Rumah Dukkha, Sejarah Hitam dan Generasi Engsel
Peristiwa pembantaian 1965-1966 adalah sejarah bau amis, darah muncrat, dan jutaan roh melayang sia-sia. Setelah peristiwa kelam itu, penyintas yang selamat dan generasi yang akan datang mempunyai tanggung jawab penting: mentransmisikan rasa sakit dan trauma sejarah.
Dengan segala rasa sakit dan traumanya, peristiwa sejarah kelam itu akan menjadi struktur ingatan. Di titik ini, sastra bisa menjadi tiang sangga agar ingatan dan tindak tutur tentang peristiwa sejarah, terutama ingatan para penyintas, bisa ditransmisikan antar generasi melalui strategi tekstual.
Teks sebagai teknologi ingatan—dalam konteks ini adalah teks sastra—mampu menjadi elan bagi generasi sesudahnya untuk membayangkan kengerian peristiwa kelam masa silam dan rasa sakit penyintas sejarah. Rumah Dukkha (2023) karya Dhianita Kusuma Pratiwi, sebagai kumpulan cerita pendek, merupakan karya sastra yang menyajikan jagat ingatan traumatis dan rasa sakit penyintas; sebuah karya posmemori (post-memory).
Lantas, bagaimana cara pengarang untuk menghadirkan, apa yang dikatakan Susan Sontag (2003), “rasa sakit Sang Liyan”? Apa utang terbesar sastra pada para penyintas? Bisakah ingatan genosida dan rasa sakit penyintas, baik yang secara langsung menyaksikan maupun yang tidak, benar-benar ditransmisikan ke dalam teks—dalam konteks ini teks sastra?
Generasi Engsel dan Tipologi Tiga Generasi
“Generasi engsel” merupakan istilah yang digunakan oleh Eva Hoffman (2004) dalam bukunya After Such Knowledge: Memory, History, and the Legacy of the Holocaust. Istilah itu merujuk pada generasi yang “…menerima pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa yang telah menjadi sejarah, atau mitos.” (hlm. xv). Generasi engsel merupakan generasi yang, persis seperti engsel, menjadi simpul penyambung ingatan sejarah kepada generasi sesudahnya—dan di atas semua itu, generasi yang membawa kabar tentang luka-luka dan trauma penyintas. Dengan demikian, generasi engsel merupakan generasi yang lahir dan besar setelah peristiwa katastrof. Generasi ini mempunyai beban ingatan tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang tak sedikit; dan, Hoffman menyebut era yang banyak memikul beban sejarah itu sebagai “eranya ingatan” (hlm. 203).
Karya fiksi sejarah, termasuk Rumah Dukkha karya Dhianita, bisa menjadi repertoar pengalaman dan pengetahuan yang tak terangkum di dalam narasi sejarah “besar” maupun arsip-arsip historis. Dalam hal ini, sastra mampu berkisah dan menjemput sejarah-sejarah kecil; misalnya, detail peristiwa dan suara personal tentang rasa sakit yang tak terangkum dalam narasi sejarah “besar”. Semua tegangan antara teks, peristiwa sejarah dan pengalaman penyintas ini berada di bawah payung besar konsep ingatan.
Generasi kedua bukanlah subjek yang secara langsung menyaksikan (witnessing) dan mengalami peristiwa kelam sejarah. Generasi kedua, bagi Marianne Hirsch (2008, hlm. 3), adalah “Keturunan para penyintas (baik korban maupun pelaku) dari peristiwa traumatis besar-besaran yang terhubung begitu dalam dengan ingatan generasi sebelumnya, yang disebut sebagai keterhubungan ingatan, dan dengan demikian, ingatan peristiwa-peristiwa ekstrem tertentu, bisa ditransmisikan kepada mereka yang benar-benar tidak mengalami peristiwa sejarah.” Semua ingatan dan imajinasi generasi yang tak menyaksikan langsung peristiwa sejarah inilah yang Hirsch (hlm. 03) sebut sebagai posmemori: “…sebuah pengalaman yang mereka ‘ingat’ hanya melalui cerita, gambar, dan habitus orang-orang di tempat mereka dibesarkan.”
