Fb. In. Tw.
Resensi novel Duri Dan Kutuk

Menikmati Segala “Duri dan Kutuk” dari Cicilia Oday

Esai ini didiskusikan dalam gelaran Bukan Jumaahan Akbar di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, 10 Oktober 2025.

 

“Aku berkata sikapnya amat tidak terpuji, tanaman juga makhluk hidup dan membunuh mereka tanpa alasan adalah dosa.”

DURI DAN KUTUK – Cicilia Oday

 

Setelah membaca DURI DAN KUTUK karya Cicilia Oday, saya langsung teringat kisah Tebo dan Wagini. Keduanya sempat menjadi pemberitaan lantaran disebut-sebut sebagai putra genderuwo. Ya, genderuwo. Makhluk gaib yang dideskripsikan memiliki wujud menyeramkan; berbulu hitam lebat, tinggi besar, dan jahat –setidaknya tiga kata itu yang acapkali tergambar oleh saya. Entah dari mana gambaran itu mulanya muncul. Apa saya pernah melihat genderuwo secara langsung? Amit-amit!

Tebo dan Wagini bukanlah sepasang saudara, bahkan kisah mereka berdua berbeda era. Tebo, saya tidak terlalu ingat, tetapi nama itu cukup membekas di ingatan saya sejak kecil circa tahun 2000-an. Sedang Wagini, kalau tidak salah, kisahnya mulai ‘booming’ (kalau sekarang disebut viral) memasuki tahun 2013-an. Kedua orang tersebut bahkan sempat tampil di televisi nasional, dan kita bisa menelusurinya sampai hari ini.

Ada sedikit yang menggelitik pikiran saya mengenai genderuwo. Mengapa genderuwo sejauh ini diidentikkan sebagai laki-laki/jantan? Kalau toh memang setan, jin, hantu, dan sebangsanya memiliki gender yang sama seperti manusia. Lalu, apakah tidak ada genderuwo perempuan? Kenapa ia bisa memiliki syahwat untuk menyetubuhi seorang manusia hingga hamil dan beranak? Kawin silang antara perwakilan alam gaib dan alam manusia itulah, yang saya pikir, membuat geger pemberitaan pada saat itu. Namun siapa yang percaya akan bualan tersebut. Sialnya, cerita itu bukan sekadar tulisan fiksi. Kau bisa melihat sosoknya. Bahkan setelah saya telusuri, Wagini dikatakan sebagai anak genderuwo yang sejauh ini paling ganteng.

Cukup sudah pembahasan Tebo dan Wagini sampai di sini, sebab saya hendak membahas hasil bacaan saya untuk buku peraih Penghargaan Kusala 2025 kategori novel.

Sinopsis DURI DAN KUTUK

Buku ini berkisah mengenai Adam, bocah kelas 7 SMP, yang sedang pubertas. Ia seorang penyendiri yang menyimpan banyak rahasia. Mulai dari kesukaannya meracap, mengutil barang teman di sekolah, dan mengintip tetangganya bernama Eva Wahani. Peristiwa dimulai saat usia Adam memasuki 13, dan ia meminta dibuatkan sebuah kamar di loteng rumahnya. Setelah disetujui Anwar dan Sara, kedua orangtuanya, akhirnya Adam memiliki privasinya sebagai seorang remaja.

Kamar di loteng itu digambarkan tidak terlalu besar, hanya memiliki ranjang ukuran single, sebuah meja belajar dengan kursi, dan rak sepatu plastik. Terdapat sebuah jendela yang berhadapan langsung dengan salah satu sisi rumah tetangganya. Rumah tua peninggalan Belanda itu sekarang dimiliki oleh Eva Wahani, seorang perempuan penyendiri yang digambarkan memiliki fisik ‘aneh’.

Suatu malam, Adam mendapati kejadian ganjil. Pekarangan Eva Wahani yang diselimuti tumbuhan seperti bunga-bunga dan pepohonan, mulai mengusik waktu istirahat Adam. Para tetumbuhan itu terdengar saling berbicara satu dengan yang lainnya. Cukup penasaran, Adam menyaksikan peristiwa itu dari jendela kamarnya. Mulanya ia merasa takut, tetapi semakin hari ia pun semakin terbiasa.

