Fb. In. Tw.

Teka-teki dan Gelagat Makhluk Sosial

Manusia katanya makhluk paling sempurna dibanding makhluk lainnya. Tapi, mengapa uluran tangan bahkan sekadar cuitan motivasi dari orang lain masih bernilai penting? Mungkin karena itulah kita disebut makhluk sosial? Selalu merepotkan. Tak ada satu pun manusia yang bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri. 

Saya ingat cerita saat kanak, Ibu selalu memberi nasi sangat banyak di piring. Entah itu saat sarapan, makan siang, ataupun makan malam. Kewalahan sekali saya menghabiskannya. Mulut dipaksa menganga agar nasi teta bisa masuk. Tetapi ketika coba mengutarakan protes, ibu menjawab: “kasihan petaninya, sudah susah-susah menanam padi, menjemur gabah, hingga menggiling menjadi beras. Seharusnya kita bisa menghargai, yaitu menghabiskan makanan yang ada.” Dulu, saya hanya mengira itu adalah sebuah ucapan biasa. Tapi semakin dewasa, aku semakin mengerti ucapan Ibu itu adalah sebuah gambaran bagaimana manusia saling terikat-terpaut satu sama lain. Petani memproduksi, kita mengkonsumsi. Kita memang makhluk sosial, bukan?

Memiliki jiwa sosial dan selalu merepotkan yang dianugerahkan Tuhan pada manusia tentu ada fungsinya. Salah satunya mungkin agar kita mampu menjawab teka-teki Tuhan itu sendiri. Di berbagai kitab suci pegangan manusia, untuk meraih kemenangan, ketulusan, dan kesetiaan pejalan, kita harus menjawab teka-teki terlebih dahulu. Mendatar maupun menurun harus bisa diselesaikan dengan tuntas menurut rentang waktu yang telah ditentukan Tuhan. Teka-teki yang diberikan pun sesuai dengan diri kita. Lima soal dengan jawaban pendek, lima soal dengan jawaban panjang, sepuluh soal dengan jawaban pendek, dan bersoal-soal lainnya yang memiliki jawaban berbagai macam sifat. 

Mau seberapa banyak soal dan beragam tipe jawabannya, saya akan tetap ingat dengan potongan lirik lagu Usik ciptaan Feby Putri, “bertahan dalam macamnya alur hidup, sampai bisa tiba bertemu cahaya”. Pejamkan! Kita itu sebenarnya bisa mengisi teka-teki itu. Namun, seringkali ada gelagat yang mengecoh dengan banyak variasi jawaban. “Di sini, hanya ada aku berdebat dengan pena,” sebuah kutipan puisi karya Rizki Kuswandhana yang berjudul Sendirian. 

Terkadang kita ingin menyerah menjawab pusingnya teka-teki hidup. Percayalah, pasti ada orang lain yang tabah dan rela menyediakan uluran tangannya. Meski kita tak bisa memindahkan tanggung jawab ke tangannya. Sebab teka-teki itu memang tetap tanggung jawab masing-masing kita dan cuitan motivasi bukan contekan jawaban. 

Bisa Tak Saling Mengenal, Tapi Pasti Saling Membantu
Suatu kali, saya sudah malas berada di bangunan sekolah yang kata orang-orang berlapis ilmu. Karena itu pula saat itu saya malas kembali ke rumah dengan menggerakkan raga, sepertinya sudah saatnya memanfaatkan platform aplikasi ojek online. Saya tinggal duduk saja. 

Saat memesannya, foto yang dicantumkan dalam biodata driver ojek online sangat menyeramkan. Sempat saya berprasangka buruk, bahwa driver itu akan berniat jahat. Tapi saat seorang bapak memanggil namaku dengan pakaian jaket hijaunya, spekulasiku tadi seketika hilang berganti harapan baik. Apalagi, bermotornya cukup baik, nyaman, tidak ugal-ugalan, dan terampil dalam memilih aspal jalanan. Intinya bintang lima untuk bapak itu. 

Tapi bukan itu yang ingin aku singgung. Yang ingin aku singgung adalah percakapan dengannya. 

“Kelas berapa, Mbak?” tanya bapak itu.

“Kelas sebelas, Pak,” gumamku

“Sedikit lagi lulus, ya?” 

“Ya,” jawabku sekadar kata pembenaran. 

“Sekolah itu mahal. Jadi, Sampeyan sama orang tua harus kuat-kuat.” Harus kuat-kuat, pernyataan bapak itu yang membuat kekuatan diriku jebol.

“Tapi mau di mana pun sekolahnya, yang penting itu niat. Wong niat itu tonggaknya kesuksesan,” begitulah tambah bapak ojek online yang masih aku ingat. 

Sisanya, bercerita tentang sedikit teka-teki yang berhasil beliau jawab, hingga bisa ada di soal teka-teki saat ini, yaitu: tugas mengantarkanku yang sedang di ambang batas. (Sayang sekali aku tak tahu siapa nama bapak itu. Aku sudah mencarinya di dalam aplikasi ojek online, namun karena lain hal, aku tak menemukannya. Mungkin Tuhan menyuruhku untuk memberi nama bapak ojek online itu dengan inisial OB, Orang Baik). 

