Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Raudal Tanjung Banua

Catatan Terserak Seorang Tapol

1.
seperti intel
di tepi jalan
pengemis itu
mengintai malam
dengan mata buta
dan jubah tambalannya.

2.
jerit pluit itu pilu, kawan
tapi harus tetap ditiupkan
karena hanya dengan itu
ada keberangkatan.

3.
kapal yang sauh
bertolaknya jauh
jarak di laut tidak bertugu.

4.
kolonial
lahir dari seorang kolonel

seperti peluru
lahir dari batu ketapel

5.
angkasa kami laut
kami melayang mencari dataran baru
seperti bulan atau planet lain
tempat kami berlabuh
dengan getar seorang astronot
yang tak dibekali zat asam

6.
lampu-lampu menyala
satu-dua pintu terbuka
tapi tak seorang pun duduk di beranda
(kepulangan sepi tanpa sapa,
tapi aku ada menyimpan sebuah lentera)

Buru, 2018/Yogya, 2020

 

Kematian Pertama di Sanleko

1.
fajar pertama terbit
saat pendaratan pertama tiba
di tepi sanleko
—pintu masuk
orang-orang buangan
dari teluk kayeli
ke waeapo.

fajar merah bukit kayu putih
mengusap pipi pertama
seorang pemuda jawa
—pipi yang setirus kacang kenari
di pabrik roti, tempat dulu ia bekerja
seriang-riang hari.

hangat fajar menyepuh juga
deretan punggung bongkok
orang-orang senasib
penuh beban dan buntalan
setelah sebelas hari terapung
terkurung lambung bobrok
kapal ADRI XV. diguncang, diayun rasa cemas,
gamang di hati lebih ganas daripada gelombang
laut selatan. tapi semua menolak dikalahkan.
seperti ia

bertahun bertahan dari penjara ke penjara
dari sidorejo, ambarawa, limas buntu
sampai dermaga sodong wijayapura
menyorong tubuh rusaknya
ke palka, hingga kapal membawanya pergi
ke keheningan dada
laut banda.

tiba di sanleko,
takjub ia memandang fajar pertama
tanah air. dengan sedikit berkedip
ia lihat fajar yang sama menyepuh juga
seupil tanda pangkat di bahu prajurit jaga, berkilau
di pelatuk bedil komandannya
seperti terpantul genang darah
di muka pabrik roti salatiga
dari mana dulu ia diseret pergi

sejenak ia rasa nyeri di ulu hati
tapi segera tercium hangat minyak kayu putih
diusap ibu di atas bantal
dan kini pohon kayu putih dekat sekali
meski dahannya belum sempat ia raih.

2.
fajar yang sebentar
perlahan mekar
jadi bunga raksasa matahari
semua berlari-kerja tunggang-langgang
menghadang hari pertama
di bawah panas kelopaknya:
mereka sibak rawa malaria
mereka kuak ranting semak duri
akan mereka dirikan barak,
gudang amunisi, pondok ladang garam
dan pos jaga
untuk mengawasi
gerak mereka sendiri.

dan ia, sesaat masih bertanya:
inikah pulau harapan baru yang dijanjikan?

dari jarak empat-lima depa
sang komandan menatap curiga
lalu tanpa aba-aba
tegak di muka, menghalangi cahaya
mencipta bayang-bayang, semacam gerhana,
yang memanjang memanjat dahinya

“sungguh celaka, bahkan di bumi buangan ini pun
kau tadah cahaya merah, tak diragukan lagi
kau khianat sejak dilahirkan!” komandan melenguh
tanpa ba-bi-bu
seakan merebut bantal ibunya

dan menendangnya pertama
tepat di dada. lalu tiga prajurit berbaris
mendaratkan mereka punya sepatu
satu-satu
di pipi dan ulu-hati

ia rebah
tak sempat bicara
bahkan wajah ibu
jadi sebayang buah labu
tersedu gugur bersamanya
sebelum senja sempurna.

