Puisi-Puisi Latifa Isma Fadila
bualan runyam
duduk, diam, dan dengar
bagaimana daun bicara lewat gesekan
bagaimana udara menyapa rongga tubuh kita
seperti anak-anak di taman bermain
meluncur turun, menjadi perosotan
duduk, diam, dan perhatikan
bagaimana bumi berputar penuh sabar
dengan matahari yang berkobar
di pusat hamparan hitam
hening, diam, maka akan ditemukan
runyam hanya bualan
filter di mata
buka mata,
dunia itu, untuk dilihat
biru, laut
merah, darah
hijau, subur
hingga terunduh satu filter di mata
biru, merah, hijau
dirantai kesesakan
semu, abu, sendu
di mata
kelimpungan
hampa tanpa laut
sedih tanpa subur
kering tanpa darah
mata memberitahu kepala
dunia sudah tidak punya apa-apa
bunga
berayun-ayun
naik, naik, mencabik langit
berkembang seperti bunga
dengan mahkota dan serbuknya
jelas akan layu
terlupakan, semu
namun, bukankah langit adalah yang terbaik?
rata dengan kering kematian yang nyaring
memang tumbuh dan naik
untuk menuju yang terbaik
sementara, tidak selamanya
karena kita adalah bunga
benang kusut
ada benang di atas ubun-ubunmu
tak pernah disentuh kecup hangat
tapi untung, kamu dikasihi matahari
mata menerawang, jeli, tajam
kemudian, menemukan bayangan hitam
di bawah piring, di atas lemari, di atas mobil-mobil mewah,
terkadang di sela-sela jari
hitam, menjadi lebih menyeramkan
mengikutimu, dari sudut kasur ke sisi-sisi yang lain
makin kusut, benang di atas ubun-ubunmu
sebab selalu diburu sang gelap gulita yang gemar tertawa