma dari pasangannya hingga tujuannya ke Malaysia. Siska juga meminta mereka untuk menuliskan harapan dan doa mereka untuk keluarga di rumah di sayap pesawat. Alhasil, pesawat-pesawat kertas ini ditampilkan dalam instalasi pesawat yang diikat dengan tali berjuluk Pesawat Doa. Sebagai medium simbolik untuk mewakili tubuh pekerja migran di Malaysia untuk menyapa ke rumah lewat rasa dan ingatan.
Sedangkan, Jay Afrisando lebih mencairkan atmosfer suasana dengan Sound and Stories. Jay menjelaskan, bahwa Sound and Stories adalah seri lokakarya yang bertujuan mengeksplorasi suara (dalam arti terluas) dan notasi grafik secara mengasyikkan, mudah, terjangkau, aksesibel, dan cocok untuk semua usia. Para pekerja migran membagikan kisah-kisah mereka dalam gambar dan suara.
Alih-alih memaknai hidup. Banyak pekerja migran menjalani hidup seperti dalam autopilot—bangun, bekerja, tidur, lalu mengulanginya. Seperti Sysipus, menggelindingkan batu dan menggulirkan beban itu kembali. Mereka dipaksa menjadi lupa bahwa waktu tidak hanya berjalan, tetapi juga membawa serta cerita hidup. Filsuf Plato dalam teori mimesis menjadikan karya-karya seni sebagai tiruan alam dan kehidupan manusia. Alhasil, seluruh hasil karya ibu-ibu pekerja rumah tangga arsip-arsip kertas dari Gerak Hidup, Sound and Stories dan Pesawat Doa yang ditampilkan di Open-Studio, tidak hanya sekedar potret dan realitas, juga ungkapan “kesadaran personal” dan “empati kolektif kemanusiaan” yang dibangun. Seluruh hasil pengamatan dan partisipasi selama dua minggu di Malaysia bertujuan membangun keduanya.
Perjalanan ini belum selesai setelah seluruh karya ditampilkan. Justru ingatan ini semoga dapat mulai bergerak dalam diri masing-masing. Membuka pertanyaan-pertanyaan baru tentang arti rumah, merantau, migran dan kemanusiaan di dalamnya.