Fb. In. Tw.

Upacara

Aku, kau tahu, adalah militan rendah hati yang bisa menunjukkan laku hidup teladan, baik soal urusan publik maupun pribadi.

Upacara seharusnya dimulai tepat pukul 9, tapi aku sudah berdiri di lapangan sejak pukul 07.30. Jujur saja, aku akan sangat senang jika Sekjen Serikat Buruh menyadari keberadaanku yang sudah siap di tempat sebelum seorang pun datang: siap memberi hormat pada bendera merah yang berkibar, menyeka debu yang menempel di foto pemimpin abadi kami—yang dibunuh secara biadab oleh kaum imperialis iblis dan antek-anteknya—, atau mengelap kursi sandar yang nanti akan diduduki bokong revolusioner Presiden Republik Kongo, Presiden Komite Pusat Partai Tunggal, Kepala Negara Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer, kamerad seperjuangan cum suksesor pemimpin abadi kami yang, sekali lagi, terbunuh oleh para pengecut!

Namun, bagaimana jika Tuan Sekjen tidak menyadari kehadiranku? Tidak, aku tak akan kesal ; Pada dasarnya, aku datang paling awal karena aku seorang militan sejati. Lagi pula, aku juga akan mendaftar ke Partai. Oh ya, dan tentu saja, aku sangat setuju dengan berita radio yang menyatakan upacara ini adalah peristiwa bersejarah.

Ah ! Maaf, aku belum menceritakan padamu peristiwa bersejarah itu. Sial ! Aku memang tak bisa menyampaikan pikiranku secara rapi dan saintifik seperti yang diharapkan revolusi kami dengan dialektikanya. Tapi baiklah, akan kumulai.

Kau tentu paham, untuk mengalahkan imperialisme internasional dan antek-anteknya, kami harus merancang pola pembangunan yang berdikari dan sentralistik—aku mempelajari istilah-istilah ini penuh penghayatan, karena untuk menjadi anggota Partai, kami akan mendapat pertanyaan ini itu demi memastikan kami betul-betul komunis dan khatam Marxisme-Leninisme.

Saat ini, untuk menerapkan pembangunan otonomik—maksudku sentralistik—kami harus menumpas kaum borjuis demokratis—maaf, maksudku borjuis birokratis (maaf, dalam waktu sangat singkat, aku belajar terlalu banyak istilah sampai semua campur-aduk di kepalaku). Oleh karena itu, diperlukan para pekerja pabrik yang kompeten dan benar-benar merah.

Dengan segala kerendahan hati, aku percaya bahwa aku adalah orang yang kompeten, karena bagaimanapun aku telah bekerja lebih dari 10 tahun sebagai penjaga pabrik—bahkan meski hanya diupah 15.000 francs Kongo per bulan. Selama sepuluh tahun itu, tak satu pun kasus pencurian terjadi baik siang maupun malam. Tentu, pernah ada beberapa kasus penggelapan. Pabrik bahkan sempat tutup  setahun karena mantan direktur kami, si borjuis otokritis—maaf, maksudku borjuis birokratis—itu terbukti menggelapkan 2.300.000 francs lebih 70 sen. Uang itu seharusnya akan dipakai untuk membeli mesin baru dan suku cadang pabrik. Tapi mantan direktur itu malah menilepnya untuk membangun villa di tepi pantai.

Namun dengan segala pertimbangan, partai pembaharu kami segera mengambil tindakan. Ia tak lagi menjadi direktur di sini. Ia hanya direktur di salah satu sub-cabang kota lain. Meski demikian, Partai tidak menyita villa miliknya atas dasar kemanusiaan (ia punya 10 anak yang malang, dan ia keponakan wakil ketua serikat buruh kami).

Sebenarnya aku sendiri pernah dihukum penjara satu tahun. Meski begitu, aku mendapat amnesti tepat di hari pelantikan Presiden kami—yang berjasa menata ulang demokrasi sekaligus membebaskan tapol-tapol yang tertangkap saat kudeta terakhir (itu terjadi jauh hari sebelum takdir mulia membawa pemimpin kami naik tampuk kekuasaan). Lagi pula, aku juga sudah mengganti 3 kaleng sarden—salah satunya sudah basi—, yang dulu aku “pinjam” karena tak ada makanan apa pun di rumah untuk anak-anakku.

Ah, sepertinya aku mulai melantur. Intinya begini, sudah terbukti selama 10 tahun aku menjaga pabrik, tak satu pun pencurian terjadi di pabrik kami. Bagiku, itu cukup jelas membuktikan jika aku orang kompeten. Selanjutnya, tinggal soal apakah aku benar-benar merah atau tidak. 

Pada mulanya, saat serikat meminta kami menjadi merah, aku tak paham apakah mereka sedang membahas warna baju atau kulit. Kau tahu, aku hanya jebolan kelas satu SD dan aku tak selalu paham istilah-istilah ruwet dunia politik. Meski demikian, setelah cukup berpikir, aku tak lagi menganggap merah sebagai warna kulit. Sebab, dari apa yang kupelajari di kelas malam—yang sering kuikuti demi memperbesar kesempatanku menjadi direktur—hanya ada orang Indian—maksudku Indian Amerika, bukan orang India—yang punya kulit merah. Dan kami tak akan menemukan makhluk sejenis itu di sini.

Jadi kupikir begini: tak diragukan lagi, merah yang dimaksud adalah warna baju. Sampai sini, kujelaskan dulu padamu bahwa sebutan orang Indian sebenarnya bermula dari kedunguan seorang eropasentris bernama Christoper Colombus, yang berlayar ke Barat mencari India demi meningkatkan surplus kapitalis dan monopoli dagang borjuis birokratis sebelum akhirnya malah kesasar ke Amerika dan suku Indiannya.

