Fb. In. Tw.

Sore: Fantasi Waktu Tentang Cinta, Kenangan, Dan Luka Yang Samar

Disutradarai oleh Yandy Laurens dan diproduksi oleh Cerita Film, “Sore: Istri dari Masa Depan” adalah sebuah film romantis dengan balutan fantasi perjalanan waktu yang mengisahkan tentang Jonathan (Dion Wiyoko), seorang fotografer muda yang hidupnya mengalami perubahan setelah bertemu Sore (Sheila Dara), perempuan yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan. Di atas kertas, premis ini mengandung potensi dramatik dan emosional yang besar. Gagasan tentang istri dari masa depan yang kembali untuk memperbaiki hidup sang suami membuka ruang bagi eksplorasi naratif tentang luka, harapan, kenangan, dan kemungkinan kedua dalam hidup manusia.

Secara visual dan suasana, Yandy Laurens menghadirkan estetika lembut dan tenang. Penataan suasana, dinamika warna, ragam lanskap, dan interaksi antar tokoh memberi kesan hangat dan nyaman. Hubungan antara Jonathan dan Sore, sejak pertemuan pertama hingga tumbuhnya rasa cinta, dibangun dengan tempo yang relatif stabil. Tidak terburu-buru, namun juga tidak terlalu berlarat. Chemistry antara Dion Wiyoko dan Sheila Dara cukup menyenangkan, terutama dalam adegan-adegan berdua yang menampilkan kehidupan sehari-hari yang intim namun sederhana. Musik pun turut memberi warna sentimental yang kuat dan layak diapresiasi. Lagu-lagu seperti Forget Jakarta dan Gaze dari Adhitia Sofyan hadir dengan nada melankolis yang menyatu dengan nuansa lembut film, memperkuat kesan sepi dan reflektif dalam perjalanan batin tokoh. Sementara Pancarona dan Terbuang dalam Waktu dari Barasuara memberi aksen dinamis yang mempertegas ketegangan dan gejolak rasa. Ditutup dengan Hingga Ujung Waktu dari Sheila on 7, seperti mengikat seluruh tema cinta, waktu, dan kehilangan dalam nada yang manis sekaligus menyayat.

Namun, di balik estetika dan romansa tersebut, film ini menyimpan keterbatasan mendasar dalam struktur naratif dan kedalaman tematiknya. Salah satu aspek yang kurang tergarap adalah minimnya elaborasi terhadap konflik utama yang seharusnya menopang keseluruhan cerita: isu fatherless yang dialami Jonathan. Dalam banyak narasi kontemporer, isu fatherless kerap menjadi fondasi yang kuat untuk menggali luka psikologis, arah pilihan hidup, hingga kerentanan emosi yang membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia. Sayangnya, film ini hanya menyentuh isu tersebut secara permukaan, nyaris seperti catatan kaki dalam riwayat hidup Jonathan yang tidak pernah benar-benar diurai.

Dampak dari ketiadaan figur ayah dalam kehidupan Jonathan samar tergambar. Karakter ini diceritakan sebagai pribadi yang merokok dan minum alkohol. Perilaku destruktif yang sekilas ingin mencerminkan sisi gelap atau kehampaan dari Jonathan. Tetapi tindakan ini masih tampak terlalu remeh dan kurang signifikan karena tidak dibingkai sebagai akibat psikologis atau sosial dari masa lalu yang problematis. Ia tidak berkembang menjadi simpul konflik batin, apalagi menjadi jembatan menuju pertumbuhan karakter. Misalnya, dari kebingungan menjadi pemahaman, dari ketakutan menjadi keberanian, atau dari keterpurukan menjadi penyembuhan. Alih-alih menjadi bagian dari refleksi, kebiasaan ini hanya muncul sebagai atribut visual -penanda gaya hidup- yang tak memiliki daya dorong dramatik.

Konsekuensi dari perilaku destruktif pun tidak pernah benar-benar hadir. Di satu peristiwa, Sore menyebut bahwa delapan tahun ke depan Jonathan akan meninggal karena penyakit jantung (padahal ia sudah rutin olahraga?). Hubungan antara kebiasaan buruk di masa lalu dan penyebab kematiannya tidak pernah dibangun secara meyakinkan. Penyebab kematiannya tetap mengambang; bisa saja karena stres berkepanjangan, genetik, atau kombinasi dari berbagai hal.

