Pesut Mahakam
Ada yang girang tatkala kami tampakkan
kepala bagai umbi
Kau kira lumba-lumba di sungai keruh?
Basuh wajah itu dari basah cipratan sirip kami
yang tergores jala
“Kami iwak tak biak pesat sebab pohon ditebang
tanah ditambang dan tak dapat cari makan”
Di keramaian kota, kami sekedar lambang
sebuah patung pandang tepian Mahakam
Titik temu remaja bermalam minggu
Di sungai yang sunyi, kami mutiara dalam kerang
cercah cahaya sembunyi berkecai di sungai hulu
seperti ribuan mata berhambur di banyu hambar
“Mata kelereng tentulah rabun tuan,
menatap cucu menari di atas perahu, sumpah!
Bahkan kami pernah tak sengaja menelan sampah!”
2019/2020
Berteduh di Area Kilo Balikpapan
Demi bau hutan bukit Soeharto
mata senja dan madu hitam
seperti wajahmu
Kendara kita tersusun di warung panjang
kau meminta sekadar singgah
merebah pinggang yang lelah
terdekap hujan yang tak bertempo
Pesanlah secangkir teh
di sana tumpuan kita terseduh dan berteduh
seperti cinta yang memerah dan memanis
menghambur hambar antara kebeningan
Anggrek hitam layu yang mekar kembali adalah dongeng
yang tidak pernah ditamatkan dan kita
menikmati kegandrungan
yang menyematkan ruang masa lalu
yang menggunakan tanda seru
Ashar pukul empat menunggu pesawat berangkat
kali ini aku tak mau mengantarmu terlambat.
Tunda dulu cerita
riuh udara dan bandara seperti suara di jantung kita
degup ancaman yang gebu untuk lekas
berangkat atau tidak kembali pulang
2019/2020
Secarik Puisi
Nanti, tatkala nilai matematikamu 50
dan ibu guru memarahimu
Perlihatkan secarik puisi yang kuselipkan
di punggung tanganmu itu,
lalu tanyakan,
“berapakah nilai masa depan puisi
dalam diri seseorang yang mati?”
2019/2020
Selembar Tisu
Cerita bagaimana aku bekerja
tentang cara membasuh wajah seseorang yang mati
Di ujung gelap
jatuhkan aku di kening seseorang yang kau mau
seolah dikutuk Tuhan untuk mereda
demam yang tidak pernah sembuh
Akan kucumbu hingga ke ujung jari
dan aku amis atau sekadar basah
dan tidak ada cara untuk mengemis hidup kembali.
Tidak ada.
Kau ingat tisu yang dibakar pesulap tadi malam?
aku yang hilang dan terlupa antara keriuhan tepuk tangan
jejak darah dan gincu yang disaksikan jadi abu,
bunga, kelinci, merpati atau tidak sama sekali.
2019/2020
Muara Enggelam
Sebuah desa panggung matahari tenggelam
aku yang menatap seakan gerbang memasuki perutku
dan etam kekenyangan senja setiap hari
Di dalam diriku ada yang mengharap kebebasan
seperti burung sungai mengubar ikan papuyu
samping gubang karam atau ia tidak mau terikat tali
seperti bangau-bangau depan rumah itu
Lebih baik kudengar suara hentak kaki
berlari di papan ulin daripada suara rengek
kanak kaya minta dibelikan baju baru
Jangan ragu! datanglah dari jembatan pintas
ke hilir dalam gembira, karena sida
lebih mencintai pantun dari kutipan cinta yang biasa
Surga sendiri di atas sungai
kutemukan kanak-kanak berjualan sayur dan donat untuk sarapan pagi
mengendarai cas menuju Muara Amuntai atau menawarkan kerupuk ikan pipih
dan seorang Kaik menjadi tokoh abadi seperti pohon Setia Raja
Kesetiaan adalah sinar desa yang benderang
sebuah kabar mengubar pesona gunung Maratus
dari kejauhan yang merabun di kaki awan
(jika diberkahi kau melihat)
Muara Enggelam adalah mercusuar
yang menyambut kedatangan remaja kota
berniat abadi tetapi melupakan kata mengabdi
2019/2020