Jadi sudah jelas, itu pasti tentang warna baju. Sebab bagaimanapun, akan sangat rasis jika warna kulit atau asal suku menjadi prasyarat masuk partai.

Maka selama sebulan penuh, aku hanya berbaju merah. Aku pergi ke pabrik dengan kemeja merah, celana merah, syal merah, hanya sepatuku yang marun karena aku tak bisa menemukan yang merah. Ketika Sekjen Serikat kami dan anggota Komite Pusat Partai berkunjung dan mengelilingi pabrik untuk melakukan peninjauan, aku selalu berlagak seolah-olah sedang mengelap ingusku dengan kacu merah menyala supaya ia sadar bahwa semua yang ada padaku adalah merah.

Di negara kami, Badan Intelijen Negara, maksudku CIA atau KGB kami, seringkali memakai wanita-wanita bermoral bejat untuk menggali informasi dari orang-orang yang sedang diawasi negara. Dari situlah, setiap kali melihat wanita yang kupikir sedang menjadi mata-mata negara, aku berusaha melakukan apapun supaya bisa tidur dengannya, sembari mencari-cari akal supaya ia bisa melucuti pakaianku di bawah cahaya terang, agar ia melihat sempakku yang bahkan berwarna merah! Oh ya, aku mengibulinya bukan karena aku kurang ajar atau kurang moral. Murni, itu adalah pengorbanan demi revolusi dan segala kemerahannya!

Sekali waktu, aku bahkan pernah berhasil mempunyai mata berwarna merah setelah menenggak bergelas-gelas anggur sambil memaparkan mataku pada asap rokok. Segala yang ada padaku adalah merah. Aku bahkan mengecat sepedaku menjadi merah.

 

Sejujurnya, aku tak tahu kenapa mereka begitu mementingkan warna merah. Aku pribadi lebih suka warna hijau yang mengingatkanku pada belantara hutan, atau biru turkish langit—yang meneduhkan tubuh dan pikiran setelah hari-hari melelahkan. Namun tentu saja, aku juga menyukai merah terang bunga flamboyan yang mekar tiba-tiba di ujung musim kemarau—atau tepatnya awal musim hujan. Tetapi, bunga itu pun cantik karena ia bisa menyalakan warna suram monoton, yang menjadi ciri abadi hutan tropis. Dan tentu, ia indah karena hanya mekar sesaat.

 

Akan tetapi, marilah kita singkirkan subjongtivitas—maksudku subjektivitas—dan mari menilai segala sesuatu dengan objektif.

 

Saat itu, sangat penting untuk menyukai warna merah. Sebab jika aku terindikasi dengan warna tersebut, ditambah kompetensi pribadiku, aku bisa terpilih menjadi direktur baru pabrik. Kau tentu tahu, gajiku akan naik dari 15.000 menjadi 300.000 francs per bulan! Ah, tapi dengarkan ya, persoalan uang sama sekali tak menarik perhatianku. Aku adalah seorang militan rendah hati, teladan, dan sederhana!

 

Selama sebulan ketika aku merah, atau setidaknya percaya jika aku merah, aku menyadari senyum sembunyi-sembunyi, kedipan mata, dan bisik-bisik macam ejekan tiap kali aku lewat. Juga pertanyaan-pertanyaan ganjil dan tebak-tebakan seperti “Orang-orang apa yang matanya merah dan nangkring di sepeda merah?”, yang tampaknya sengaja mereka lakukan untuk mengolok-olokku!

Aku sangat marah sampai wajahku merah ketika menyadari bahwa ternyata menjadi merah tak ada hubungannya sama sekali dengan warna pakaian. Menjadi merah, artinya merah sejak dalam hati. Jadi, sepanjang waktu ketika aku menjadi makhluk imbisil dan goblok itu, mereka memilih diam dan membiarkanku melakukannya! Mereka pasti syirik padaku. Itu pasti! Tapi kukatakan pada mereka, aku akan membeli omongan mereka tepat di hari ketika aku yang merah dan kompeten ini terpilih menjadi Direktur baru.

Menjadi merah artinya merah sejak dalam hati. Aku kira ini idiot karena semua orang punya hati merah dan darah kita pun juga merah. Bahkan darah para reaksioner borjuis teokritis, ah, maksudku borjuis otokritis, ah bukan, maksudku borjuis birokratis itu juga merah. (Maaf, sekali lagi maaf, aku kelelahan dan pikiranku kacau balau setelah begadang semalaman).

Akhirnya setelah berkali-kali mengamati dan bertanya—Presiden Mao pernah berkata, ia yang tak berani bicara, tak punya kesempatan bertanya—aku mengerti bahwa menjadi merah berarti menjadi seorang militan, komunis Marxis-Leninis sejati. Tentu kau percaya, aku tak mau posisi Direktur membuatku terlena meski hanya seicrit. Bagiku, naik gaji 15.000 menjadi 300.000 per bulan tak ada artinya. Hidup mewah, wanita cantik, mobil Alfa Romeo atau Triumph dengan dua jok dan kap terbuka seperti milik Kamerad Menteri Propaganda dan Ideologi bukan tujuan utamaku. Jadi, mari perjelas sekarang bahwa aku benar-benar seorang militan yang rendah hati, jujur, dan sederhana. Uang dan kekayaan materil bukan motivasi utamaku.

Dengan kerendahan hati seorang militan, kuceritakan pula padamu bahwa dahulu—kau boleh menanyakannya pada kawan-kawan buruhku—aku orang yang berprinsip teguh pada keimanan. Akulah sang pembela agama.

