Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Bardjan

fritz (1)

perpisahan kali ini biasa saja:
botol sampo-sabun cair-sikat gigi
berpamitan dari rak dinding kamar mandi
pohon jambu menangis semalaman
aku menyeka air matanya
radio berhenti
menyanyikan album favorit kita

selamat pagi! kusapa lukaluka
yang ditinggalkan di keranjang cucian. sarapan apa
arloji kejam yang membasmi ingatan?
fritz, bau tubuhmu masih memuncratkan pelurupeluru
ke ambang kekalah-hancuranku. tepat di dahinya.
desember dan kalender basah / lagulagu amarah /
aku hampir menyerah / puisipuisi pecah /
botol wiski gelisah / gincu merah darah /
terserah waktu, terserah!

 

 

fritz (2)

tampan sekali
baju yang kaukenakan
pada kencan sore itu, fritz

mohon kenakan juga
waktu datang
ke pemakamanku

 

 

fritz (4)

perpisahan siapa yang diputar
di bioskop malam ini, fritz?
sebuah film asing tanpa subtitle
premisnya amat murahan
dua tokoh utama tak bernama
di kota kecil membosankan
(mungkin kita)
saling berduka
(mungkin kita)
saling bercinta
(mungkin kita)
saling membinasa
saling terbiasa
(mungkin kita)
tak punya pilihan
untuk hidup bersama
(mungkin kita)
lalu meninggal dunia
(mungkin kita)

penonton berurai air mata
padahal tak mengerti apaapa

 

 

fritz (6)

hari keseratus enam puluh delapan. fritz belum pulang
kios obat di seberang lamunan
memamerkan vialvial penenang. satu kuteguk
sebelum ia jadi kolesterol di tengkuk.
insomnia yang mencatat spandukspanduk politik.
esok adalah hari baik. tapi adakah masa depan
untuk kita? jika iya, apa warnanya?
asbak warung kopi mengoleksi memori
dari pertemuan kita terakhir–neon sign
menubruk mata yang sunyi. mudamuda berlari
dalam frame per second yang lamban. blur meleleh
pada mukamuka tampan. seperti film auteur hong kong
yang kutonton sekali sebulan.

jam dua kioskios tutup; mesinmesin karaoke
tak lagi bernyanyi lagu favorit kita.
taksitaksi menjemput impian masa muda
pulang ke rumah–masihkah ada rumah untuk kita?
jika iya, apa warnanya?
malam rabu sebelas derajat celsius
aku alergi dingin. sinus buruk mencocok pucuk mimpi.
gemetar dada menafsirkan benzodiazepine
jadi stasiun penghantar duka.
kueja seperti mereguk dokterdokter jiwa.

fritz fritz fritz
kembalilah fritz! f r i t z
kuarsipkan namamu
di dalam sini (menunjuk payudara)
a b a d i

 

 

fritz (7)

ada kejadian alam pada jendela yang terkunci rapat. pada
bantal yang sarungnya dicuci. pada wastafel dan piring kotor.
pada desing laju mrt yang menembus dinding kamar. pada
alarm yang menghunus kuping tapi tak pernah
membangunkanmu. pada kantong kresek bekas grabfood.
pada rol film yang membakar diri di bawah
sinar matahari (seperti kenangan). pada karakter fiksi
di rak bukumu. pada musim panas di setiap sentuhan. pada
silsilah duka di setiap kecupan. fritz oh fritz. mengapa
tak kunjung pulang? alasannya sama seperti mengapa kita
tak bisa memukul di dalam mimpi. mengapa borok gatal
sebelum pulih. mengapa kucingkucing jalanan mencuri ikan.
selalu dan selalu ada kejadian alam di setiap perpisahan.

KOMENTAR

Lahir di Bogor, Januari 1994. Bekerja sebagai penulis dan editor artikel media daring di Jakarta. Ibu Kota Air/Mata (Langgam Pustaka, 2022) adalah buku kumpulan puisi pertamanya.

You don't have permission to register