Hingga suatu hari Adam mengintip Eva Wahani yang tengah melucuti pakaian. Kejadian itu ia saksikan lewat teropong binokular yang dicurinya dari teman di sekolah. Adam menyaksikan tetangga, yang digambarkan memiliki perawakan aneh itu, dengan hasrat melonjak-lonjak. Sampai dirinya mulai hafal jadwal Eva Wahani mulai melucuti pakaian untuk membersihkan tubuhnya dari kecambah dan akar-akar.

Konflik mulai terjadi pada suatu malam tumbuhan di pekarangan Eva Wahani mendamprat Adam, menuduh remaja lelaki itu mesum sudah mengintip ‘majikannya’ selama ini. Sekelompok mawar pun memberi pelajaran kepada Adam, dan hal itulah yang menjadi konflik berkepanjangan hingga akhir cerita.

Sudut Pandang dan Realisme Magis

Saya kira, novel yang 191 halaman ini berusaha menyoroti beberapa isu seperti ruang privasi tubuh, pola asuh anak, pelecehan seksual, perundungan, kabar palsu (gosip/fitnah), dan kelestarian lingkungan. Dikemas dengan gaya penulisan realisme magis, setidaknya itu hasil pembacaan saya, yang apik dengan penggunaan tiga sudut pandang. Dua sudut pandang orang ketiga dan satu sudut pandang orang pertama.

Ya, ada dua sudut pandang orang ketiga dalam novel ini. Pertama, sudut pandang orang ketiga sebagai narator yang memperlihatkan situasi Adam dan tokoh-tokoh yang membersamainya. Kedua, sudut pandang orang ketiga sebagai narator khusus yang memperlihatkan sisi dari Eva Wahani. Ketiga, penggunakan sudut pandang orang pertama tokoh Sara, Ibu kandung Adam.

Penggunaan ketiga sudut pandang ini sangat membantu menjabarkan kompleksitas karakter-karakter yang bergerak menyusun peristiwa. Misalnya, kita bisa tahu bahwa Adam memiliki kebiasaan mengutil barang temannya di sekolah, senang meracap dan berbagi video bokep, memiliki fantasi liar dengan guru, menyukai tokoh lain, dan mengemban rahasia dalam dirinya. Lain dengan sudut pandang orang ketiga yang lebih intens, yang ditandai dengan penggunaan italic, memperlihatkan latar belakang dan keseharian Eva Wahani. Hal yang justru mengundang geregetan adalah penggunaan sudut pandang orang pertama, Sara. Ibu dari Adam ini membangun konflik besar di tengah cerita.

Namun, setelah membacanya hingga tamat, saya baru memahami bahwa dalam prolog, yang hanya tiga paragraf, pembaca diajak mengetahui apa kebiasaan yang menjadi asal mula konflik panjang tak berkesudahan itu. Bahkan dalam kalimat pembuka, betapa diperlihatkannya seorang anak yang sungguh problematik: “BELUM PERNAH ADAM melihat tubuh perempuan selain para bintang film bokep.”

Saya jadi mengingat kisah klasik Tebo dan Wagini setelah membaca halaman 36. Dijelaskan bahwa Eva Wahani merupakan anak dari seorang lelaki bernama Damar yang suka mabuk-mabukan dan meracap sembarangan. Suatu malam, Damar meracap di sebuah ceruk pohon jati.

“Waktu itu bulan bersinar penuh di langit dan Damar menemukan ceruk kecil di dekat pangkal batang. Damar si pemuda bandel itu menyetubuhi pohon itu di sana. Tak lama berselang Damar diperintahkan untuk melanjutkan kuliah ke kota, agar ulahnya tidak semakin menjadi-jadi. Damar pun ke kota untuk kuliah dan hanya pulang tiga bulan sekali.” (DURI DAN KUTUK hlm. 36).

Pemabuk macam apa yang bisa-bisanya menyetubuhi pohon jati?! Gila. Tak masuk logika. Termangu.. Ah sudahlah!

“Pada suatu kesempatan ia pulang kampung, seisi rumah terjaga di tengah malam karena mendengar raung suara tangis bayi di luar. Orang-orang tegopoh-gopoh bangun dan mendapati suara itu berasal dari pohon jati di belakang rumah..”  (DURI DAN KUTUK hlm. 36).

Dan bayi itu dinamai Eva Wahani, yang pada akhirnya memiliki bentuk fisik ‘aneh’ dengan kemampuan ‘ajaib’.