Sebagai pencetus konsep posmemori, Hirsch sendiri, lebih tepatnya keluarganya, adalah penyintas sejarah. Marianne Hirsch, yang lahir pada 23 September 1949, empat tahun setelah Hitler tumbang, adalah perempuan dan pengarang Yahudi yang lahir dari keluarga yang berhasil lolos dari kengerian Nazi, dan oleh karenanya, Hirsch tumbuh sebagai anak yang mengalami trauma pasca Holocaust. Seperti yang dikatakan Kathy Behrendt (2013, hlm.51), Hirsch “…merupakan generasi ‘1,5’, atau anak yang selamat dari katastrof, yang sadar dan terhubung dengan rasa sakit orang tuanya di masa lalu.”
Di sini, kita bisa membuat tiga tipologi perbedaan antara generasi pertama, generasi “1,5”, dan generasi kedua. Pertama, generasi pertama adalah orang yang memiliki akses langsung pada peristiwa sejarah. Kedua, generasi “1,5”, adalah generasi yang tak menyaksikan secara langsung, tetapi merasakan rasa sakit yang dialami orang tuanya. Dengan demikian, generasi “1,5” lahir tak jauh setelah katastrof sejarah berakhir, atau lahir ketika kecamuk sejarah tetapi tak sadar peristiwa hitam yang sedang berlangsung. Ketiga, generasi kedua yang tak mengalami maupun terhubung secara langsung terhadap peristiwa kelam sejarah dan rasa sakit pendahulunya. Karakter khas dari generasi kedua adalah mereka menestimoni rasa sakit dan trauma sejarah dari dokumen maupun tuturan generasi pertama atau generasi “1,5”. Tiga generasi inilah generasi engsel; sebuah generasi yang menjadi penyambung ingatan sejarah trans-generasi.
Sebagai penulis Rumah Dhukka, Dhianita merupakan generasi kedua yang tak menyaksikan langsung bagaimana orang-orang dibuang ke pulau-pulau pengasingan dan menggigil di balik jeruji besi. Menariknya, sama seperti Hirsch yang lahir dari keluarga yang selamat dari Holocaust, Dhianita lahir dari rahim seorang keluarga penyintas peristiwa 65. Perbedaannya, seperti yang dikatakan Behrendt, Hirsch merupakan generasi “1,5”; sedangkan Dhianita merupakan generasi kedua yang menestimoni trauma sejarah dari dokumen dan kesaksian generasi pertama. Persisnya, jika kita membaca karyanya Buku Harian Keluarga Kiri (2022, hlm.11), ia adalah cucu dari seorang penyintas yang mengalami langsung peristiwa 65.
Dengan demikian, Rumah Dukkha merupakan usaha generasi kedua untuk mentransmisikan pengalaman penyintas melalui sebuah strategi tekstual: sebuah usaha untuk menjemput ingatan dan pengalaman yang tak tercatat dalam narasi besar sejarah dan, menjadikan rasa sakit yang-privat menjadi tak sekadar privat, yakni rasa sakit yang dapat ditestimoni oleh yang bukan penyintas.
Rumah Dukkha dan Empat Tesis
Karakter dasar ingatan adalah ingatan sudah selalu selektif: kita tidak bisa merepresentasikan detail secara utuh dari pengalaman masa lalu, dan kita—khususnya pengarang—mau tak mau harus memilih ingatan dan detail dari peristiwa tertentu. Rumah Dukkha, dengan dua puluh cerpen di dalamnya, memiliki satu benang merah yang mengikat, yakni pengalaman duka sang narator yang sebagian besar adalah mantan tapol maupun keturunan dari garis penyintas. Dari dua puluh cerpen di dalam Rumah Dhukka, kita bisa memeras, secara fenomenologis, empat tesis terkait fiksi sejarah.
