Fb. In. Tw.
Bunga Penutup Abad, pementasan teater.

Bunga Penutup Abad, Pentas Seratus Tahun Pramoedya

Sabtu sore (30/08/2025) hujan deras mengguyur kawasan Kuningan, Jakarta. Padahal pada pukul delapan malam saya harus segera bertolak ke Ciputra Artpreneur untuk menonton pementasan Bunga Penutup Abad. Sambil berharap hujan segera reda dan tidak terjebak macet, saya mempersiapkan diri.

Mujur, sekitar pukul 18.45 hujan mulai kendur. Saya segera memesan taksi mobil online dan berangkat dari penginapan. Perjalanan hanya sekitar dua kilometer. Saya sempat bertanya kepada si sopir, apakah keadaan sekitar Kuningan Jakarta kondusif? “Kuningan sih aman, Pak. Asal jangan ke sekitar DPR, Kwitang, sama daerah tengah sono, lah.” Hati saya tenang. Sebab sejak Kamis malam setelah tragedi Affan Kurniawan dilindas oleh kendaraan taktis Brigade Mobil, Jakarta kurang kondusif di beberapa titik.

Tak lama kemudian, mobil berhenti tepat di depan kompleks Ciputra World 1. Saya melangkah masuk, menuju lift yang akan membawa penonton ke lantai 11—ruang pertunjukan Ciputra Artpreneur. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.20. Di depan lift, antrean mengular. Saya perhatikan busana para penonton: rapi, dominan hijau lumut, cokelat tanah, dan abu-abu batu. Rupanya mereka mematuhi imbauan panitia agar mengenakan warna bumi.

Bunga Penutup Abad

Bunga Penutup Abad merupakan pementasan teater yang mengangkat kisah dari dua novel besar Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Ditulis dan disutradari oleh Wawan Sofwan. Kisah ini menyoroti tokoh Minke, seorang pemuda pribumi berpendidikan, Nyai Ontosoroh yang berwibawa sekaligus rapuh, serta Annelies yang harus menghadapi nasib pahit di bawah hukum kolonial. Selain tiga tokoh sentral tersebut, ada pula tokoh Jean Marais. Ia merupakan pelukis, sahabat dekat Minke. Ialah orang yang melukis wajah Annelies dan memberi nama lukisan tersebut Bunga Penutup Abad. Selain itu ada pula tokoh lainnya, May Marais, anak perempuan Jean Marais.

Lukisan Bunga Penutup Abad kemudian menjadi simbol keindahan yang rapuh, perpisahan yang tragis, dan ingatan yang tak pernah padam. Nama itu pula yang akhirnya dipilih sebagai judul naskah, seolah mengingatkan kita bahwa abad lalu ditutup dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Sejak pertama kali dipentaskan pada 2016, Bunga Penutup Abad telah beberapa kali hadir di panggung, dan setiap kehadirannya selalu mengundang perhatian publik. Tahun 2025 ini, pementasan kembali digelar dengan energi baru, sekaligus menjadi bagian dari peringatan seratus tahun kelahiran Pramoedya. Melalui tokoh-tokoh tersebut, Pramoedya menyingkap wajah Hindia Belanda yang timpang, penuh ketidakadilan, dan sarat perlawanan. Ia bukan sekadar pertunjukan teater, melainkan juga penghormatan bagi seorang pengarang yang suaranya tetap menggema jauh melampaui zamannya.

Pementasan Dimulai

Pemenetasan Bunga Penutup Abad. Layar terutup, tulisan Bunga Penutup Abad menyorot. Lampu biru.

Pementasan Bunga Penutup Abad. Foto: Danissa Citra Uthami

Lampu perlahan meredup. Denting musik pengiring mengalun pelan, seketika tirai pun terbuka. Panggung pentas dibuat berputar berbentuk lingkaran. Ada empat muka panggung yang saling terhubung. Setiap berganti muka, lantai berputar. Muka pertama menampilkan ruang kerja Nyai Ontosoroh. Meja kayu besar, kursi, dan sorot cahaya temaram langsung menghadirkan kesan intim. Happy Salma, yang memerankan Nyai Ontosoroh, duduk anggun—tatapannya penuh kuasa sekaligus getir. Di sampingnya, Reza Rahadian sebagai Minke membuka lembaran surat.

Dialog pertama yang mengalir membuat suasana auditorium hening. Minke membacakan surat dari Robert Jan Dapperste atau Panji Darman mengenai kabar perjalanan Annelies, yang berlayar dari Surabaya menuju Belanda. Dari situ, penonton seperti ditarik mundur ke Hindia Belanda, ke dalam kisah getir yang ditulis Pramoedya dalam Bumi Manusia.

Setiap kali panggung berputar, dunia yang lain muncul. Mulai dari ruang tamu Nyai Ontosoroh, studio lukis Jean Marais, kamar Annelies, dan halaman rumah yang sepi. Peralihan itu berjalan halus, tanpa jeda panjang. Saya merasa seolah sedang menyaksikan gulungan sejarah, bergerak maju mundur.

Setelah surat dibacakan Minke, flashback pun terjadi. Adegan kisah Minke kali pertama datang berkunjung ke rumah Annelies. Mereka saling kenal lantaran satu sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS). Nyai Ontosoroh menyambut Minke, bertanya soal latar belakangnya, dan menanyakan apa saja yang dikerjakannya.

Hal yang paling membekas tentu kata-kata Nyai Ontosoroh. Di satu adegan pembuka itu, ia menatap Minke dan berkata lantang, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Kata-kata itu tidak sekadar ditujukan pada Minke, tetapi seperti menyasar seluruh penonton—pesan Pram yang melintasi panggung, waktu, dan generasi.

Kemudian panggung berputar ke sisi berikutnya. Studio Jean Marais. Tokoh itu sendiri diperankan oleh Andrew Trigg. Ia sahabat Minke yang sedang menyelesaikan lukisan wajah Annelies untuk Minke.

Akhir Pementasan

Para pemeran yang andal dan alur cerita menawan membuat pementasan berdurasi sekitar dua jam tersebut tidak terasa lama. Menjelang akhir pertunjukan, suasana makin mencekam. Nyai Ontosoroh kembali terguncang oleh keputusan pengadilan kolonial: seluruh harta yang ia rawat bertahun-tahun harus jatuh ke tangan Maurits Mellema, anak sah Herman Mellema di Belanda. Adegan penutup itu terasa memilukan. Chelsea Islan sebagai Annelies telah lebih dulu berangkat meninggalkan tanah kelahirannya, dan kini Nyai Ontosoroh pun kehilangan segalanya.

Namun, ketika Happy Salma mengucapkan kalimat legendaris Nyai Ontosoroh, auditorium seakan membeku: “Kita telah melawan, Nak, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Tepuk tangan panjang menggema, bukan hanya untuk akting para pemain, tetapi juga untuk semangat perlawanan yang kembali dihidupkan.

Bunga Penutup Abad bukan sekadar pentas ke-88 Titimangsa atau sekadar peringatan seratus tahun Pram. Bagi saya, pementasan itu menjadi pengingat bahwa seni itu lentur. Ia bisa menjadi jembatan masa lalu dengan hari ini. Ia bisa jadi senjata paling menyenangkan terhadap kekuasaan gelap tak pernah usang.

Tinggal di Bandung. Bekerja sebagai penulis lepas. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Situasi yang Tak Menyenangkan” (2019), buku kumpulan puisi “Halaman Ganjil” (2022).

KOMENTAR
You don't have permission to register