Akibatnya, misi Sore untuk “membuat hidup Jonathan lebih baik” terasa memikul beban yang terlalu besar. Kehidupan yang lebih baik seperti apa? Situasi buruk apa yang sedang dihadapi?  Luka macam apa yang hendak disembuhkan? Tanpa pijakan yang kokoh, konflik emosional menjadi mengawang dan sulit dirasakan bobotnya. Jawaban yang tersisa mungkin hanya: karena cinta. Sebuah dorongan irasional dan intuitif yang kerap dijadikan alasan dalam kisah romantis. Tapi tanpa lapisan dramatik yang kuat atau pengalaman emosional yang menyentuh, cinta semata tak cukup menjadi landasan bagi perjuangan yang sejauh itu. Terlebih ketika tokoh Sore sendiri nyaris tidak memiliki latar belakang yang jelas. Sejarah hidup, luka pribadi, atau motivasi yang bisa menjelaskan ‘kenekatannya’ pergi ke masa lalu tidak pernah dihadirkan. Akibatnya, bukan hanya misinya yang terasa artifisial, tetapi keseluruhan struktur cerita pun tampak timpang: karakter yang mendorong narasi justru berdiri di atas fondasi yang rapuh.

Seandainya kompleksitas luka Jonathan dan biografi Sore digarap dengan lebih konkret dan mendalam, pengembaraan Sore ke masa lalu bisa menjadi perjalanan emosional yang jauh lebih genting, melelahkan, sekaligus menyentuh. Salah satu momen yang memperlihatkan potensi ini adalah adegan simbolik menjelang akhir film, ketika Sore berulang kali menemani Jonathan menuju rumah ayahnya. Dalam berbagai versi perjalanan waktu yang ditampilkan, adegan ini hadir dengan variasi, tetapi esensinya tetap: Sore hanya mendampingi, tanpa benar-benar membantu Jonathan mengurai luka batin yang berkaitan dengan figur ayah. Ia hadir sebagai sosok penuh kasih, namun tidak menjadi katalis perubahan. Padahal, jika adegan ini dirancang sebagai ruang klimaks, ia bisa menjadi titik balik dramatis; momen ketika Jonathan menghadapi perasaannya sendiri dan mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan dalam dirinya. Yang terjadi justru sebaliknya: momen tersebut tampak indah secara visual, namun kosong secara dramatik karena tidak diiringi eskalasi emosional.

Adegan-adegan itulah peluang terbesar di film ini untuk menciptakan fluktuasi emosi, yakni pada pola repetisi yang menyusun upaya Sore untuk mengubah arah hidup Jonathan. Ragam cara yang ia tempuh seharusnya membentuk dinamika emosi yang intens, membangun ketegangan, dan memperlihatkan cinta sebagai perjuangan yang terus diuji. Setiap kegagalan semestinya menjadi lapisan baru dari frustrasi, harapan, dan keteguhan hati; hingga cinta tak lagi hadir sebagai perasaan pasif, melainkan tindakan penuh risiko dan keberanian. Di titik itulah cinta dan kasih sayang dapat menjadi kekuatan yang memperpanjang harapan, menantang takdir, bahkan memberi makna baru bagi kehidupan. Sayangnya, potensi dramatik ini tidak pernah benar-benar tumbuh menjadi klimaks emosional. Pola yang mestinya menghadirkan urgensi justru terasa datar, berulang tanpa lonjakan dramatik yang mampu menggugah atau mengikat penonton secara menyeluruh.

Relasi Jonathan dengan lingkungan sosialnya juga tidak memperkuat kesan bahwa ia adalah pribadi yang mengalami luka mendalam. Ia tampak mampu menjalin hubungan yang sehat dengan sahabatnya, Carlo. Meskipun hubungannya dengan Elsa kandas, tidak serta merta menampilkan hubungan yang toksik. Kegagalan relasional tersebut lebih terlihat sebagai konsekuensi dari pilihan hidup dan arah yang berbeda, bukan karena luka batin yang tidak tertangani. Tidak ada eskalasi konflik yang mencerminkan kerentanan sosial atau emosional yang kompleks. Padahal, di titik inilah film bisa lebih menggugah: dengan menggambarkan berbagai lapisan luka Jonathan dan bagaimana kehadiran Sore perlahan meretasnya.