Di cerpen Membongkar Loteng (hlm.41) misalnya, narator merupakan anak dari keluarga yang dicap golongan merah dan sejak kecil tak pernah bertemu sang bapak. Di dalam cerpen ini, Mul, suami Sri, adalah seorang fotografer yang tak punya banyak waktu di rumah. Sri mendengar loteng rumah yang terus mengeluarkan bunyi. Di akhir cerita, Sri menaiki loteng yang terus gaduh; dan di loteng itu ia menemukan sebuah surat. Surat itu membuka fakta yang membuatnya sesak: Mul, suami yang selama ini ia gauli dan melahirkan anak cacat, adalah adik kandungnya sendiri.
Betapa pun ganjilnya peristiwa ini, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang anak yang kehilangan ibu dan ayah sejak kecil, bisa menikahi adik kandungnya sendiri. Cerpen yang ganjil, tapi tak kehilangan pijakan logika cerita. Dhianita ingin menyampaikan: garis keturunan penyintas mempunyai kisah-kisah tak terduga. Cerita-cerita dengan gaya khas seperti ini akan menyebabkan pembaca, dalam arti tertentu, akan mencari-cari fakta konkret di luar tubuh teks. Sebuah pertanyaan tentang benarkah peristiwa ganjil seperti ini ada di dalam kehidupan konkret?
Tesis pertama: Fiksi sejarah adalah elan untuk mencari fakta konkret di luar khazanah semesta fiksional; akan tetapi, ketiadaan verifikasi terhadap fakta sejarah, tak menggugurkan statusnya sebagai fiksi sejarah.
Di dalam cerpen Mencium Jenderal (hlm.15), Dhianita menyuguhkan ingatan trauma dan histeria penyintas. Tokoh Gunadi, anak penyintas yang kehilangan bapak, ketika ada peristiwa tertentu yang membuatnya mengingat sejarah kelamnya, traumanya bangkit dan gejala histeria muncul. Hantu-hantu masa lalu bergentayangan di kepalanya: “Ia sejurus meringkuk, kedua tangannya tertaut di tengkuk. Dalam kepalanya tergambar adegan para pria berseragam tak berhenti membentak dan menyumpahi barisan pemuda…” (hlm.18). Bayangan hantu-hantu seragam di kepala Gunadi ini muncul setelah ia “…mendapati (baca: melihat—pen) lambang kenegaraan yang menghiasi plat mobil itu” (hlm.18). Di cerpen Mencium Jenderal ini, ingatan traumatis yang digambarkan Dhianita melalui tokoh Gunadi, menjadi strategi tekstual yang penting dalam menuliskan kekerasan sejarah yang dialami penyintas.
Oleh karena itu, berbicara kekerasan sejarah juga akan berbicara tentang ingatan traumatis. Menyaksikan secara langsung peristiwa berdarah atau kehilangan orang terkasih, peristiwa tersebut akan terkondensasi menjadi ingatan di relung alam tak sadar; dan, ingatan gotik itu akan bangkit ketika dipicu oleh peristiwa-peristiwa tertentu yang membuat subjek mengingat pengalamannya yang kelam. Ingatan-ingatan traumatik penyintas ini, konsekuensinya, membuat kilas fotografis yang membuat penderitanya tak lagi mampu membedakan garis batas antara kenyataan dan imaji. Dan, Dhianita berhasil menghadirkan ingatan traumatis penyintas, yang mengaburkan batas tegas antara yang-riil dan imaji-traumatis, sebagai strategi tekstual di dalam Rumah Dukkha.
Kekaburan antara alur peristiwa konkret dan gambaran halusinasi narator juga begitu terasa di dalam cerpen Menjemput Rindu. Doel, sebagai tokoh-aku dalam cerita, mengalami trauma hebat “…ketika Tin dibawa paksa oleh tentara, aku hanya berdiri di ambang pintu tanpa bisa berbuat apa pun” (hlm.143). Setelah Tin, istrinya, dibawa paksa tentara, Doel mengatakan bahwa “Rinduku pada Tin selalu dibayangi ketakutan dan kepasrahan” (hlm.143). Peristiwa kehilangan Tin, seorang penulis yang “…membahas nasib buruh dan perempuan” (hlm.143), membuat Doel mengalami halusinasi.
