Fb. In. Tw.
Festival Film Pelajar Purbalingga

Estetika Lokal dan Politik Representasi: Membaca Film Pelajar Sebagai Kritik Sosial

Film pelajar di Banyumas Raya—terutama melalui Festival Film Pelajar Purbalingga (FFPP)—merupakan praktik ekspresi budaya yang tidak hanya kreatif, tetapi juga politis. Di balik kesederhanaannya—kamera seadanya, aktor nonprofesional, lokasi desa, dan narasi keseharian—terdapat semangat besar untuk menyuarakan realitas pinggiran. Film-film ini menjadi arena resistensi terhadap dominasi sinema metropolitan, yang kerap mengabaikan suara masyarakat luar pusat. Maka, film pelajar bukan semata bentuk hiburan atau ajang unjuk keterampilan teknis, tetapi juga artikulasi kultural, kritik sosial, dan bentuk perlawanan terhadap ketimpangan representasi.

Dalam konteks pendidikan dan kebudayaan, film pelajar memperlihatkan gejala penting: tumbuhnya kesadaran visual dan kritik sosial dari kalangan muda di daerah. Mereka bukan hanya mengamati dunia, tetapi menyusunnya kembali melalui bingkai kamera dan montase ideologis yang tak kalah dalam dari film-film profesional. Tulisan ini mencoba membaca dua aspek utama dari film pelajar Banyumas Raya: (1) estetika lokal; dan (2) politik representasi, yang membentuk film sebagai ruang artikulasi kritik sosial yang produktif.

Estetika Lokal: Gaya dan Visual Keseharian dalam Sinema Pelajar

Estetika lokal dalam film pelajar muncul dari penggunaan elemen-elemen kehidupan sehari-hari: bahasa ngapak, lokasi autentik, dialog spontan, serta tokoh-tokoh yang akrab dengan kehidupan penonton lokal. Lokasi seperti kebun, pasar, rumah kayu, atau jalan desa bukan hanya latar belakang, tetapi menjadi ruang hidup yang membentuk dan memengaruhi narasi.

Misalnya, dalam film “Pedangan” (2023), suasana pasar Banjarnegara ditangkap dengan audio lapangan yang mentah—dengung obrolan pedagang, teriakan pembeli, atau suara motor lalu lalang—menggantikan musik latar yang biasa ada dalam film konvensional. Kamera goyah dan cahaya yang kadang berlebih (overexposure) tidak mengurangi makna, justru menghadirkan realisme visual yang lekat. Kesederhanaan ini bukan kekurangan, justru terasa seperti strategi estetika yang melahirkan kejujuran emosional dan kedekatan sosiologis.

Estetika lokal yang demikian—bisa disebut sebagai estetika kesahajaan—menolak standar sinema elitis. Ia tidak mengejar keindahan artifisial, tetapi menampilkan keseharian yang utuh. Dengan begitu, film pelajar menjadi ruang artikulasi budaya tandingan yang membebaskan: sinema boleh murah, tapi tetap bermakna.

Representasi Sosial: Suara Pelajar dalam Dinamika Dunia Nyata

Banyak film pelajar FFPP menyentuh isu-isu sosial yang dekat dengan pengalaman masyarakat: infrastruktur rusak, dampak tambang ilegal, kemiskinan, kekerasan simbolik terhadap perempuan, hingga dampak budaya populer. Mereka tidak menyampaikannya dengan slogan atau agitasi, melainkan melalui pengalaman konkret.

Film “Dalan Ruwag” (2013) karya Vebita Saputri adalah contoh kuat. Film ini merekam jalan rusak akibat tambang Galian C tanpa narasi dramatis. Kamera menangkap lubang jalan, suara percakapan warga, dan gerak kendaraan yang melambat atau terjerembab. Justru karena tidak didramatisasi, realitas itu tampil kuat sebagai kritik terhadap abainya negara.

Demikian pula “Tambang Pasir” (2019), sebuah film dokumenter yang menggambarkan penderitaan warga akibat tambang pasir liar. Film ini bukan hanya berbicara tentang kerusakan lingkungan, tetapi juga ketidakadilan ekonomi dan diamnya otoritas lokal. Ia meraih penghargaan Film Dokumenter Terbaik dan Favorit Penonton, menandakan bahwa pesan tersebut sampai dan dirasakan.

Film pelajar tidak berbicara dari atas mimbar. Ia menyampaikan kritik melalui lensa yang membumi. Tokoh-tokohnya adalah orang biasa—pelajar, petani, ibu rumah tangga—yang menjadi korban sekaligus saksi dari kebijakan yang timpang. Dengan begitu, film pelajar menyampaikan kritik sosial melalui narasi yang jujur, empatik, dan kuat secara kultural.