3.
fajar kedua terbit
saat tubuh pertama ditanam
di sanleko—pintu masuk
kematian demi kematian
ke lembah
waeapo.

fajar ketiga dan keempat
mengusap pipi nisan seorang pemuda
tak bernama—seperti buah kenari jatuh
di hutan sunyi kaki merbabu. dan fajar yang sama masih
menyepuh punggung bongkok
orang-orang senasib, susah-payah bangkit
menyandang salib hidup
di rawa-rawa sanleko—pintu tertutup
bagi segala nasib baik.

fajar kesembilan puluh sembilan dan seterusnya
jatuh di atas tatahan pualam
berukir nama komandan besar,
(tak ada nama prajurit dan komandan jaga
tak juga korban pertama)
tapi ini bukan fajar yang sama
saat dulu pemuda pertama rebah

fajar ini berkilau
di atas pualam asin-bergaram
serupa genangan darah
menyepuh tugu peringatan
pendaratan pertama
kebuasan manusia!

/Buru, 2018-Yogya, 2020

 

Kaki Air
: Daeng Nasri Bugis bercerita

setelah kota-kota terbakar
di kaki jazirah—disulut makar muzakar
dan disambut tentara ibukota
leluhur kami memilih pergi
ke laut. dan tiba di timur
tanah air. di muara sungai waeapo

di bibir sunyi teluk kayeli
leluhur kami mendirikan kampung baru
di atas air, di atas tiang-tiang kayu
dan bilah-bilah papan sawulaku
lidah bugis kami menyebut: oja sallo—kaki air

rumah-rumah dan perahu
berhimpun di seulas bibir teluk
yang tersenyum karena sejak itu
ia terbangun dari tidur. tangan-tangan pendayung kami
menghidupinya dari waktu ke waktu

kaki air terus tumbuh seperti kaki-kaki ketam dan kepiting
menggali sekaligus menimbun
endapan lumpur di badan sebuah kapal karam
di muara waeapo yang lebar
membentuk pulau kecil: nusa kapal

agustus 69 saat langit gelap
dan lampu-lampu namlea di seberang
tak lebih bintik bintang
di udara pengap, sebuah kapal besi tua
melepas terompet dan jangkar
di ceruk teluk, menurunkan sekoci-sekoci tua pula
bersama ratusan orang bernomor punggung
membawanya masuk ke pedalaman waeapo
hingga ke kaki bukit batabual
sebagian mendarat di sanleko
tak jauh dari dinding karat kapal

kampung kaki air yang terjaga sedini hari
terdiam. tangan-tangan pendayung kami sejenak henti
menggerakkan kaki-kaki air menjala ikan
kelak kami tahu lewat komandan berperahu
bahwa telah datang orang-orang buangan
tapol 65 dari jawa.

“mereka tak mempan
dikurung dalam terali, bagus mereka dibawa ke mari
penjara alam yang membuat mereka dekat
dengan tuhan. jangan kalian dekati mereka
pahamnya bisa menular,” kata komandan
sambil mengusap sebelah kacamatanya yang hitam

tak lama kemudian di nusa kapal, sejengkal
dari rumah terakhir kampung kaki air
didirikan pos jaga seperti menara suar. tapi bukan
dihuni petugas mercu yang biasa akrab
dengan kesunyian dan setia mengirim isyarat
bagi keselamatan kapal-kapal
melainkan orang-orang bersenjata laras panjang
mengawasi balok-balok kayu
yang digalah para tapol dari hulu

lalu tahun-tahun menyusul
bergoni-goni padi hasil panen
dibawa tapol corvee
dari unit terjauh, wanadharma,
hingga unit terdekat, wamsiat
dan waetele.

dari jazirah celebes, leluhur kami memilih pergi
karena pergolakan 55. di jazirah raja-raja,
al-maluuk, maluku
anak-turunannya bersua orang-orang
yang dipaksa pergi
atas nama pengkhianatan 65.