Wendy B. Faris dalam bukunya Magical Realism: Theory, History, Community (1995) mengemukakan bahwa realisme magis dapat dikenali dari beberapa tanda meliputi keajaiban hadir tanpa penjelasan logis; tokoh-tokoh menerima hal gaib tanpa terkejut; sejarah besar (kolonialisme, revolusi) bercampur dengan kehidupan sehari-hari; dan bahasa cenderung datar, bahkan dingin, ketika menghadirkan peristiwa luar biasa. Semua itu membuat magis tampak nyata, nyata tampak magis.

Ketika tokoh Adam mampu mendengar pertengkaran antar tumbuhan di pekarangan Eva, lalu ia mendapat tulah dari tumbuhan tersebut lantaran sering sengaja mengintip, novel ini berusaha menampilkan sisi lain dari ‘keajaiban’. Kemudian Eva yang ternyata seorang perempuan hasil dari persetubuhan manusia dan pohon jati. Ia memiliki tubuh yang harus selalu dibersihkan dari kecambah dan akar-akar, yang kemudian dari kedua hal tersebut memberikan dampak signifikan untuk kelestarian hayati. Lantas munculnya pohon-pohon raksasa untuk membangun sebuah klimaks di akhir cerita, menjadi penguat bahwa novel tersebut memang bernuansa realisme magis.

Tema yang Berlapis

Novel yang terbagi ke dalam dua bagian ini: bagian DURI dan bagian KUTUK, memang mengemban beberapa isu seperti yang telah dikatakan sebelumnya. Namun sebagai pembaca, saya merasa ada keterburu-buruan di sepertiga akhir cerita. Dalam bagian DURI, pembaca digiring untuk melihat apa saja penyebab konflik. Lalu di bagian KUTUK, pembaca mendapati akibat apa yang kelak dialami Adam. Namun bukan hanya Adam yang mendapat ‘kutukan’, setidaknya ada tiga tokoh lain yang mendapatkan kutukan. Seorang tukang bakso, seorang pemuda di ujung jalan –yang entah siapa, dan Nala, teman perempuan yang Adam sukai.

Hadirnya hutan ‘siluman’ yang tumbuh secara tiba-tiba di pekarangan Eva Wahani dalam hitungan hari membuat cerita menjadi lebih cepat. Hal ganjil lainnya adalah respons warga sekitar bahkan beberapa pihak lain yang mengalami dan mengetahui adanya keganjilan itu terkesan biasa-biasa saja. Mereka tidak memperlihatkan secara kompleks geger peristiwa tersebut menjadi kejadian darurat. Padahal sudah ada korban yang menghilang tanpa sebab. Selain itu, kronologi waktu dalam cerita ini terasa tergesa-gesa.

“…Tepat ketika gerakan pada pola permukaan salah satu batang pohon terdekat. Gerakan itu amat samar dan langsung berhenti ketika dia mengerjap sehingga dia berpikir itu hanya ilusi optik. Pikiran-pikiran ini membuat Adam masih terjaga sampai pukul satu lewat tengah malam, hingga akhirnya dia menyerah dan pindah ke kamar lamanya di bawah.

Orang-orang terus berdatangan setiap hari, mengambil foto atau sekadar mengagumi barisan pohon raksasa yang tidak mereka pahami. Para awak media sampai orang-orang dari dinas lingkungan hidup datang membawa beberapa peneliti dari universitas-universitas di kota, menguji kepadatan tanah yang tertutup lumut, mengambil bagian-bagian tanaman hingga tanah sebagai sampel, tapi tetap tak ada yang berani melangkah melewati pagar. Setidaknya selama satu bulan pertama pohon-pohon raksasa yang membentuk hutan kecil di permukiman itu tetap menarik orang berdatangan…” (DURI DAN KUTUK hlm. 131)

Pada akhirnya saya memahami pernyataan pertanggungjawaban juri Kusala 2025 bahwa novel ini ‘menampilkan kisah yang menempatkan jelajah batin karakter-karakternya sebagai poros. Kesegaran hadir dalam tema yang berlapis sehingga menampilkan karakter yang tidak tunggal nilai didukung oleh cara bercerita yang mewakili keberagaman suara naratif. Penulis secara sadar memilih peristiwa-peristiwa yang merupakan metafora getirnya hubungan manusia dengan alam.’

 

Bandung, 2025

Tinggal di Bandung. Bekerja sebagai penulis lepas. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Situasi yang Tak Menyenangkan” (2019), buku kumpulan puisi “Halaman Ganjil” (2022).

KOMENTAR
Post a Comment

You don't have permission to register