Di negeri kami, orang-orang percaya adanya makhluk jahat bernama penyihir. Ia muncul di malam hari dalam wujud burung hantu atau hewan aneh seperti bunglon atau kura-kura, untuk membunuh manusia dengan melahap jiwanya. Untuk melindungi diri dari kekuatan jahat itu, kami memerlukan jimat penangkal seperti gigi macan kumbang, cakar macan tutul, atau rajah-rajah yang diketeng para pedagang Senegal. Mereka bilang, itu adalah tameng.

Sekarang, kutegaskan padamu bahwa sejak Partai melarang praktik-praktik okultisme dan fetisisme, aku tak percaya lagi jimat-jimat itu. Aku bahkan menentang konsep Tuhan karena agama adalah wiski, anggur, ganja, candu manusia. Pada awalnya, memang sangat berat untuk tidak percaya Tuhan. Sebab bagaimanapun, Tuhan telah banyak menolongku dalam masa-masa beratku. Tapi aku harus memilih dan sudah kupastikan pilihanku.

Sejak itu, aku berlindung pada simbol-simbol Partai dari godaan setan yang terkutuk: di atas kemeja merahku, kupasang lencana bergambar wajah pendiri Partai kami. Di atas slebor depan sepeda merahku, kupampang foto berwarna Sang Pemimpin Besar Revolusi, Presiden kami sekarang. Sementara di slebor belakang, kutempel logo Partai bergambar pacul-arit dan sepasang daun palem warna kuning. Dengan tamengku sekarang, aku yakin tak sebiji setan pun berani menggodaku. Jiwaku kini benar-benar bersih, percayalah padaku, uang dan kekayaan materil sama sekali bukan motivasi utamaku.

Aku lalu memutuskan untuk mempelajari istilah-istilah Marx-Engels dan mendaftarkan diri ke Partai. Terlepas dari segala kerendahan hatiku, harus kuakui bahwa aku diberkati kecerdasan yang sedikit di atas rata-rata. Sebab, meski hanya jebolan SD, aku mampu menguasai terminologi-terminologi Partai hanya dalam waktu seminggu: setiap hari aku menyimak segala omongan jurnalis di radio dan tivi, sebab di sini, seperti yang pernah dijelaskan Kamerad Menteri Informasi dan Agitasi, jurnalis hadir bukan untuk memberi informasi, apalagi menganalisis peristiwa sesuai yang mereka rasakan. Mereka hanya bagian dari propaganda negara, atau dengan kata lain: burung beo Partai.

Dengan sepenuh hati, kupelajari semua jargon Partai. Aku paham betul slogan-slogan di dinding-dinding kota seperti “Hidup adalah produksi sebesar-besarnya,” atau “Atas nama revolusi, sensor adalah bagian perjuangan.” Oh ya, biar kuingatkan: yang sebenarnya paling penting bukanlah paham atau tidak kalimat itu, tetapi bagaimana memakai salah satu frasa-siap-pakai tersebut di waktu yang tepat, entah untuk mengingatkan atau bahkan menyumpal mulut lawanmu. Misalnya, katakan begini pada seseorang, “Kamerad, sikap Anda sungguh menghambat revolusi,” dan ia akan langsung bergidik membayangkan tentara atau intel melemparnya ke jurang atau sumur.

Aku juga mempelajari banyak istilah baru dan percayalah, sungguh tidak gampang memahami apa yang sebenarnya ingin mereka katakan. Sebagai contoh, perlu waktu lama bagiku untuk memahami apa artinya menjadi borjuis birokratis. Pada mulanya, aku mengira bahwa menjadi borjuis birokratis adalah hal bagus. Kami harus menjadi seperti mereka jika mau hidup nyaman. Aku berpikir begitu karena para penyiar radio selalu mengatakan bahwa borjuis birokratis adalah mereka yang sering menyetir mobil mewah, punya setidaknya satu villa, menyimpan banyak uang, dan sebagainya, dan sebagainya. Yang membuatku bingung, semua menteri, pimpinan politik, anggota komite pusat Partai Tunggal pasti punya mobil mewah Full-AC. Anak istri mereka tak pernah tahu rasanya terpanggang matahari saat menunggu bus yang tak jelas jadwalnya demi berangkat ke pasar atau sekolah. Dan lagi, mereka juga sering minum champagne. Mereka lebih suka minuman impor daripada lokal, dan seterusnya, dan seterusnya.

Jadi, aku mengira semua pemimpin revolusioner kami adalah borjuis birokratis. Dan sebab itulah, aku ingin jadi seperti mereka.

Tapi tak berselang lama, mereka menjelaskan bahwa menjadi borjuis birokratis adalah perilaku bejat. Akhirnya, berkat kecerdasanku yang luar biasa, aku bisa memecahkan persoalan njlimet itu dengan mudah. Caranya begini: jika kamu mendapati dua orang yang masing-masing punya mobil mewah, villa megah, makan malam sambil minum champagne, dan sebagainya, dan sebagainya, maka beginilah metode jitu untuk membedakan mereka: ia yang jadi anggota Partai adalah sosok revolusioner. Semua yang mereka miliki hanya basis material untuk meringankan beban dan tanggung jawab mereka. Sementara, ia yang bukan anggota Partai sudah pasti sebaliknya. Ia adalah borjuis birokratis, komprador, lintah darat, maling rakyat!

Seiring berjalannya waktu, semua istilah, jargon, dan slogan yang kupelajari akhirnya menjadi traffic jam. Berdesakan dan macet di kepalaku. Tapi apalah arti kepala puyeng dan kliyengan kalau gajimu naik 285.000 per bulan?

