Puisi-Puisi Mahmoud Darwish
RITA DAN SENAPAN
di antara rita dan mataku, ada sebuah senapan
siapa pun yang mengenal rita, akan tunduk
dan berdoa
kepada dewa di dalam mata berwarna madu itu
aku mencium rita
saat ia masih muda
aku ingat bagaimana ia melekatkan tubuhnya
padaku, dan kepangnya yang anggun menutupi lenganku
aku mengingat rita
seperti burung gereja mengingat jalurnya
ah, rita
di antara kami ada jutaan burung gereja dan sebuah foto
juga jani-janji
lalu sebuah senapan diletupkan kepadanya
nama rita adalah hari raya pada mulutku
tubuh rita adalah pernikahan dalam darahku
aku menghabiskan dua tahun bersama rita
ia tidur di atas lenganku, dua tahun
kami berjanji di atas cangkir paling indah, dan terbakar
dalam anggur dua bibir
kami diahirkan dua kali!
ah, rita
adakah yang memalingkan mataku dari matamu
selain dua tidur singkat
dan mendung berwarna madu
sebelum senapan ini!
suatu ketika
oh, kesunyian senja
bulanku pergi jauh saat pagi
menuju mata berwarna madu
kota telah
hempaskan para pelagu, dan rita
di antara rita dan mataku, ada sebuah senapan
TAK KURANG DAN TAK LEBIH
aku seorang wanita. tak kurang dan tak lebih
kujalani hidup sebagaimana mestinya
helai demi helai
kupintal benang wol untuk kukenakan, bukan
untuk lengkapi kisah homer, atau matahari miliknya
aku melihat apa yang kulihat
sebagaimana adanya, dalam bentuknya
meski sesekali aku menatap
dalam bayangannya
agar kutanggung denyut kekalahan
aku menulis esok
di atas lembar kemarin: tiada suara
selain gema
aku suka ketaksaan yang mesti dalam
kata-kata seorang pelancong saat malam kepada yang samar
burung di atas lereng sabda
dan di atas atap-atap desa
aku seorang wanita, tak kurang dan tak lebih
bunga almon menerbangkanku
pada bulan maret, dari balkonku
dalam kerinduan kepada kata-kata sang jauh:
“sentuh aku dan akan kubawa kuda-kudaku ke mata air.”
aku menangis tanpa sebab yang pasti, dan aku mencintaimu
kau sebagaimana kau, bukan sebagai sandaran
atau kesia-siaan
dari bahuku pagi menyingsing menujumu
dan malam lingsir, saat kupeluk dirimu, ke arahmu
aku bukan ini atau itu
tidak, aku bukan matahari atau rembulan
aku seorang wanita, tak kurang dan tak lebih
maka, jadilah qais kerinduan,
kalau kau mau. sedangkan aku
aku lebih suka dicinta sebagaimana adanya
bukan sebagai foto
berwarna di koran, atau sebagai ilham
yang terlantun dalam kasidah di antara rusa-rusa
aku mendengar pekik jauh laila
dari kamar tidur: jangan tinggalkan aku
seorang tawanan rima dalam malam-malam kabilah
jangan tinggalkan aku pada mereka sebagai warta
aku seorang wanita, tak kurang dan tak lebih
aku adalah aku, sebagaimana
kau adalah kau: kau ada dalam diriku
dan aku ada dalam dirimu, untuk dan demi dirimu
aku suka kejernihan yang niscaya dalam teka-teki kita bersama
aku milikmu saat aku meluap di malam hari
tapi aku bukan tanah
atau perjalanan
aku seorang wanita, tak kurang dan tak lebih
dan aku lelah
oleh siklus feminin bulan
gitarku jatuh sakit
senar
demi senar
aku seorang wanita,
tak kurang
dan tak lebih!