Di sisi lain, barangkali kekuatan utama film ini terletak pada imajinasi naratifnya. Alih-alih membumikan realisme persoalan (trauma dan penyembuhan), film ini memilih untuk bermain di ranah spekulatif: bagaimana jika seseorang dari masa depan datang untuk menyelamatkan kita dari takdir atau bagaimana jika seseorang merawat ingatan terhadap orang yang dicintainya setelah tiada? Pertanyaan ini membuka ruang untuk harapan, penyesalan, sekaligus penerimaan. Mekanisme perjalanan waktu memberi film ini daya tarik tersendiri. Narasi yang berulang-alik antara masa lalu dan masa depan bukan hanya menjadi strategi alur, tetapi juga perangkat dramatik yang hendak mempermainkan ekspektasi dan menciptakan ketegangan emosional.

Gagasan tentang kesempatan kedua dalam hidup, tentang campur tangan takdir melalui cinta, menjadi motor penggerak utama cerita. Sore bukan sekadar tokoh romantik, melainkan representasi dari harapan, kasih sayang, dan pilihan untuk bertahan. Di titik ini, film Yandy Laurens masih menyimpan pesona: ia mampu merayakan keajaiban kecil dalam hidup yang penuh luka dan kehilangan. Namun, daya magis ini hanya akan benar-benar menyentuh bila dikawal dengan penajaman konflik dan koherensi logika emosional. Misal: Mengapa Sore begitu gigih mengubah hidup Jonathan? Apa yang membuat Jonathan layak diselamatkan? Apa yang membuat cinta itu cukup kuat menantang waktu?

Sebagai perbandingan, film Yandy sebelumnya, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, terasa lebih utuh dan membekas. Koherensi antara permainan alur, ulang-alik realitas dan fiksi, serta perkembangan karakter dalam film tersebut dibangun dengan lebih solid. Penonton tidak hanya diajak menyaksikan kisah cinta antara Bagus dan Hana -dua sosok dewasa yang terluka dan mencoba membuka hati kembali- tetapi juga diajak menyelami proses kreatif di balik penciptaan cerita cinta itu sendiri. Melalui perpaduan komedi dan roman yang seimbang, serta format hitam-putih yang menambah kesan reflektif dan emosional, film ini merangsang penonton untuk merenungkan bagaimana pengalaman kehilangan, duka, dan harapan bisa menjelma menjadi cerita yang tak sekadar hidup dalam fiksi, tetapi juga terasa dekat, menyentuh, dan relevan dengan kehidupan nyata. Alih-alih menjadikan fiksi sebagai pelarian, film ini justru menampilkan fiksi sebagai cermin; yang memperlihatkan bagaimana kita memahami, memaknai, dan memberi ruang bagi cinta yang datang kembali setelah luka.

Dalam film “Sore: Istri dari Masa Depan”, refleksi tersebut hadir, tetapi masih tumpul. Fantasinya memukau, namun realitasnya tidak cukup terasa. Film ini hadir dengan niat baik dan visual yang memikat, namun kurang menggali secara tajam kedalaman luka dan proses pertumbuhan tokohnya. Ia lebih kuat sebagai fantasi tentang keajaiban intervensi waktu yang memberi ruang bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Manis dan lembut, meski belum cukup meninggalkan luka yang indah dan membekas.

Meski demikian, film ini tetap menawarkan ruang resonansi emosi, terutama bagi penonton yang pernah bergumul dengan kehilangan, penyesalan, atau keinginan untuk memperbaiki masa lalu. Gagasan tentang sosok dari masa depan yang kembali demi menyelamatkan seseorang dari versi hidup yang kelam adalah fantasi yang menyentuh sisi paling manusiawi: kerinduan untuk diselamatkan, untuk dicintai, dan untuk diberi kesempatan kedua. Bukan kekuatan narasi yang menonjol, melainkan atmosfer lembut, visual intim, musik melankolis, dan kehadiran tokoh Sore yang penuh kasih. Namun, resonansi ini bersifat fragmentaris dan tidak universal. Tanpa fondasi cerita yang kokoh, empatinya mudah menguap setelah film usai.

Sutradara dan aktor teater.

KOMENTAR
You don't have permission to register