Akan tetapi, aku begitu terkejut ketika mendengar nama direktur baru dan yang muncul bukan namaku!  Ia bahkan bukan pekerja sini! Mereka benar-benar telah memilih orang dungu, percayalah! Setelah berbulan-bulan mengumumkan bahwa calon direktur baru adalah pekerja pabrik yang merah dan kompeten, mereka sekonyong-konyong memilih seorang-entah-siapa yang mereka sebut proletar hanya karena ia anak petani dan anggota Partai. Tahi babi! Aku pun anak petani! Kami semua anak petani, atau setidaknya buruh tani Afrika!

 

Oh sebentar, jangan kau kira aku cemburu karena tidak terpilih. Tidak, tidak. Aku tidak bohong. Setelah beberapa saat kecewa, aku bisa memahami kalau Partai punya alasan tersendiri. Orang yang kompeten tidak selalu ia yang paham betul siapa Presidennya, tapi ia yang lahir dari etnis yang sama dengan Presiden. Ia pasti akan lebih kompeten.

Jadi, aku sudah membuktikan ketulusanku yang revolusioner dan hatiku yang bersih ini dengan berdiri di lapangan sejak pukul 7.30 untuk menghadiri upacara pelantikan Direktur Baru. Upacara yang baru akan dimulai pukul 9.

Ah, sepertinya aku terlalu banyak mendongeng tentang aku sendiri dan lupa bercerita soal upacara ini.

Upacara ini sangat bersejarah karena tak hanya melantik direktur baru kami, tetapi juga menunjukkan bahwa revolusi berkait erat dengan kelancaran industrinya. Selain itu, Tuan Presiden, Pimpinan Komite Pusat Partai, Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer, akan hadir langsung di hadapan segenap kekuatan bangsa.

Yang pertama datang saat itu adalah para profesor. Aku tak tahu apakah mereka termasuk borjuis komodor, maksudku borjuis komprador. Yang jelas, mereka memakai toga berwarna biru dan merah anggur. Mereka terlihat seperti ikan asin dijemur. Profesor-profesor itu dulunya orang-orang yang sangat aku kagumi. Tapi kini kekagumanku berkurang sejak melihat mereka dipermalukan aktivis mahasiswa di depan umum (dalam sebuah acara penyambutan mahasiswa). Aktivis mahasiswa itu dalam orasinya menyebut mereka sebagai kelas mapan dengan ide-ide yang sangat borju. Saat itu, tak satupun dari profesor itu berani bereaksi. Aku jadi tahu, para profesor itu tak ada bedanya dengan yang lain. Enggan bersuara. Seperti kami para buruh dan tani, mereka hanya mengulang-ulang slogan itu-itu saja. Seperti kami juga, mereka hanya memikirkan perut sendiri.

Ah maaf, sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh menghakimi mereka sebab aku paham, untuk menjadi merah sejati, kami perlu melewati jalan berliku dan harus menjadi seorang tanpa warna dulu.

Para profesor itu kering dan gosong, terpanggang teriknya matahari negeri tropis. Tak ada kursi untuk mereka. Memang, hanya ada beberapa kursi di bawah tenda yang disediakan khusus untuk tamu undangan dari kalangan teratas.

Para buruh mulai berdatangan dengan bis yang sudah disiapkan pemerintah. Bagaimanapun mereka adalah kekuatan bangsa, para proletar pejuang revolusi. Aku pun segera menihilkan keraguanku sebagai bagian dari kelas pekerja. Selanjutnya, datang pula para perempuan dari gerakan revolusioner, anggota asosiasi pemakaman revolusioner, dan sebagainya, dan sebagainya. Singkatnya, semua pihak yang disebut tonggak kekuatan bangsa berkumpul.

Sementara itu, waktu sudah menunjuk pukul 10.15. Upacara seharusnya dimulai pukul 9 tepat. Tapi kau tentu paham, Afrika punya budaya jam karet. Untuk itu, kami tak boleh terburu-buru.

Para buruh yang kelelahan mulai merebahkan diri di atas rumput, berteduh di bawah pohon palem atau pisang kipas di sekitar lapangan. Para anggota asosiasi pemakaman berteduh di dalam mobil van hitam mereka. Setiap orang punya cara masing-masing untuk menghindari panas dan membujurkan kaki yang pegal… kecuali para profesor. Mereka khawatir kalau martabat mereka sebagai elit dan intelektual negara anjlok. Mereka tetap berdiri, membiarkan dirinya terpanggang matahari katulistiwa, dengan peluh bercucuran di balik toga tebalnya.

Sementara itu, aku mencoba menyempil di bawah tenda tamu undangan, seolah-olah sedang merapikan kursi dan bendera di depannya. Pokoknya, aku bertekad membuat diriku kelihatan berguna.

Pukul 10.45, mobil Kamerad Sekjen Partai Tunggal datang dengan iringan sepasang motor kumbang. Percayalah, aku adalah orang pertama yang bertepuk tangan. Sementara orang lain, bahkan direktur baru—yang untuknyalah upacara ini diadakan—baru bertepuk tangan setelah aku melakukannya. Lebih hebatnya lagi, aku berinisiatif menjadi orang pertama yang mendekati mobilnya. Berkat pengalamanku sebagai penjaga pabrik selama 10 tahun dan isi otakku yang khatam soal urusan penjagaan, aku sigap membukakan pintu untuknya. Dan fotografer koran revolusioner Partai—yang hanya mengabarkan berita-berita kebenaran—mengambil foto kami berkali-kali karena mengira aku adalah orang penting.

Saat itu, aku bisa dengan mudah menyalami tangan Kamerad Sekjen, tepatnya saat para fotografer terus memotret kami. Tapi percayalah pada militan jujur dan rendah hati ini: aku melakukan itu bukan untuk diriku sendiri, tetapi demi revolusi, agar rakyat dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Kamerad Sekjen Partai, meski telah menduduki jabatan yang tinggi, tetap sudi berbaur dengan massa, dengan proletar tak jelas seperti kami.