UNTUK NEGERI KAMI
untuk negeri kami,
yang dekat dengan firman tuhan
beratap awan
untuk negeri kami,
yang jauh dari sifat-sifat kata benda,
peta ketiadaan
untuk negeri kami,
yang sekecil biji wijen,
cakrawala surgawi, dan jurang tersembunyi
untuk negeri kami,
yang rudin bagai sayap belibis
kitab-kitab suci, dan luka jatidiri
untuk negeri kami,
yang dikelilingi bukit-bukit compang-camping
perangkap masa lalu yang baru
untuk negeri kami, hadiah perang
kebebasan untuk mati sebab rindu dan terbakar
tanah kami, dalam malamnya yang berdarah
adalah permata yang berpendar hingga jauh, jauh di sana
dan menerangi apa yang di luar
sedangkan kami, di dalam,
makin terdesak!
DAN KITA MILIKI SEBUAH NEGERI
dan kita miliki negeri tak berbatas, sesuai bayangan kita
tentang yang entah, sempit dan luas. sebuah negeri,
yang saat kita berjalan di petanya, menyempit bersama kita,
dan membawa kita ke dalam terowongan kelabu, lalu kita berteriak
dalam labirinnya: kami tetap mencintaimu, cinta kami
penyakit keturunan. sebuah negeri, yang saat ia
mengenyahkan kita menuju entah, tumbuh.
dedalu dan perangai tumbuh. rumputan
dan bukit-bukit biru tumbuh. danau menjalar
di utara jiwa. sorgum menjulang di selatan
jiwa. biji-biji lemon berpijar bagai suluh
di malam eksodus. muka bumi berseri
bak kitab suci. rentetan bukit
menjadi mikraj, semakin tinggi … semakin tinggi.
“jika aku burung, ‘kan kubakar sayapku,” kata seseorang
kepada dirinya yang terasing. aroma musim gugur menjadi
potret atas apa yang kucintai. hujan ringan menembus
kerontang hati, angan-angan menguak
pada muasalnya, dan menjadi tempat,
satu-satunya yang nyata. segala yang
di kejauhan kembali jadi kampung lama, seolah bumi
masih menata dirinya sendiri untuk berjumpa dengan adam, yang turun
ke lantai dasar surga. lalu aku berkata:
itulah negeri yang mengandung kita. kapan kita dilahirkan?
apakah adam menikah lagi? ataukah kita
akan dilahirkan kembali
demi melupakan dosa?
DI AL-QUDS
di al-quds, maksudku di dalam tembok purba,
aku beranjak dari satu zaman ke zaman lain tanpa memori
memanduku. para nabi di sana berbagi
sejarah suci, mendaki langit
dan turun dengan optimis dan melankolis, sebab cinta
dan damai itu suci dan akan tiba di kota.
aku berjalan di atas tebing dan merenung: bagaimana bisa
para perawi berselisih atas apa yang cahaya katakan tentang sebuah batu?
apakah dari batu yang remang pendarnya itu perang meletup?
aku berjalan dalam tidurku. aku menatap dalam mimpiku. Tak
kulihat seorang pun di belakangku. tak kulihat seorang pun di depanku.
semua cahaya ini untukku. aku berjalan. aku menjadi ringan. aku terbang,
menjadi yang lain dalam tajali. kata-kata tumbuh
serupa rumputan dari mulut nabi yesaya:
“jika tak beriman, kau takkan aman.”
aku berjalan seolah aku orang lain. lukaku mawar
putih biblikal. dua tanganku bagai sepasang merpati
di atas salib, melayang dan menenteng bumi.
aku tak berjalan, aku terbang, menjadi yang lain dalam
tajali. nirruang, nirwaktu. jadi, siapakah aku?
aku bukanlah aku di hadapan mikraj. tapi aku
termenung: sendirian, nabi muhammad
bertanya dalam bahasa arab fusha: “lalu apa?”
lalu apa? seorang serdadu wanita tiba-tiba memekik:
kau lagi? bukankah kau telah kubunuh?
aku menjawab: kau membunuhku … dan aku lupa, seperti kau, cara mati.
MEREKA DIBUNUH DAN TAK DIKENAL
mereka dibunuh, dan tak dikenal. tiada kealpaan yang mengumpulkan mereka
dan tak ada ingatan yang memisahkan mereka. mereka terlupakan
di antara rumput-rumput musim dingin, di jalan raya,
di antara dua cerita panjang tentang kepahlawanan dan penderitaan.
