Merajut Karakter Melalui Cerita Tanah Pertiwi

oleh Nivia
Tak bisa dipungkiri, cerita rakyat asli Indonesia selalu identik dengan kisah kerajaan-kerajaan yang tersebar di penjuru nusantara. Kisah-kisah kerajaan menjadi suplemen bagi pembaca cerita rakyat Indonesia. Lambat laun, nilai-nilai dalam cerita rakyat tentu memengaruhi karakter atau bahkan mengubah cara berpikir masyarakat. Hal itulah yang dikemas secara apik dengan tata bahasa menarik dalam buku ini. Buku yang merupakan saduran ini berisi kisah dari tanah Pasundan, Jawa Barat. Diksi yang disuguhkan bagi pembaca menghantarkan pembaca ke dalam kehidupan masa lalu yang khas dengan kekuatan sakti.
Dalam buku ini, digambarkan sebuah negeri yang subur dan makmur, negeri yang menjadi surga bagi para penduduknya, bernama negeri Sumberkarang. Negeri Sumberkarang dipimpin oleh Baginda Mahesa Gangga, raja yang amat tersohor. Baginda Mahesa Gangga digambarkan sebagai sosok raja sempurna dalam pemerintahannya. Ia dikenal bijaksana, adil, dan jujur. Tokoh raja ini cukup memberi kesan pemerintahan kerajaan di tanah pertiwi pada masa lampau. Kisah ini diawali dengan mimpi Baginda Mahesa Gangga, beliau memimpikan petunjuk bahwa beliau harus menemukan Banteng Wulung demi kejayaan turun-temurun Kerajaan Sumberkarang. Lantas, terpilihlah salah satu abdinya, yang bernama Patih Jaya Santana untuk mencari Banteng Wulung..
Perjalanan panjang dimulai dari titik ini, hampir tujuh tahun patih ulung negeri Sumberkarang itu dalam pengembaraan. Bagian yang membuat kisah ini menarik adalah Banteng Wulung hanya ada dalam kisah dongeng di negeri itu. Lantas, melalui tantangan itulah penulis hendak menampakkan bagaimana seseorang berbekal usaha keras dan ketulusan hati dapat memecahkan tantangan tersebut. Dalam suatu waktu ketika selesai bertapa, Patih Jaya Santana mendapati sebuah petunjuk mengenai Banteng Wulung. Ia pun mengikuti petunjuk itu yang membawanya menuju Kerajaan Malwagiri, negeri itu dipimpin oleh seorang raksasa Baginda Kalaboja yang tak lain adalah pemilik Banteng Wulung. Dalam perjalanan mencari Banteng Wulung, penulis menggambarkan watak keteguhan dan kesetiaan seorang abdi raja melalui tokoh Patih Jaya Santana.
Setibanya ia di Kerajaan Malwagiri, ia mendapat sambutan hangat dari Baginda Kalaboja. Dengan segenap kerendahan hati, Patih Jaya Santana mengikuti keinginan Baginda Kalaboja yang tersohor untuk bertarung. Pertarungan itu dimenangkan oleh Patih Jaya Santana. Dengan demikian, Bateng Wulung itu diberikan padanya. Dalam perjalanan pulang ke Kerajaan Sumberkarang, tanpa sengaja Patih Jaya Santana bertemu dengan Raden Jaya Purnama, putra mahkota Kerajaan Sumberkarang. Raden Jaya Purnama yang tujuh tahun lalu masih anak-anak kini tumbuh menjadi pemuda yang gagah, kesaktiannya telah mampu menandingi Patih Jaya Santana. Buku ini dibumbui sedikit bumbu percintaan ketika pernikahan Raden Jaya Purnama dengan Dewi Lengkaya, putri Kerajaan Giri Kancana. Suasana balas dendam mulai tercipta ketika penulis memasukkan tokoh Raja Jonggring yang menyerang perbatasan Kerajaan Giri Kancana. Kisah ini ditutup dengan janji Banteng Wulung untuk senantiasa melindungi Kerajaan Sumberkarang.
Buku ini memberi suasana baru karena mampu menghidupkan kembali kisah rakyat masa lampau, di tengah masyarakat urban zaman sekarang melalui diksi yang tepat. Nilai-nilai karakter bangsa mampu ditampilkan melalu sastra, hal ini dibuktikan dengan buku ini. Kerendahan hati serta ketulusan tampak ditonjolkan melalui perwatakan Patih Jaya Santana. Pembaca diajak mengembangkan karakter melalui pendalaman watak dari masing-masing tokoh. Cara berdialog tokoh yang menegaskan cara berbicara khas masyarakat Indonesia di zaman kerajaan, telah mampu mewakili budaya bangsa Indonesia masa lampau.
Namun sangat disayangkan, di balik kisah yang memotivasi pengembangan karakter dalam buku ini, penyajian sampul buku kurang menarik bagi anak-anak maupun remaja. Sampul terkesan sederhana dengan gambar sebuah banteng dan pemuda menunggangi kuda. Memang, animasi dalam sebuah buku tidak terlalu ditonjolkan, namun paling tidak apabila animasi pada sampul depan menarik, hal ini dapat menambah daya pikat buku. Lalu, ada beberapa kosakata seperti “kujang” yang dimasukkan dalam cerita tanpa adanya catatan kaki. Beberapa kosakata seperti itu, masih asing di telinga pembaca.
Seharusnya, pihak ilustrator atau penerbit memberi sampul dengan ilustrasi yang menarik, sampul dapat mencerminkan bahwa isi buku menarik dan berkualitas. Karena, sangat disayangkan apabila buku ini dilewatkan pembaca hanya karena sampul yang kurang menarik, padahal dalam buku ini terdapat modal bagi pembaca untuk mengenal dunia sastra dan budaya Indonesia. Pihak penulis pun seharusnya menambahkan catatan kaki sebagai penjelas dari beberapa kata yang masih asing di telinga.
Melalui poin-poin positif dari buku ini, buku ini layak dikonsumsi oleh pembaca-pembaca muda Indonesia. Terlebih, sekarang literasi di Indonesia sedang ditingkatkan. Melalui buku ini, anak dan remaja memperoleh “asupan mental” dalam pembentukan karakter anak dan remaja masa kini. Apalagi di tengah masyarakat urban zaman sekarang dan di era teknologi, perlahan nilai budaya bangsa termakan zaman. Penulis melalui buku ini mampu menggugah kembali selera anak bangsa terhadap budaya dan sastra tanah airnya.[]
Data Buku
Judul Buku : Misteri Banteng Wulung
Penulis : Varida Ariyani
Penyadur : Puji Santosa
Penyunting : Kity Karenisa
Ilustrator : Yol Yulianto
Penerbit : Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Tahun Terbit : Terbitan ulang tahun 2016
Jumlah Halaman : III + 53 Halaman
Ukuran : 21 cm
ISBN : 978-979-069-276-3