Kamerad Sekjen lalu melangkah ke depan. Semua sudah siap dan kami masih menunggu pemimpin revolusioner kami datang.

Sirene menyala. Presiden sudah terlihat. Aba-aba dimulai. Semua bersiap dan bertepuk tangan ketika Presiden menuju tempat duduknya. Sebagai militan yang kompeten dan bermartabat, aku berada di dekat podium karena merasa bertanggung jawab menyiapkan mikrofon—terutama mengatur tinggi rendahnya sesuai posisi pembicara. Panitia upacara sebenarnya sudah menugaskan ini pada tentara atau intelijen, tapi akhirnya aku bisa meyakinkan ketua panitia untuk memberikan tugas itu padaku. Bersama  buruh teladan, senior sekaligus orang dalam ini, semangat dan jiwa upacara pasti akan lebih terasa. Aku berhasil meyakinkannya dengan mudah karena dia orang yang paham soal kerjaan. Ia memang sempat ragu, namun aku segera menyelipkan beberapa ribu francs untuknya. Bukan sebagai sogokan, tapi murni ucapan terima kasih karena sudi memberikan waktunya berdialektika denganku. Aku sering memperhatikan bahwa di negara revolusioner ini, orang-orang akan lebih rajin bekerja ketika ada sedikit hadiah.

Kau bertanya mengapa mengurus mikrofon saja sangat penting bagiku? Ketika mengurus mikrofon, kita bisa menuju podium mendahului pembicara siapapun. Kita maju, menaik-turunkan mikrofon, dan jika perlu mengetesnya.

Bayangkan, di depanmu ada Presiden! Bahkan jika kita bisa memposisikan diri dengan tepat, bukan tidak mungkin kita bisa berfoto dengannya. Bisa kau bayangkan, berfoto dengan Yang Mulia Kamerad Presiden! Katakan padaku kalau ada cara lebih baik untuk mencuri perhatiannya! Ini bukan sikap oportunis atau kelakuan anarko-profito-birokrato-situasionisto. Bayangkan kalau kau di posisiku: aku merah, aku kompeten, tak ada alasan lagi untuk mengabaikanku! Tapi bagaimana caranya? Betul. Menjadi militan! Ah, maksudku, jadi tukang mikrofon saja. Itu cara paling tok cer!

Lalu sirine kembali berbunyi. Motor-motor kumbang masuk lapangan. Begitu juga dengan rombongan tentara bersenjata lengkap. Dari depan, samping, dan belakang. Tentu kau tahu, Presiden kami sangat dicintai rakyat. Ia selalu bisa merasakan penderitaan rakyat. Ia persis apa yang dikatakan Presiden Mao Zedong: seperti tukang mancing di dalam air, ah bukan, seperti mata kail di dalam ikan, ah bukan, seperti air di dalam ikan, ah pokoknya itulah.

Tentara bersenjata? Tentu mereka datang untuk memastikan bahwa tentara bayaran kaum borjuis anarkis, yang bersembunyi di seberang sungai dan di balik hutan itu, tak menyerang pemimpin-pemimpin kami dengan peluru kendali jarak jauh atau bom atom mereka—senjata andalan kaum kapitalis-anarkis. Pengacau bisa datang kapan saja. Seperti suatu hari saat Sekjen Serikat berkunjung ke pabrik kami dan salah satu temanku, yang karena saking antusiasnya, mengangkat tangannya terlalu cepat untuk menyalaminya. Apa yang terjadi? Ia ditembak mati di tempat. Para tentara itu percaya bahwa temanku akan membunuh Pimpinan Serikat.

Seharusnya tentara kami yang terhormat bisa memaafkan temanku, karena bagaimanapun di setiap negara juga selalu ada perusuh, bahkan di dalam tubuh tentara atau polisi itu sendiri.  

“Presiden datang, presiden datang, hidup Presiden!”.

Aku berdiri di dekat mikrofon. Tegak seperti pohon palem terjemur matahari. Dadaku membusung, siap menyambut revolusi! Presiden turun dari mobil marcedes putih enam pintu. Tinggi, besar, berkulit gelap, tampan, berkumis rapi, penuh wibawa, tipikal tentara pretorian.

Sang titisan revolusi, Presiden Rakyat, Presiden Republik, Presiden Negara, Presiden Partai, Presiden Komite Pusat, Komandan Militer Tertinggi, Presiden seumur hidup! Abad 20 adalah miliknya! Negara kami mungkin kecil, tapi pemimpin kami sungguh besar! Kita tak bisa membahas Prancis tanpa menyebut Napolen, Uni Soviet tanpa Lenin, Cina tanpa Mao. Begitu pula tak mungkin membahas Afrika tanpa menyebut nama Sang Pemimpin Agung kami!

Presiden berada tepat di depanku: lengkap dengan segala tulang-dagingnya. Aku sempat menatap poster raksasa yang memampang sosoknya diarak di tengah pasukan yang sedang memberi hormat padanya. Sementara itu, mata Presiden kami jauh menatap ke depan, mengarah ke bintang merah di cakrawala. Seakan ia siap membawa rakyat menuju masa depan paling gemilang. Oh, air mata haru, penuh emosi, dan revolusioner meleleh di pipiku! Tuan Presiden berjalan penuh wibawa diiringi gemuruh tepuk tangan dan himne penyambutan. Ia menuju kursi sandar merah, meletakkan bokong Leninisnya, lalu menyilangkan kaki. Upacara siap dimulai! Waktu menunjuk pukul 11.30.

