Kiat Sukses Hancur Lebur: Menunda Makna
“Andy Kaufman, ketika membaca The Great Gatsby dalam salah satu stand-up comedy-nya adalah perumpaan yang cocok atas Kiat Sukses Hancur Lebur ini. Ia menunda (atau meniadakan) punch line sampai kepada tahapan yang tak tertanggungkan lagi,” Kira-kira itu lah yang diungkapkan Dea Anugrah (penulis, wartawan) di acara Bincang Sore Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya di Kineruku, Jalan Hegarmanah 52, Bandung (Sabtu, 4/2/2017).
Bincang Sore yang dimoderatori oleh Andika Budiman (pengasuh web Kineruku) ini tidak hanya fokus pada unsur dan alasan penerbitan buku, melainkan juga kepada proses kreatif dan gagasan Martin Suryajaya ketika mencoba merekam konteks ke-hancur leburan Indonesia saat ini ke dalam bentuk novel non-konvensional.
Acara dimulai oleh moderator dengan membacakan beberapa paragraf awal dari Kiat Sukses Hancur Lebur, yang seketika membuat gelak hadirin terdengar. Dan, seketika itu pula menarik antusiasme mereka.
“Pada 2019, seorang kritikus bernama Andi Lukito menerima naskah Kiat Sukses Hancur Lebur. Naskah semacam novel itu karya Anto Labil S.Fil, salah seorang anggota ‘Tujuh Pendekar Kere’, sebuah persekutuan sastra radikal dekade 90-an yang aktif di Kota Semarang…
“Kita sudah terlalu sering cebok. Terlalu banyak cebok itu tidak baik, bisa meningkatkan resiko kanker dan buta huruf…”
Dea menanggapi teks tersebut sebagai upaya awal penghadiran watak komedi dalam novel ini yang sekaligus juga memancing kesadaran pembaca untuk tidak serta merta percaya (atau menunda untuk mempercayai) informasi buku yang terkesan seperti (sesuai judulnya) buku kiat sukses di pasaran, mengajarkan metode atau tahapan pasti nan terukur guna mencapai sesuatu.
Martin mengakui, bahwa buku yang ia kerjakan selama lima bulanan ini sedikit-banyak memang terinspirasi dari buku kiat sukses dan kiat praktis yang berserakan di pasaran itu. “Ini penulisnya kok yakin banget ya,” impresi pertamanya ketika membaca suatu buku pemograman. “Mereka begitu yakin kalau metode-metode mereka bisa diaplikasikan,” lanjutnya.
Sebagai antitesisnya, Martin menghadirkan Kiat Sukses Hancur Lebur. Sesuai dengan judulnya, pembaca tidak akan menemukan kiat atau langkah praktis yang pasti dan terstruktur dalam proses untuk mencapai sesuatu. Atau dalam hal ini, untuk mendapatkan ajaran nilai moral atau menemukan konflik, tokoh, plot atau bentuk-bentuk pakem lain dari apa itu yang bisa digeneralisasikan sebagai novel. Ia sudah menghancur-leburkan kiat sukses tersebut semenjak halaman pertama.
Yusi Avianto Pareanom dari Penerbit Banana, yang menerbitkan novel ini, menjelaskan, “Novel ini memancing pembicaraan berkelanjutan tentang apa sih novel, apa sih fiksi.”
Jelas Seperti Andy Kaufman dalam Man On The Moon (1999). Novel Kiat Sukses Hancur Lebur ini menunda harapan pembaca sampai kepada tahapan yang tak tertanggungkan lagi. Ada satu scene dimana Andy membaca The Great Gatsby karya F. Scott Fotzgerald dari awal sampai tuntas di sebuah audiotorium suatu Universitas di Amerika.
Andy melakukan hal itu sebagai reaksi jengkelnya kepada penonton yang tidak cerdas, mereka menginginkan “Latka” (karakter buatan Andy yang populer berkat suatu program sitkom di televisi) yang menurutnya tidak bermutu dan tidak mengindahkan jokes segarnya. Penonton yang kala itu ramai dan antusias menghilang satu-persatu, hanya beberapa orang saja yang tersisa, bahkan sebagian diantara mereka juga ketiduran.
Andy menunda harapan penonton untuk terhibur dan tertawa terbahak-bahak sampai kepada tahapan yang tak tertolerir lagi. Bahkan, ia tidak mewujudkan harapan-harapan itu sama sekali dalam penampilannya.
“Buku ini bisa sangat disukai atau sebaliknya, dikarenakan bentuknya tidak lazim”, ujar Yusi.
Menurut Dea, Kiat Sukses Hancur Lebur menunda kehadiran kesimpulan dan kandungan nilai dari suatu novel secara eksplisit (maupun implisit), ia membuat pembaca harus mencermati setiap tulisan satirnya guna mendapatkan sesuatu atau bahkan tidak sama sekali, tidak ada jaminan. “Ini bukan novel lucu melainkan novel sedih tetapi bukan novel yang sedih,” katanya
“Saya tidak berusaha mengadirkan nilai moral, itu adalah urusan pembaca,” sambung Martin.
Yusi menerangkan, “Ini adalah novel kedua Martin yang dikirimkan kepada saya, novel pertamanya tidak lolos. Yang mengangumkan dari karya Martin kali ini adalah stamina dan upayanya bermain-main. Bagi Tempo atau Indonesia mungkin bentuk baru, tetapi di luar sudah sangat lazim.”
“Sumpek, capek nulis filsafat. Membiarkan nalar liar. Dibebasin untuk ngapa-ngapain aja.” Kira-kira penggalan Kalimat itulah pokok penjelasan Martin ketika ditanya mengenai proses kreatifnya.[]