siang malam mereka buka pepat hutan
dan padang savana
membalik tanah menjadi lumpur sawah
dataran waeapo yang keras,
mereka lunakkan dengan aliran air
dan telapak tangan
tanpa kincir dan mesin-mesin
sekali waktu kami lihat dan bayangkan
itu semua seperti galur-galur irigasi ramalan di bulan
sesuatu yang tak mungkin, tapi di bumi bupalo
semua menjadi mungkin

tapi betapa sedih, bapa
di daratan yang keras, kaki-kaki mereka justru goyah
karena tanah dan udara
bukan milik mereka berpijak pasti

sementara di sini,
tanpa tanah daratan, kami berdiri pasti
di atas kaki-kaki air
tangan-tangan pendayung
menguatkan kami tegak
di rumah sendiri
dan tak hendak mengelak
mencatat peristiwa demi peristiwa
di atas air, seperti waktu,
yang terus mengalir…

/Buru, 2018-Yogya, 2020

Catatan:

  • Kaki Air, nama sebuah kampung di muara Sungai Waeapo, seberang Kota Namlea, masuk Kecamatan Teluk Kayeli. Kampung ini unik karena didirikan di atas air dengan lantai dan tiang kayu. Pendirinya orang Bugis yang meninggalkan kampung halaman waktu Peristiwa Kahar Muzakar.
  • Corvee: tugas lapangan yang diberikan komandan unit kepada tapol.
  • Wanadharma, Wamsiat, Waetele: nama-nama unit Inrehab Buru yang ada di Waeapo.
  • Bumi Bupolo: Nama lain Pulau Buru.

 

Jiku Kecil


jika waeapo neraka di bumi
maka jiku kecil adalah inti neraka
dan mako gerbang apinya.

malaikat penjaga—atau mereka
yang merasa malaikat
tak perlu bertanya: dari mana
hendak ke mana
siapa tuhanmu, apa agamamu
apa kitab dan ke mana kiblatmu
tidak juga ditanya nama-nama dewa
dan juru selamat. sebab jawaban apa pun
tak mengubah nasibmu.

maka tak perlu ada yang mencatat
malaikat di kanan dan di kiri
sebab siapa pun yang dikirim ke neraka buru ini
memang tak pernah dicatat dosa-dosanya
untuk diungkap dan diadili

satu telunjuk cukup
mengantar siapa pun ke mari

karena itu segeralah berangkat jika malaikat mako
membawamu ke jiku. segala sendi akan bergetar
tahankan, dan tak tertahankan. lecut cambuk dan sol sepatu
tang yang mencopot gigi dan mencabut kuku
memercik darah hitam
ke langit plafon—menciprat langit tanpa bintang
di luar. memucat warnanya dicat
cairan tubuh makhluk tuhan

bahkan aku pun yang kini lewat
pucat dengan tulang-tulang ngilu seluruh badan
dipecut bayang-bayang cambuk
para pengecut. tanganku gemetar
rasa tak sanggup mencatat
apa yang mesti dicatat. tapi tak akan takluk aku

karena kuyakin, akar-akar kayu sawulaku
membelit kuat-kuat
jejak-jejak yang tertinggal
di halaman belakang sebuah gudang
di reruntuhan bau amis daging terbakar
bekas markas penyiksaan
nun di jiku, jiku kecil,
di sudut terpencil tanah air.

dari sini kunyalakan lagi
bayangan inti neraka kekal ini
menjaganya tak bakal padam
walau disiram bergalon-galon
air kencing kebebasan.

2018/2020

Lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Tahun 2018 ia menjalani residensi di Pulau Buru yang diadakan Badan Bahasa Diknas. Bukunya yang sudah terbit antara lain Api Bawah Tanah dan Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. Kini tinggal di Yogyakarta, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia.

You don't have permission to register