Sekjen Serikat kami lalu maju ke podium. Aku bersiap untuk menurunkan posisi mikrofon, memutar kepala mikrofon sampai pas, mengeceknya dengan suara “ck..ck” sampai terdengar di seluruh lapangan, lalu mempersilahkan Tuan Sekjen naik.

Ia memulai pidatonya dengan seruan melawan tribalisme. Menurutku itu lucu karena baik Tuan Presiden, Sekjen Serikat, maupun Direktur baru pabrik berasal dari daerah dan suku yang sama. Aku bahkan yakin kalau seandainya saja aku berasal dari daerah dan suku yang sama dengan mereka, aku pasti terpilih sebagai direktur dengan gaji 300.000/bulan.

Sebenarnya sah-sah saja jika suatu negara didominasi orang-orang dari suku dan daerah yang sama dengan Presidennya. Karena ibarat kebun, beberapa sudut biasanya menghasilkan sayur dan buah yang lebih jempolan dibanding sudut yang lain. Dulu ketika Presiden sebelumnya berasal dari provinsi yang sama denganku, sebagian besar pimpinan politik pun berasal dari suku-ku. Tapi kini keadaan berbalik. Dan itu wajar.

Di Afrika, kau tentu paham, para penguasa akan ditampilkan seperti sosok jenius demi memoles citranya sekaligus suku atau daerah ia berasal.

Aku juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang revolusioner cerdas bisa tiba-tiba berubah menjadi reaksioner tolol. Begitu pula sebaliknya. Kejadian macam itu pernah terjadi di detik-detik menjelang kudeta.

Ah sepertinya aku sedang meracau. Mari kembali ke upacara.

Sekjen Serikat Buruh menutup pidatonya dengan berseru:

“Hidup Presiden! Hidup Ketua Komite Pusat! Presiden Seumur Hidup! Seumur hidup! Sampai mati! Sampai mati, Tuan Presiden!”

Sadar bahwa suaraku masih mungkin tertangkap mikrofon, aku menyahut Kamerad Sekjen Serikat sekeras-kerasnya:

-“Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!

Dan semua orang, terutama anggota asosiasi pemakaman, mengulangi slogan itu dengan keras:

“Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!”

Aku memperhatikan jika para profesor tidak ikut berteriak. Mereka mungkin cemburu padaku. Seorang jebolan SD dan buruh pabrik rendahan, tapi justru paling kencang meneriakkan slogan. Tapi nampaknya, mereka juga bingung. Seperti tak paham apa yang sedang terjadi.

Sebenarnya aku tahu, profesor-profesor itu sangat membenciku yang begitu mencintai negeri ini. Buktinya? Suatu hari pabrik mengadakan lomba puisi untuk memperingati hari gugurnya Bapak Bangsa, mantan Presiden kami. Aku menulis dan membacakan puisi itu begitu khidmat. Itu puisi terbaik yang pernah kubuat. Aku bacakan beberapa barisnya:

O kematian abadi

Jatuhlah,

agar mati

Kaum kapitalis-imperialis!

Kami divisi 5

Merah dan revolusioner

Siap mendukung seabad penuh

Rencana 3 Tahun

Pembangunan ekonomi sentralistik…

Bukankah indah sekali? Citra, alegori, dan rima diksi “mati” dan “abadi” yang bertemu di akhir bait, tapi dengan makna bertentangan? Sayangnya, para profesor yang menjadi juri enggan melihat itu semua. Syair-syairku ditolak. Jadi aku sama sekali tak terkejut jika saat itu mereka tidak mengapresiasi teriakanku.

Aku justru kaget ketika kamerad Sekjen melirikku dengan geram. Padahal, aku hanya mengulang slogan yang ia teriakkan. Ia tiba-tiba merebut mikrofon dan berteriak sangat keras sampai sound system hampir jebol.

 

“Hidup Presiden! Seumur hidup, Presiden! Seumur hidup, Presiden!”

Di situlah aku paham kesalahanku. Aku harus berteriak dua kali lebih keras supaya kesalahanku tadi terlupakan.

“Hidup presiden! Seumur hidup, Presiden! Abadi, Presiden!”.

Akhirnya kamerad Sekjen turun podium. Ia memberiku senyuman yang tegang. Kukira aku selamat. Bagaimanapun, segala hal memang perlu terukur dengan tepat, termasuk semangat revolusi.

Lalu tiba giliran Direktur baru berpidato. Ia terus menyanjung revolusi dan Presiden. Ia menekankan para buruh untuk 8 jam bekerja, bukan 8 jam di tempat kerja. Ujarnya, siapa yang tidak bekerja keras tidak layak mendapat upah.

Dalam hati kecilku, “Aku juga sepakat denganmu, kamerad Direktur. Aku juga akan menyanjung habis-habisan revolusi jika aku ketiban posisi sepertimu. Tapi aku ingin bertanya, apa pendapatmu tentang upah yang sering telat 2 sampai 3 bulan? Apakah para buruh tak punya hak untuk segera dibayar? Omong-omong, dengan gajimu yang 300.000 per bulan—belum termasuk kompensasi—tentu kau tak tahu seperti apa rasanya saat upah yang cuma 15.000 itu telat, sementara di rumahmu ada 6 anak! Tentu aku tak mau berlarut-larut memikirkan soal ini. Aku hanya membayangkan apa kau bisa berpikir lebih jauh dari seekor anjing tidur, kaum imperialis cacat, atau penganut animisme, kamerad Direktur?”

Aku jadi ingat perkataan Kamerad Lenin yang mengutip ide saintifik Marx-Engels: Ide-ide sesat lebih baik ditumpas sebelum terlanjur diyakini. Itulah kenapa aku setuju untuk memberangus koran atau surat-surat kabar yang tidak sepemikiran dengan pemerintah. Aku sepenuhnya sepakat dengan Partai saat komisi sensor melarang penulis dan penyair menerbitkan sesuatu tanpa izin.