Dalam alur cerpen ini, Doel menyuruh anaknya, Yayuk, untuk menyiapkan botok tahu dan ikan asin kesukaan Tin sebagai makanan penyambut kepulangan setelah lima tahun berada di balik jeruji besi. Setelah senja turun dan malam datang, Doel telah menjemput istrinya dari Stasiun Tugu: “Kutuntun Tin keluar dari bemo dan masuk rumah yang kami bangun bersama. Setelah sekian tahun, akhirnya hatiku kembali terasa hangat dan penuh” (hlm.145). Setelah lima tahun yang penuh rasa takut dan kepasrahan, akhirnya Doel dan Tin bisa tidur satu ranjang.
Di akhir cerita, ketika Doel terbangun dari ranjang di mana Tin ada di sampingnya, dan ini membuat pembaca kaget, ia mengatakan satu perkataan ke Yayuk yang membuat seluruh bangunan cerita roboh tiba-tiba: “Ojo lali. Besok siapkan botok tahu dan ikan asin kesukaanmu ibumu” (hlm.146). Anaknya, Yayuk, hanya mengangguk, dan Doel kembali ke kamar tidurnya: “…kutatap langit-langit kamar yang putih polos. Di sana kutemukan wajah Tin yang sudah kurindukan selama ini” (hlm.146). Semua peristiwa sebelumnya di alur cerita ini, ternyata hanyalah halusinasi narator.
Strategi tekstual yang memain-mainkan alur cerita melalui sudut pandang “irasionalitas” narator mengingatkan kita dengan gaya Fyodor Dostoevsky. Di karya Dostoevsky, The Double misalnya, tak ada lagi perbedaan yang tegas antara peristiwa konkret dan halusinasi sang narator dalam tubuh teks. Bahkan di dalam Crime and Punishment, melalui narator Rodion Romanovich Raskolnikov, Dostoevsky menghadirkan alam pikir dan kondisi psikis pelaku kejahatan yang serba curiga. Dalam konteks ini, jika dikaitkan dengan dua karya Doestoevsky di atas, Dhianita mampu menghadirkan sebuah testimoni tentang halusinasi penyintas; dan, dari dua puluh cerpen di Rumah Dukkha, ada satu cerpen yang berkisah melalui alam pikir pelaku, yakni Memuaskan Lapar. Namun yang pasti, Rumah Dukkha menghimpun dukkha, rasa pilu, trauma, dan gangguan psikis yang penyintas alami.
Tesis kedua: Fiksi sejarah adalah tentang mencicipi ingatan masa lalu. Dan, ingatan masa lalu yang berhubungan dengan peristiwa kekerasan, sudah selalu berarti tentang ingatan traumatis—bahkan di titik radikalnya, ingatan traumatis menjelma monster alam bawah sadar, dan jika dipicu, ia akan menjelma histeria. Pengarang fiksi sejarah, terutama yang mengangkat kekerasan dan trauma, membuat penyintas tak lagi terbungkus kebisuan. Dengan demikian, fiksi sejarah tentang kekerasan merupakan tempat di mana yang-bukan-penyintas bisa menestimoni trauma juga rasa sakit; dan tempat di mana yang-bukan-penyintas bisa menyaksikan peristiwa yang tak tercatat dalam arsip historis.
Identitas personal penyintas dikondisikan oleh ingatan kolektif sejarah. Kita punya satu fakta bahwa penyintas, khususnya dalam peristiwa 65-66, adalah orang-orang yang dianggap bersalah pada suatu era. Anggapan “orang-orang yang bersalah” inilah yang menjadi beban identitas bagi penyintas. Dhianita menunjukkan itu hampir membahas itu di semua cerpen secara implisit. Namun, dengna terang ia menuliskannya dalam cerpen Memanggil Silam dan Memulangkan Kamboja. Kedua cerpen ini, dengan terang, berkisah tentang tokoh yang mau tak mau harus kehilangan sebuah identitas; yang juga berarti, ia ingin (bahkan terpaksa) menyucikan identitasnya agar tak dianggap sebagai subjek yang bersalah.
