Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Boy Riza Utama

Lokomotif C3322, Pakan Baroe Death Railway

Tenang dalam angin
Sebuah lokomotif di Simpang Tiga
Berdiri memarkir waktu

Sedang aku menunggu
Muntahan mayat romusha
Dari tubuhnya

Mur di sisinya,
Sebagaimana nadi di pergelangan
Tanganku, telah dikendurkan

Agar ia tak pergi lagi
Dan aku tetap di sini

Sebab aku ingin menyaksikan
Cambuk-cambuk berduri menyiksa
Para kuli dari Jawa

Sementara para tuan itu berjaga
Di batas perasaan seorang
Jagal sekaligus ayah

Dari sebuah negeri penuh manusia
Yang derak tulangnya
Berserakan di telingaku

Sebab aku ingin menemukan
Sebuah kavaleri penghabisan
Dari abad yang menggelisahkan

Membawa bangsa kuning
Mengibarkan panji tengkorak mereka
Di antara kerumunan orang-orang
Yang sedang dibuai kata “merdeka”

Sebab aku sudah kelelahan
Mendengar semua suara seragam
Seperti salvo di tengah makam

Hingga kucukupkan ziarahku:
Kini aku ingin tenang dalam angin
Seperti lokomotif di Simpang Tiga
Yang berdiri memarkir waktu
Dan menandai peristiwa

Sementara dari tubuhku
Orang-orang akan menemukan
Seribu mayat romusha

Dari zaman baru yang
Juga membelenggu jiwa

 

Kartografi si Pelancong Porto

Antonio menuangkan ingatannya
Ke dalam sebuah kertas kartografi
Saat masa silam mengetuk kawat telegram
Dan sebuah pesan tiba bernada geram

“Lukislah wajah Malaka, Calcutta, dan Banda,
Tapi sisipkan satu garis panjang membayang
Buat mencoreng sultan dan raja punya muka!”

Antonio telah menggurat sebuah bufferstaat
Sembari mengenang para inong dan agam
Yang menghadiahkannya sirih dan rencong
Saat tahu ada yang tak akan bisa ia catat

“Duka ini tak terhukum oleh teori spasial sebab
Ia bukan tentang ruang; ia soal sedih yang kekal”
Di sini, ia dan Marie dari Rotterdam: vakansi
Ke Lhoknga telah dirampungkan, soal perang
Juga purna diperbincangkan, dan idiom lokal yang
Sulit dimengerti sudah disalin ke dalam bahasa resmi

Selagi Antonio menuangkan ingatan itu
Ke dalam sebuah kertas kartografi, bumi
Berhenti berotasi: sebuah garis panjang
Kini, membayang, menggores jiwa dan hati

 

Sabuk Gempa Pasifik

Sebelum akhirnya menjadi kerani kota praja
Moyangnya tahu jika pulau ini dalam bahaya
— Betapa amis bau penjajahan sebagaimana
Pekat bau belerang menyumbat pernapasan

“Tiap gempa lewat, menghambur dawat pena
Bagai gemercik air saat paus bunting itu
Berjuang menyumbulkan sintal tubuhnya”

Tapi puluhan tahun kemudian, seorang cucu
Telah memilih hidup sebagai tutor perjalanan
Dan sering snorkling di sini dengan mata terpejam
Menduga nun di bawah sana terekam jerit meriam

“Turis-turis impor tahu: mana peninggalan sejarah,
Eksotisme kehidupan bawah laut, dan Timur Abadi”

Cucu itu pernah mengenang: leluhurnya yang lain
Berada di atas sebuah kapal, menjahit perundingan
Mendesakkan persekutuan dan menarik garis
Demarkasi antara pemberontak dan pahlawan

Namun, selagi gempa lewat pada detik berikutnya
Ia kenangkan pilihannya: bukan kerani dan lainnya,
Tapi masih mencium amis penjajahan, bagai bau belerang
Menyumbat pernapasan—panorama sebuah kehilangan

Di antara jerit meriam
Dari masa silam
Dengan mata terpejam

 

Di Pecinan Selatan

1
Berkitar sejenak di pecinan selatan
Kumasuki lorong masa silammu—
Dehaman Baba, darah di setangan
Membatalkan sorongan bibirku

Aku kini merayap ke dalam lipatan waktu
: Lambaianmu mengosongkan harapanku
Saat kapalmu bertolak, bandar menghitam
Sementara hari berserah ke pelukan malam

“Mana mungkin ada syak
Pada gulungan ombak
Meski darah bergolak
Bila kau sepi di geladak!”

Tepat ketika kugaungkan suara itu
Kesedihan mulai meracuni darahku

2
Lampion merah darah
Bulan di langit, rendah
Di pecinan selatan, selalu
Imlek membuatku tersedu

Kini kutembus dinding usiamu
: Masa kanak yang penuh jerebu
Bau hangus dari toko ayah-ibu
“Sembilan delapan itu, sendu …”

“Akan kucari makam Baba, Niu
Kuciumi nisannya, menghidu
Harum kegembiraan kita yang
Meriap saat rembang petang”

Persis saat kuungkapkan niat itu
Hujan tiba menyapu bayanganmu

 

Tentang Seekor Harimau
yang Terus Mengasah Kukunya
di Dalam Perutku
– buat Atikah

Kupelihara taring dan kuku keperakan ini untukmu
Sebelum namamu mengelupas-hilang dari silsilahku

“Aku pun sudah kebal akan segala sergapan
Sebab nyala hidup melindap dalam kefanaan”

Kubiarkan misai memanjang dan mata membiru
Sebab aumku sudah menggetarkan nyali pemburu

“Tapi jangan panggil aku Engku Datuk leluhurmu
Meski diri ini juga bukan titisan maung Sang Prabu”

Beritakanlah kehadiranku kepada mereka yang masih punya telinga
Sebab besok atau di lain pagi akan kusongsong semua daging di dunia

“Namun, ampunilah sekutuku: para manusia yang tak pernah curang
Menarik sempadan antara Kerajaan Rimba dan tanah buat peladang”

Sebab kelak kau bakal tahu: pokok-kayu hutan di Sumatra
Sudah lama ditebas orang dan aku kehilangan tanda

“Tiada lagi bekas cakar, penuntun para perimba pulang ke rumahnya sendiri
Sementara taring kami terus dikerat orang kota buat jimat dan mainan kunci”

Di Kerinci, Agam, Indragiri, dan wilayah lain nan berdarah
Kulit kami dijarah bagai menoreh lumut penungkus rumah

“Maka kubilang, terkamlah segala yang datang
Dan berhentilah sembunyi sebagai perlambang”

Post tags:

Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru. Puisinya tayang di sejumlah media, antara lain, Kompas dan Koran Tempo.

You don't have permission to register