Kamerad Direktur akhirnya menutup pidatonya dengan memekikkan slogan-slogan anti-imperialisme, anti-borjuis akrobatik, juga anti-tembakau yang menurutnya mengancam negara.

Lalu tibalah kami pada acara yang paling dinanti.

Pemimpin revolusi, pemimpin rakyat, Sang Lenin Afrika, naik podium. Aku mempersiapkan mikrofon, mengaturnya sesuai tinggi Tuan Presiden. Aku cek kembali suara mikrofon. “Ck..Ck”. Suara bergema melalui speaker. Semua siap dan keadaan baik-baik saja. Aku membungkuk untuk mempersilahkannya maju, namun dengan gerakan yang sengaja kulambat-lambatkan. Semoga saja aku bisa terlihat, setidaknya di satu atau dua foto, yang diambil para jurnalis. Kemudian ketika aku turun podium, bersamaan dengan kaki kananku yang baru saja menapak tanah, terjadi sebuah ledakan.

Meski cuma jebolan SD, aku paham budaya modern. Jadi, aku bisa menceritakan dengan detil apa yang terjadi hari itu, bahkan sejelas gerakan lambat dalam teknik sinematografi – orang Inggris menyebutnya flickback..backflik..blackflash, atau apalah. Jadi, begini kronologinya:

Begitu ledakan terjadi, semua tentara langsung menjatuhkan diri ke tanah: tiarap. Mereka tidak berusaha melindungi warga sipil yang ketakutan meski mereka berjumlah sepuluh dan bersenjata lengkap. Ketika dibutuhkan untuk mengejar dan menangkap pengebom, kegarangan mereka seketika lenyap. Sungguh tidak benar apa yang mereka ceritakan tentang taktik serangan penetrasi. Saat ledakan terjadi, mereka hanya panik ketakutan.

Sementara itu, para profesor juga tak berbuat apapun. Aku melihat salah seorang profesor kimia. Ia yang berkacamata hitam bundar dan berjenggot tebal itu malah menunduk, menutupi diri dengan toga tebalnya. Ia terjatuh, lalu mencoba berdiri lagi. Jatuh lagi, lalu kehilangan topi dan kacamatanya. Saat akhirnya bisa berdiri lagi, ia langsung mencopot toganya dan berlari seperti pendeta yang mencopot jubah karena takut dikejar setan. Ia takut setengah mati.

Lalu, apa yang aku lakukan?

Kau tahu, saat aku berusaha menjadi merah, aku mengambil kursus bela diri dan tarung jarak dekat. Saat itu aku punya ambisi menjadi anggota Paspampres. Di hidupku yang singkat ini, aku selalu punya mimpi yang tinggi. Meskipun pada akhirnya, aku hanya menjadi penjaga pabrik pupuk kandang.

Jadi saat ledakan terjadi dan kulihat semua orang lari tunggang langgang, darahku langsung bergejolak. Revolusioner! Kulupakan hidupku. Revolusioner! Kulupakan istriku! Revolusioner! Kulupakan enam anakku—3 di antaranya masih balita. Presiden masih di sana, sendirian, ia panik, ragu memilih antara martabatnya sebagai panglima tentara cum kepala negara atau segera tiarap untuk menyelamatkan diri. Ia mungkin ingin seperti Presiden De Gaulle yang tetap berdiri di depan Katedral Notre-Dame saat terjadi demo mahasiswa di Paris—aku menonton adegan itu minggu lalu di Lembaga Kongo-Prancis, karena tak ada film tentang Kamerad Lenin atau Revolusi Rusia di sana).

Kuceritakan padamu. Aku melihat mata Tuan Presiden, dan seandainya ada alat ukur ketakutan, maka kuyakin skalanya pasti nol. Zero. Aku berharap ia hidup di zaman ketika orang-orang miskin begitu cemas dan takut pada para politikus yang duduk nyaman di ruang Full-AC, tapi bisa mengirim sniper di pagi buta untuk siapapun yang dituduh makar, tanpa perlu barang bukti. Tapi memang benar, orang-orang terkuat selalu punya alasan untuk bersikap berani. Lagipula, ia punya cukup tentara pelindung di sekelilingnya untuk tidak merasa takut. Tapi hati-hati, jangan salah paham pada omonganku. Kalaupun Tuan Presiden takut, ia bukan takut untuk dirinya sendiri, melainkan untuk revolusi. Karena jika ia mati, siapa yang akan memimpin revolusi kami menuju kemenangan?

Presiden masih berdiri di sana. Sendiri. Ia ingin berseru “Pasukan !!!” tapi para tentara itu justru berkerumun menunduk di tanah atau sembunyi di balik kursi. Ia akhirnya berteriak “Lindungi saya !!!” tetapi semua orang yang seharusnya melindunginya justru kocar-kacir ketakutan. Aku satu-satunya orang yang masih ada di situ dan kesadaran revolusionerku menuntutku untuk rela mengorbankan tubuhku demi revolusi: aku mendekat ke arah Tuan Presiden untuk melindunginya.

Yang mengejutkan, ia justru mencoba melangkah mundur sambil menarik pelatuk pistolnya. Namun saat ia bergerak, kakinya tersangkut kabel mikrofon dan membuatnya hilang keseimbangan. Saat ia mencoba meraih kain merah penutup podium, kain merah itu justru tertarik dan Presiden kami terpelanting dengan mendaratkan lebih dulu bokongnya yang revolusioner dan merah itu.