Di dalam Memanggil Silam, narator sekaligus tokoh-aku merupakan orang yang dipaksa mengganti nama oleh seorang laki-laki berseragam: “Dengar. Ini sekarang nama barumu… Namamu di sini sudah kutandai ‘mati’. Tidak akan ada seorang pun yang curiga” (hlm.118). Pardi sudah mati, dan laki-laki itu berubah nama: Matius. Hal ini agar hidupnya tak tanggal, dan nyawanya tetap tinggal: “Iya. Kamu sekarang agamanya Katolik. Itu akan lebih aman karena tidak ada yang menuduhmu sebagai abangan,” (hlm.119). Di sini kita tahu, dari usia Matius yang sudah sepuh, ia adalah penyaksi langsung, narator dalam cerita ini adalah generasi pertama.
Sementara pada cerpen Memulangkan Kamboja, Kamboja merupakan anak dari seorang keluarga tapol. Kamboja, yang sebelumnya bernama Melati, “…harus ganti nama dan pergi dari rumah secepatnya. Ini satu-satunya cara supaya kamu bisa melanjutkan hidup sebagai anak tapol” (hlm.101). Kini Melati tak lagi Melati, ia kini Kamboja, “Sanak menjadi asing, diri telah menjadi liyan” (hlm.102).
Berganti nama juga berarti berganti identitas dan memulai hidup yang sama sekali baru. Sialnya, ingatan dan beban masa lalu tetap tak bisa dihapus hanya dengan menghapus nama. Ingatan itu akan selamanya mengendap di alam pikir penyintas sebagai hantu masa lalu. Kita, sebagai pembaca, diajak membayangkan betapa sakitnya ingatan yang hanya sekadar jadi ingatan yang rahasia seperti itu. Betapa sakitnya menyongsong hidup ketika raga berganti nama, tapi ingatan terkungkung masa lampau.
Tesis ketiga: Fiksi sejarah mampu membangkitkan empati, yakni sebuah momen membayangkan menjadi Sang Liyan. Fiksi sejarah mampu menjadikan ingatan tak lagi sekadar rahasia penyintas—bahkan ketika ia dibaca secara luas, fiksi sejarah akan mampu menjadi ingatan kolektif, seperti halnya dalam konteks sastra Amerika Latin. Ketika pengalaman penyintas diinternalisasi dalam diri pembaca, maka akses terhadap sang liyan menjadi terbuka. Persis di sini, fiksi sejarah merupakan pemicu terbentuknya empati. Konsekuensinya, fiksi sejarah juga berarti tempat ketika rasa marah pembaca, dalam kadarnya yang paling minimum, bangkit. Dengan demikian, penyintas sebagai subjek yang bersalah di masa lampau, statusnya direvitalisasi oleh pembaca sebagai korban yang berhak atas keadilan. Di tangan fiksi sejarah, sastra menjadi sangat politis: Ia seperti lidah tajam untuk menuntut keadilan sejarah.
Di dalam Memuaskan Lapar kita disuguhkan sebuah cerita tentang apa yang sebenarnya ada di dalam alam pikir pelaku, dan bagaimana transmisi ingatan trans-generasi terjadi. Rani, seorang jurnalis perempuan, mendatangi laki-laki bernama Tikno yang merupakan seorang jawara dan tukang jagal berdarah dingin. Rani mendatangi Tikno untuk menanyakan “Tentang peristiwa yang menggemparkan di kampung ini empat puluh tahun yang lalu” (hlm.82). Dari cerita Tikno kita akan tahu peristiwa berdarah masa lampau, dalam konteks ini, melalui alam pikir pelaku:
“Malam itu kita kumpulkan mereka semua itu, muda-muda yang sering kumpul-kumpul tidak jelas, di lapangan di pinggir jalan besar. Di situ sudah disiapkan lubang yang besar, mungkin sampai setengah dari luas lapangan itu, pokoknya besar sekali, dan juga dalam… Saya berdiri di dekat lubang… Sambil membawa parang yang sudah diwariskan turun menurun dari kakek buyut saya. Sementara teman saya yang lain membantu mengarahkan orang-orang itu agar tepat di depan saya, lalu des! Selesai satu, lanjut yang di belakangnya. ‘Kamu! Maju! Des!’… Setelah saya tebas, kepala orang-orang itu menggelinding ke tanah seperti bola,” (hlm. 86).
