Pohon Ara
Rantingku gemetar saat tatapannya menaksir bebuah
Yang direbut musim demi musim dari saatku tetirah.
Rindang ini tak meneduhkan hatinya yang terbakar
Malah memanaskan murka di lambungnya yang lapar.
Ingin tubuhku membungkuk seperti bujuk seorang gadis
Ketika membasuh kakinya dengan minyak dan isak tangis.
Namun sembah tidak dimaksud untuk menghapus takdir
Dan aneka doa tak mampu menjilati guratan nasib buruk.
Betapa tak adil bila gelagah yang terkulai tak ia patahkan
Tapi tubuhku muda dan hijau ini ia kutuk sampai ke pucuk.
Telah lama akarku mencintai cokelat tanah dan tetunasku
Tiada mungkin meninggalkan puja-puji pada langit biru.
Ada kepompong di tangkaiku bermimpi menjadi kekupu
Mengibaskan corak sayapnya agar hidup tak lagi bimbang.
Hendak kukatakan, “Musim depan aku pasti berbuah, kini
Biarkanku tetirah.” Tapi detak jantungku melamban pelan,
Sebab sabdanya seperti ujung tombak menembusi kambiumku
Dan umpama tajam paku dan tiara berduri melucuti kegagahanku.
Lasiana, 2020
Bulir Gandum
Jalan ke arah tunai
Turun ke kiri
Berliku dan kini
Tak menentu
Setelah ilalang harusnya
Serong kanan
Agar luput dari iblis ladang
Bersembunyi di buas belukar
Di ujung ziarah
Tangan memanen waktu
Keping-keping hidup
Bersijatuh
Perumpamaan tinggal tangkai
Mengering dan terlepas
Bulir kami jantung injil
Di bebakul ini
Sabda tak henti-henti
Berdenyut
Lasiana, 2020
Gelagah
Tidak, Tuan, saya tidak jadi dipatahkan. Tubuh
Saya beruas-ruas. Nasib pun berbuku-buku. Tuan lihat
Di sana? Sumbu pudar itu masih tetap menyala, pun hembus
Angin dan badai tak kuasa membuat ia padam. Begitulah saya.
Supaya Tuan tahu, saya tetap bisa bangkit sekali
Pun diterpa topan berulang kali. Meski yang tersisa
Cuma sehelai urat yang terkulai, Penyemai itu tetap
Ikhlas mengasihani saya. Hatinya lebih luas dari
Ladang ini, lebih dalam dari jurang yang Tuan gali.
Tuan sangka dengan membuat saya terhempas
Maka saya akan terlepas, tempias. Masih ada
Tangan yang tak Tuan lihat, yang menopang
Saya dalam dendam dan nasib buruk ini.
Saya, seperti pelita itu, Tuan, belajar cara terbaik untuk
Memelihara harap, walau tak punya cukup alasan
Untuk tetap hidup.
Kalau Tuan tidak percaya, silakan siksa saya lagi
Dan kita lihat, siapa yang akan
Semakin kuat.
Lasiana, 2020
Sebesar Biji Sesawi
Ke tepi pantai usai menyemai
Benih di subur bedengnya penabur
Bertanya pada nelayan: “Bagaimana
Memindahkan gunung ke laut?”
“Telah kukayuh sampan ke tempat
Yang dalam,” kata nelayan, “Telah
Kulatih diri berjalan di air yang berombak
Tertatih-tatih tapi tubuh laut lebih rahasia dari
Langit untuk bisa kupahami. Cobalah pergi
Pada gembala.”
Ke tandus batu-batu, rumput meranggas
Bertemulah ia dengan gembala
Menggiring tanya.
“Kakiku kuat seperti kaki rusa,” kata gembala
“Demi mencari hilang seekor domba
Ke gunung kulintasi pinggang lembah
Ujung bukit dan kutemui ia
Tak kubiarkan sesat dombaku
Sekali pun cuma satu
Tapi kaki gunung tak selincah angin
Pergilah pada penggarap
Lidah bujuk mereka pandai bersilat.”
Bersihadap ia muka ke muka
Dengan para penggarap
Melepas tanya.
“Telah kami tangkap setiap hamba
Kami sandera dan kami paksa
Telah kami sesah anak pemilik kebun
Yang menimbun banyak rahasia
Tak pernah dikatakan pada kami
Kini tiada lagi yang bisa kami ungkap
Pergilah dari sini jika tak ingin tubuhmu
Kami peras menjadi anggur”
Gunung menjulang di matanya
Ingin ke nelayan ia kembali
Lalu ke bedeng ia pulang
“Bagaimana memindahkan
Laut ke gunung?” pancing
Nelayan
Di gegaris tangannya
Ada bekas benih
Ia yakini
Sebesar biji sesawi
Lasiana, 2020
Yosep yang Sepi
Senja turun di Nazaret
Angin menggisar tangkai ara
Dedaunannya rebah di beranda itu
Langit memandangi pintu, kursi,
Meja, lemari, peti, jendela,
Ranjang, kotak, malaikat kayu
Memandanginya
Menyigi matanya yang sayu
Ia ukir malaikat itu sebelum
Jumpa Maria
Usai mimpi yang ngeri
Gegap gemetar di dadanya
Sayap dalam tidur itu ia tahu
Tak lebih menakutkan
Dari tatapan tetangga
Juga dalam kegentaran pernah
Tangis anaknya ia bujuk
Dengan ukiran perahu
“Di tapakmu laut bergolak,
Kelak jadilah penjala, jadilah pemukat!”
Tetangga selalu terlatih mengeluarkan
Selumbar di mata keluarganya tapi
Alpa pada kerikil di mata sendiri
Di pantai mimpi anaknya akan berlabuh
Seperti ia: punya istri, anak, menua dan tiada
Tak perlu panjang umur seperti kura-kura
Tiada; tanpa harus ditembusi paku
Tanpa lambung yang robek
Tanpa salib yang kayunya
Dari pahatan sendiri
Tanpa harus disembelih
Seperti anak domba
Seperti merpati
Seperti hidup yang mengukirnya
Memahatnya, dan memberi bingkai
Lalu memajangnya di kulit bumi
Yang perlu ia ukir terakhir
Hanya keranda untuknya
Untuk tidur panjangnya
Sebab ia percaya senja adalah pelupuk
Waktu yang menutup dan ia cuma
Daun ara yang luruh
Di beranda
Lasiana, 2020