“aku adalah korban.” “tidak, akulah satu-satunya
korban.” mereka tak berkata kepada si pengarang: “tak ada
korban yang membunuh korban lain. di dalam cerita,
yang ada hanyalah pembunuh dan korban.” mereka masih kecil,
menyigi salju dengan cemara kristus,
dan bermain dengan malaikat kecil,
mereka anak-anak satu generasi. mereka kabur
dari sekolah, lari dari matematika dan syair
hamasah kuno, lalu bermain dengan para tentara,
di dekat perbatasan, permainan maut tak berdosa.
mereka tak berkata kepada para tentara: “letakkan senapanmu
dan bukakan jalan, agar kupu-kupu bisa menemukan ibunya
jelang pagi, dan agar kami terbang bersama
kupu-kupu di luar mimpi, sebab mimpi
sangat sempit di depan pintu kami.” mereka masih kecil,
bermain, dan mengarang cerita tentang mawar
merah di bawah salju, di balik dua cerita
panjang tentang kepahlawanan dan penderitaan, dan mereka lari
bersama malaikat menuju langit yang cerah.
IA TENANG, AKU PUN SAMA
ia tenang, aku pun sama
ia minum teh lemon,
aku minum kopi,
itulah yang membedakan kami
ia mengenakan, sama sepertiku, kemeja longgar bergaris
dan aku membaca, sama sepertinya, koran sore.
ia tak melihatku saat kutatap diam-diam,
aku tak melihatnya saat ia menatap diam-diam,
ia tenang, aku pun sama.
ia minta sesuatu pada pelayan,
aku juga minta sesuatu pada pelayan.
seekor kucing hitam lewat di antara kami,
aku mengelus bulu pekatnya,
ia juga mengelus bulu pekatnya.
aku tak berkata padanya: hari ini langit cerah
tampak lebih biru.
ia juga tak berkata padaku: hari ini langit cerah.
ia kutatap dan menatapku,
aku ditatapnya dan menatapnya.
aku gerakkan kaki kiriku,
ia gerakkan kaki kanannya.
aku gumamkan sebuah lagu,
ia gumamkan lagu yang sama.
aku berpikir: apakah ia cermin yang
pada dirinya kulihat diriku?
aku melihat kedua matanya,
tapi aku tak melihatnya
aku bergegas tinggalkan kedai kopi
dan berpikir: barangkali ia pembunuh atau barangkali,
ia lewat dan mengira aku pembunuh
ia ketakutan, aku pun sama!
Tentang terjemahan
Puisi-puisi di atas diterjemahkan dari bahasa Arab dan dari berbagai buku Mahmoud Darwish. “Rita dan Senapan” (Rītā wa al-Bunduqiyyah) diambil dari buku Ākhir al-Lail (1967); “Tak Kurang dan Tak Lebih” (Lā Aqall wa Lā Aktsar) diambil dari buku Sarīr al-Gharībah (1999); “Untuk Negeri Kami” (Libilādinā), “Dan Kami Miliki Sebuah Negeri” (Wa Lanā Bilād), “Di al-Quds” (fī al-Quds), “Mereka Dibunuh dan Tak Dikenal” (Qatlā wa Majhūlūn), dan “Ia Tenang, Aku pun Sama” (Huwa Hādi’, wa Anā Kadzālik) diambil dari buku Lā Ta’tadzir ‘ammā Fa’alta (2004).
Tentang penyair
Mahmoud Darwish merupakan salah seorang penyair Palestina dan Arab yang paling terkemuka, dikenal sebagai salah satu sastrawan muqāwamah (perlawanan) dan karyanya sangat kental dengan isu-isu Palestina. Beberapa kritikus bahkan menyebutnya sebagai Syā’ir al-Jurh al-Filisthīnī (Penyair Luka Palestina). Ia menerbitkan lebih dari 30 buku puisi dan prosa. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa. Ia meninggal di Amerika Serikat setelah menjalani operasi jantung dan dimakamkan di Ramallah, Tepi Barat.