Jika penyintas, seperti yang telah kita singgung sebelumnya, adalah orang yang dianggap bersalah di masa lalu; maka pelaku, dalam konteks ini Tikno sebagai tukang jagal, adalah subjek kebenaran yang memenggal kepala anak muda tanpa rasa bersalah. Di cerpen Memuaskan Lapar ini pula kita juga bisa melihat bagaimana sebuah ingatan ditransmisikan antar generasi, yakni Tikno sebagai generasi pertama yang merupakan pelaku, dan Rani sebagai generasi kedua yang melihat sejarah melalui perantara (baik dari cerita lisan maupun tekstual).
Apa yang terjadi kemudian adalah ingatan yang diterima melalui cerita lisan, baik ingatan pelaku maupun penyintas, seperti yang sudah kita singgung di awal, sudah selalu selektif. Artinya, ingatan tidak bisa sepenuhnya menceritakan jejaring kompleks peristiwa masa lampau; sebaliknya, ingatan hanya menangkap dan menyeleksi peristiwa-peristiwa yang dianggap penting. Di sini, terutama jika kisah masa lampau ditransmisikan melalui cerita lisan, masa lampau kehilangan detail utuh, dan yang tersisa hanya sebuah inti peristiwa. Oleh karena itu, dalam fiksi sejarah, pengarang dituntut “kreatif” menyiasati data. Kreatif dalam arti, pengarang menjadi tuhan kecil dalam mengonstruksi detail cerita yang luput tertangkap oleh ingatan.
Tesis keempat: Fiksi sejarah, hasil dari pengarang sebagai tuhan kecil yang mengonstruksi sebuah alur cerita, sudah selalu memiliki imajinasi kreatif dalam menyiasati data. Oleh karena itu, fiksi sejarah harus diperlakukan sebagai penyambung peristiwa kelam, suara rasa sakit penyintas, dan kegilaan alam pikir pelaku; bukan sebagai karya untuk mencatat fakta dalam artinya yang paling harfiah.
Kita bisa menyimpulkan bahwa fiksi sejarah, masih berhubungan dengan tesis keempat, selalu berada di antara tiga tegangan: Ingatan dari penyaksi sejarah, kreativitas pengarang dan arsip historis. Dan, fiksi sejarah tak berusaha menghadirkan sekumpulan fakta secara harfiah, ia menghadirkan suasana. Persis di sini, prinsip Gabriel Garcia Marquez, sebagaimana dikutip Ronny Agustinus (2021), berlaku: “Bila ada satu fakta palsu dalam sebuah reportase, maka segala lainnya ikut palsu. Dalam fiksi, bila ada satu fakta yang bisa diverifikasi, maka pembaca akan memercayai segala lainnya.” Banyak hal yang bisa diverifikasi dalam Rumah Dukkha, dan kita layak untuk memercayai segala lainnya.
***
Akhirnya, Dhianita, sebagai generasi engsel, berhasil menghadirkan peristiwa di luar narasi besar sejarah. Dan rasa sakit penyintas, maupun kegilaan alam pikir pelaku, bisa ditestimoni. Kita harus mengakhiri tulisan ini dengan perkataan George Santayana, yang dikutip Dhianita di dalam Buku Harian Keluarga Kiri: “Siapa yang tak bisa mengingat masa lalunya, ia dikutuk untuk mengulanginya kembali.”