Selepas tamatnya cerita jawaban teka-teki dari bapak itu, sekaligus pas dengan tujuan pulang, saya merasa kagum dan beruntung bisa menjadi teman bercerita bapak itu. Saya menambahkan tip sebagai ucapan terima kasih.  “Terima kasih ya, Mbak, semoga sukses, pinter, lancar sekolahnya.”

Pertemuan saya dan OB itu hanya berlangsung lima belas menit, tidak lebih. Namun harapan dan doa darinya berhasil menolongku yang ingin berhenti untuk meraih kemenangan, ketulusan, dan kesetiaan pejalan. Tip dari saya tak berarti dibandingkan suara indahnya yang bisa ditulis menjadi puisi bermakna. Puisi tentang pemahaman bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri. Segala macam aspek yang ada, sangat berperan dalam kehidupan diri sendiri. Tak henti-hentinya Tuhan berusaha menyadarkanku. 

Gelagat Sosial dalam Globalisasi
Pengalamanku itu kembali teringat saat aku menelusuri telepon genggam, sebuah aplikasi video yang sedang ngetren. Video itu menceritakan kejadian yang hampir sama dengan yang saya alami, bertokoh utama seorang bapak driver ojek online. Dalam video itu, bapak ojek online hadirnya begitu penting bagi perempuan dalam video berdurasi 58 detik itu. Dalam video itu, bapak ojek online mengantarkan penumpang yang memiliki tujuan berbeda dengan penumpang yang biasanya beliau layani. Jika biasanya ojek online bertugas mengantarkan penumpang ke rumah, sekolah, tempat perbelanjaan hingga mengantarkan barang dan memesan makanan, kali ini bukan. “Disuruh nemenin customer jalan-jalan karena dia ada masalah di rumahnya,” begitulah prolog dalam video itu. 

Ketika saya menonton video itu, diri ini terasa bergetar dengan aksi dua orang hebat itu. Saya berusaha menempatkan pada diri penumpang ojek online dalam video itu. Penumpang yang memiliki umur selayaknya masih bisa dipanggil sapaan “Mbak”. Memakai jaket berwarna abu-abu dan celana hitam, penumpang perempuan dalam video diantar oleh bapak ojek online pergi, jalan ke luar rumah dengan permintaan yang lebih lama dari biasanya. Bapak ojek online dalam video itu mengantarkannya pergi ke taman hingga tiga kali dengan alamat yang berbeda. Ketika banyak yang sinisme terhadap kemanusiaan di era globalisasi, saya merasakan masih ada banyak manfaatnya. Bisa berkali-kali lipat meninggalkan resiko buruknya.

Coba rasakan jika kita menjadi penumpang perempuan tersebut. Di saat kondisi rumah susah untuk diajak berdamai, tak ada lagi yang bisa mengulurkan tangan, alhasil orang yang tak dikenal pun menjadi pelarian untuk tempat berteduh. Akan mendapatkan uang tambahan menjadi jaminan agar ada seorang driver ojek online yang mau menerima permintaan tolongnya. Berkeliling dan memotret benda-benda yang mengisi lahan taman adalah yang penumpang perempuan itu lakukan. Tahu bahwa rumah adalah tempat penyembuhan luka, tapi pada diri penumpang perempuan itu rumahnya justru dilukai. Dan di ujung video, bapak ojek online itu menawarkan untuk mengantar ke mana lagi, tapi penumpang perempuan itu menjawab “aku mau ke dalam masjid dulu, makasih ya sudah nemenin,” dilanjut dengan haturan terima kasih. 

Ayolah! Jika kamu kesulitan dalam menjawab teka-tekimu, sepertinya keputusasaan dan menyimpang dari perintah Tuhan bukanlah jawaban baik. Semuanya sudah ditakar, “untukmu ya itu cukup bagimu, jangan mengambil yang bukan kuasamu.” Untuk orang yang merasa belum bernasib baik padahal rela berkorban bagi seseorang, sudah ada dan berusaha tetap ada, percayalah bagiku dan bagi sebagian orang, kehadiranmu itu sudah sangat berarti.  Jangan memberi noda pada syukur yang sudah ditaburkan. Cipratan yang kamu berikan bisa melukai seluruh permukaan baju. 

Dari dua pengalaman itu, saya rasa, tak ada lagi alasan untuk menyerah dengan teka-teki Tuhan. Kita hanya harus pintar dan kreatif memilih jawaban, dan percaya akan ada pertautan sosial yang siap menolong kita. Sepertinya taka da lagi alasan bagi kita membuat kotak atau menghapus kotak dalam teka-teki kita. Nanti maknanya hilang dan berbeda. Tak apa pelan-pelan dalam menjawabnya. Jangan khawatir tak ada yang mengiringi. Dua kisah yang saya ceritakan sudah membuktikan, bahwa akan segera terwujud impian meraih kemenangan, ketulusan, dan kesetiaan pejalan.

KOMENTAR

Biasa dipanggil Audy, merupakan pelajar XI-1 SMA Nahdlatul Ulama I Gresik. Main drama, menulis puisi dan esai adalah salah satu kegemarannya. Dia bisa dijumpai via media sosial Instagram: @maaudyra

You don't have permission to register