Yang tak kuduga, podium itu ikut jatuh ke arahku, membuatku terperosok, dan jatuh tepat di atas tubuh Presiden. Betapa intimnya kami saat itu. Tubuh kami bertumpukan: tubuh seorang penjaga pabrik pupuk dengan tubuh sang penjaga revolusi. Berdua, aku membayangkan kami akan menjaga dan membawa negara ini ke puncak kebahagiaan.

Saat itulah para tentara tersadar dan segera berusaha menembakku. Namun mereka urung melakukannya karena takut salah sasaran. Mereka kemudian menarik dan menggeprekku dengan pantofel, tongkat, popor senjata, dan entah apa.

Tulang pelipisku remuk. Aku tak sadarkan diri. Saat mendusin, aku sudah ada di ruang penyiksaan. Mereka menginvestigasiku dengan menyetrumku hingga ujung pelir. Pukul 3 pagi, mereka membawa 15 orang dan menanyakan apakah aku mengenalnya. Sungguh, aku sama sekali tak mengenal mereka, tapi karena fisikku sudah tak punya kekuatan, aku terpaksa mengatakan bahwa mereka adalah bawahanku. 15 orang itu kemudian langsung ditembak setelah sempat dibawa ke radio untuk mengakui kesalahannya. Para investigator itu lalu menggantungku terbalik dengan kaki terikat di atas dan kepala di bawah. Sementara di depanku radio tetap menyala.

48 jam kemudian, tim investigasi menemukan fakta bahwa ledakan kemarin terjadi karena letusan ban taksi merk Renault 4. Dan seperti yang disampaikan di radio oleh Komisaris Pemerintah sekaligus Pimpinan Pengadilan Revolusioner Luar Biasa: tak ada korban jiwa.

Tapi, siapa yang menyuruh taksi itu melintas di sana berbarengan dengan naiknya Presiden ke podium? Mengapa ledakan itu terjadi tepat saat Presiden siap berpidato? Bagaimana mungkin sebuah paku berkarat, tak bernyawa, tak punya kehendak bebas, bisa tergeletak tepat di bawah ban belakang kiri mobil yang memang sudah aus, kecuali seseorang sengaja menaruhnya di sana?

Bukankah jelas bahwa tujuan operasi ledakan ban itu adalah membuat kekacauan dan menjatuhkan Pemimpin revolusioner kami?

Bagaimana mungkin tak ada konspirasi, sementara salah satu wanita yang ada di taksi itu bersikeras tak mau mengakui bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Padahal, para tentara sudah menelanjangi, menyisir tubuhnya, dan menemukan tahi lalat setebal satu setengah mili di bokong KANAN-nya. (Aku sengaja menekankan kata “kanan”, mengingat para tentara itu berteriak pada si wanita kalau posisi tahi lalat juga menunjukkan posisi politiknya.)

Lagipula, mengapa seorang penjaga pabrik tiba-tiba pindah haluan menjadi seorang tukang mikrofon? Mengapa ia datang ke upacara dua jam lebih awal dengan sepeda yang baru dicat biru? (Kamerad, biru adalah warna kanan karena istilah “darah biru” merujuk pada kalangan bangsawan feodal Eropa!) Mengapa pula pagi itu ia menyapa semua orang? (yang salah satunya ia temui di ruang interogasi dan kini sudah ditembak mati). Mengapa ia mengaku sudah mengenalnya selama lebih dari dua puluh tahun? Mengapa pula di antara buku-bukunya, ditemukan buku-buku tentang konstitusi Prancis, konstitusi Amerika, dan koleksi artikel tentang sistem aparteid Afrika Selatan? Apakah ia punya hasrat terpendam untuk menerapkan rezim macam itu di sini? Semua pertanyaan itu terus dan terus menggedor-gedor kepalaku.

Aku tak tahu lagi aku ada dimana. Lejar, lapar, kulit tubuhku dedel duwel setelah semalaman direndam dalam tong berisi air cuka-garam.

Aku mohon, Tuan Presiden Komisi Investigasi, katakan apa lagi yang harus kuakui, apa yang ingin kau dengar dariku. Sebutkan lagi nama yang harus kuakui sebagai temanku. Aku bersedia mengatakan apapun, menandatangani dokumen apapun demi pengampunan. Meskipun aku militan yang rendah hati, jujur, dan teladan, tapi aku punya batas. Aku tak sanggup lagi.

 

 

Judul Asli: La cérémonie
Bahasa sumber: Prancis
Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et Vin de Palme

Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Republik Kongo. Cerpen La cérémonie ditulis sebagai kritik keras sekaligus olok-olok terhadap rezim Marxist-Leninist otoritarian yang sempat berkuasa di Kongo sejak 1963-1992. Karya-karya Dongala sempat dilarang beredar di negaranya sendiri. Pada tahun 1997, ia dan keluarganya hampir tewas dalam perang sipil Kongo. Hal ini membuatnya memilih mengasingkan diri ke Amerika Serikat. Berkat bantuan Philip Roth, ia bisa mendapat suaka di negeri Paman Sam, dan menjadi dosen kimia plus sastra Afrika hingga sekarang.

Salah satu karya Emmanuel Boundzéki Dongala yang berjudul Photo de groupe au bord du fleuve (2010) meraih penghargaan Prix Ahmadou-Kourouma, yaitu penghargaan sastra bergengsi untuk penulis francophone dari kawasan Afrika hitam. Selain itu, novel lainnya yang berjudul Johnny Chien Méchant (2002), yang bercerita tentang perang sipil Liberia yang melibatkan anak-anak, telah diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama oleh Jean-Stéphane Sauvaire pada tahun 2008.

KOMENTAR

Pengajar di jurusan Sastra Prancis UGM yang menekuni kajian sastra francophone Afrika Subsahara. Mengelola toko buku bernama Warung Sastra.

You don't have permission to register