Politik Representasi: Siapa Bicara, Siapa Didengar?

Pertanyaan utama dalam politik representasi bukan hanya “apa yang ditampilkan?”, tetapi “siapa yang menampilkan, dan untuk siapa?”. Film pelajar FFPP menjawab ini dengan jelas: pelajar lokal bicara untuk dan tentang komunitasnya sendiri. Mereka tidak mewakili suara orang lain, melainkan menyuarakan dirinya sendiri.

Misalnya “Pur” (2024), film fiksi produksi SMA Negeri 2 Purbalingga, menceritakan remaja perempuan yang terjerat budaya konsumtif K-pop, hingga harus membantu adiknya berjualan wayang suket untuk menyambung hidup. Di sini, terjadi pertemuan antara budaya global dan lokal, antara fanatisme pop dan realitas ekonomi. Film ini tidak menggurui, tapi memperlihatkan ketegangan identitas secara subtil dan menyentuh.

Dengan film seperti “Pur”, FFPP menjadi forum penting bagi pelajar desa untuk tidak hanya merekam hidupnya, tetapi juga membingkainya secara kritis. Mereka bukan objek pembangunan atau konsumen budaya, tetapi subjek narasi yang sadar akan posisi sosialnya. Dalam kondisi di mana media mainstream masih sangat Jakarta-sentris, film pelajar ini menjadi oase representasi alternatif.

Afirmasi Spasial dan Pendidikan Visual

Lebih dari sekadar hasil akhir, proses produksi film pelajar adalah perjalanan belajar sosial dan kultural. Pelajar terlibat penuh dari menulis naskah, memilih lokasi, pengambilan gambar, penyuntingan, hingga diskusi film. Setiap tahapnya adalah momen reflektif dan partisipatif yang memperkuat identitas kolektif mereka sebagai warga dan pembelajar.

Film semacam “Pedangan”, “Dalan Ruwag”, atau “Tambang Pasir” merekam ruang hidup komunitas dengan jujur. Di dalamnya terdapat afirmasi ruang: pasar sebagai ekonomi rakyat, jalan desa sebagai infrastruktur publik, rumah dan sekolah sebagai ruang tumbuh. Ini yang disebut sebagai afirmasi spasial—penerimaan dan penghargaan atas ruang hidup sendiri yang sering tak dianggap dalam narasi nasional.

Proses ini juga memperluas cakupan pendidikan visual. Sekolah, guru, dan kurikulum bisa menggunakan film pelajar sebagai teks belajar. Film bisa dianalisis seperti sastra: karakter, simbol, konflik, dan ideologi. Bahkan lebih jauh, ia menjadi wahana pembelajaran lintas bidang: bahasa, seni, IPS, dan nilai-nilai Pancasila. Di sinilah film pelajar menyumbangkan makna penting: membentuk warga muda yang kritis secara visual dan sadar secara sosial.

Membudayakan Literasi Visual Lokal

Film pelajar FFPP mengajarkan bahwa literasi visual tak harus berasal dari sinema besar atau buku tebal. Ia bisa lahir dari kamera sederhana dan narasi keseharian. Namun lebih dari itu, film pelajar adalah bentuk literasi politik—yang membebaskan, menyadarkan, dan menghubungkan pengalaman personal dengan isu sosial yang lebih luas.

Literasi visual lokal adalah cara untuk menyusun ulang hubungan antara citra, realitas, dan kesadaran kolektif. Ketika pelajar memproduksi film tentang jalan rusak, tambang, atau kegelisahan identitas, mereka sedang membentuk narasi alternatif tentang Indonesia. Mereka bicara tentang Indonesia dari pinggiran: dari desa, dari sekolah, dari komunitas yang selama ini hanya jadi penonton.

Oleh karena itu, sekolah, guru, dan media perlu memandang film pelajar bukan sekadar produk kreativitas, tetapi sebagai teks budaya yang penting. Mereka adalah puisi visual—bukan hanya untuk ditonton, tetapi untuk ditafsirkan, dibahas, dan dijadikan refleksi. Film pelajar membuka ruang dialog antar generasi: guru dan siswa, masyarakat dan pemerintah, lokal dan global.

Penutup

Film pelajar FFPP bukan hanya tentang teknis perfilman, tetapi tentang bagaimana suara-suara kecil menemukan cara untuk didengar. Di dalamnya ada estetika lokal yang kuat, ada politik representasi yang adil, dan ada potensi besar untuk pendidikan yang kritis dan membebaskan. Maka, film pelajar bukan pinggiran dari dunia sinema. Justru ia pusat dari perjuangan narasi, tempat suara lokal menemukan bentuk, dan tempat estetika menjadi jalan kritik sosial yang bermakna.

Penulis adalah seorang penyair, Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.

KOMENTAR
You don't have permission to register