
Ari-Ari
Pukul empat subuh, Karyo masih duduk di belakang rumahnya. Angin dini hari merayap ke kulit, menusuk lewat celah-celah bajunya yang kusut. Di depan Karyo, terdapat kuburan ari-ari anaknya yang baru lahir malam tadi. Kuburan itu menguarkan wangi kelopak mawar dan bau asap dari cempor kecil yang menyala temaram di atasnya. Karyo memutar-mutar batang rokok yang tak kunjung disulut, seakan itu satu-satunya hal yang masih bisa ia kendalikan. Tubuhnya tak banyak bergerak, hanya sesekali mengusap wajahnya yang kuyu.
Sudah hampir satu tahun Karyo menjadi pengangguran. Saat itu, ia mendapat kabar kehamilan anaknya tepat sehari setelah dirinya dirumahkan dari rumah jahit milik tetangganya. Karyo jadi amat kepayahan memenuhi keperluan anak pertamanya yang akan masuk sekolah. Keadaan diperparah oleh tuntutan mertua Karyo yang memaksanya untuk mengadakan berbagai upacara peringatan kandungan Munih. Setelah semua uang simpanannya habis, berkali-kali ia mesti mengutang untuk biaya syukuran empat bulan, tujuh bulan, hingga lahiran.
Pintu belakang rumahnya berderit pelan. Perempuan tua dengan punggung bungkuk muncul membawa segenggam bunga dan botol minyak tanah. Ia mengisi cempor tanpa berkata sepatah kata pun. Bunyi kecipak minyak menggantikan keheningan. Karyo menoleh, lalu mengembuskan napas berat.
“Yo, minggu depan adakan puput puseur. Jangan lupa bikin bubur merah sama bubur putih. Undang tetangga,” kata mertuanya dingin tanpa menatap Karyo. Tangannya menabur bunga di atas tanah yang masih basah embun.
Karyo menyalakan korek dan menyesap rokoknya dalam-dalam. “Sudah gak ada uang.”
“Cari!” sahut mertuanya. “Sekalian pinjam uang untuk beli susu formula. Air susu Munih belum juga keluar.”
Karyo tak menyahut. Matanya menembus jauh ke arah kebun pisang yang samar oleh kabut. Perempuan tua itu pergi sambil bergumam, “Malang sekali nasib Munih.”
Kata-kata itu seketika menghantam dada Karyo. Tubuhnya kaku. Matanya berkedip cepat. Pipinya kembang kempis. Tangan yang memegang rokok mulai gemetar. Ia teringat peristiwa silam saat dirinya datang ke rumah Munih dan ayah Munih merendahkannya dengan kata-kata serupa.
Tiba-tiba ia berdiri dengan langkah mengentak, meraih cempor di tanah. Dengan satu gerakan kasar, ia menghantamkan cempor itu ke tanah hingga minyaknya muncrat seraya apinya mengecil tersedak angin. Bunga tabur yang belum lama ditebar diinjak berkali-kali dengan tumitnya yang bergetar.
Mertua Karyo membalikkan badan dan melihat menantunya berjalan menuju pohon pisang. Karyo mengambil cangkul yang tergeletak di sana, lalu kembali ke kuburan ari-ari. Tanah yang basah embun berubah jadi ladang amarah ketika cangkul mengayun di atasnya. Sekali. Dua kali. Tanah terhambur.
“Karyo!”
Namun Karyo menggali lebih dalam. Wajahnya merah padam. Cangkul itu akhirnya sampai di dasar dan menghantam pendil tanah liat. Ia mengangkat benda itu lalu melemparkannya sekuat tenaga. Pendil itu pecah, Isinya terburai. Bau anyir seketika memenuhi udara. Mertua Karyo menjerit histeris, terhuyung, lalu terduduk lemas di tanah.
Tanpa menoleh, Karyo masuk ke dalam rumah. Cangkul pun ia lempar sembarangan di dapur yang sangat berantakan. Langkahnya berat, namun pasti. Sunyi mengendap seperti debu. Perempuan tua itu perlahan merangkak ke arah pendil. Tangannya gemetar. Bibirnya bergetar melafalkan jampi.
Pintu belakang rumah kembali dibuka. Munih muncul dengan bayinya dalam gendongan. Ia mendekati kuburan ari-ari yang sudah porak poranda. Munih berjongkok dan mengusap punggung ibunya. Perlahan, ia menguburkan kembali ari-ari bayinya yang sudah berlumur tanah. Bayi di pelukannya menggeliat kecil. Perempuan tua itu menoleh kepada Munih. Ia mengasihani hidup anaknya yang tak jua mujur. Munih kembali meluruhkan tanah dengan tangan telanjang. Matanya perih. Dadanya sesak.
Langit mulai berubah warna. Cahaya menyelinap masuk lewat sela-sela pepohonan. Pagi itu, mereka kembali mengubur sesuatu, bukan hanya ari-ari, tapi angan-angan soal masa depan dan sisa-sisa keyakinan pada takdir.