Fb. In. Tw.

Penulis yang Berani Membuka Aibnya Sendiri

Sebelum menuju IFI (Institute Francais Indonesia) Bandung untuk menghelat diskusi buku yang diinisiasi oleh Gotong Royong Literasi (diisi oleh komunitas, penerbit, dan media independen), saya sempatkan untuk pergi ke stasiun Bandung terlebih dulu. Di sana, telah menunggu seorang perempuan yang rencananya akan menjadi pembicara di acara bedah buku kumpulan cerpen Perempuan Berkepang Kenangan karya Sinta Ridwan pada jumat, 16 Februari 2018. Perempuan yang saya maksud adalah Syahar Banu, salah satu aktivis Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi).

Syahar Banu merupakan pembicara pengganti dari pembicara pertama, Berto Tukan. Berto tidak dapat hadir karena tidak mendapatkan tiket keberangkatan dari Jakarta. Saya sampai di gerbang stasiun pukul 14.30, tidak lama kemudian Banu pun muncul dari arah dalam Stasiun Kereta Api Bandung. Pakaiannya berwarna merah, kerudung dan sepatu kulit berwarna cokelat. Ia menjinjing sebuah ransel hitam. Saya dan Banu memperkenalkan diri dengan sedikit rikuh sebelum kami berdua melaju menuju IFI.

Jarak dari stasiun Bandung ke IFI tidaklah terlalu jauh, sekitar 3,1 km. Tepat pukul tiga sore, kami telah sampai. Di sana, orang-orang berkerumun cukup ramai: ada yang sedang berbincang-bincang sambil menikmati secangkir kopi di kafe, sepasang muda mudi yang serius memilah-milah buku di lapakan buku yang tersedia seperti lapak buku Ultimus, Toco, Bukubuku, Ratu Kerang Book, Lawang Buku, dan sebagainya. Ada juga yang hanya termangu di pelataran perpustakaan IFI sembari merokok atau melahap makanan yang dibawa oleh Sinta Ridwan sebagai oleh-oleh, seperti kue pukis, tape ketan putih, dan kerupuk kulit kerbau.

Sinta Ridwan, yang sudah berada di sana lebih dulu, langsung berjalan menghampiri saya dan Banu. Tak lama kemudian, kegiatan bedah buku dimulai. Para peserta diskusi pun langsung bergegas memasuki ruang auditorium IFI.

Acara dibuka oleh salah satu band folk asal Bandung, Bob anwar. Meski hanya dua lagu yang dimainkan oleh Bob Anwar, tapi berhasil membuat hadirin tenggelam dalam alunan musik instrumental-folk sore itu. Rencananya, lagu-lagu lain akan dimainkan oleh Bob Anwar di penghujung acara sebagai penutup kegiatan bedah buku. Setelah itu Syarif Maulana, sebagai moderator, memandu acara diskusi.

Pertama-tama, Banu menjelaskan, bahwa JK. Rowling terlalu banyak memasukan karakter sendiri dan teman-temannya dalam cerita Hary Poter, demikian pula halnya dengan kumcer (kumpulan cerpen) Perempuan Berkepang Kenangan. Banyak tokoh yang dihadirkan di dalam buku yang diterbitkan Ultimus, 2017 ini, adalah tokoh-tokoh perempuan. Namun, menurut Banu, perempuan-perempuan yang dihadirkan dalam kumcer tersebut, bukanlah perempuan yang digambarkan dengan paras cantik—jika ada, itupun ditujukan untuk menggambarkan keindahan alam. Perempuan yang ada di dalamnya adalah perempuan yang mandiri dan cerdas, yang jauh dari deskripsi diskriminatif terhadap perempuan. Dalam hal ini, Sinta tidak terjebak pada repetisi ala sastrawangi yang hanya menampilkan ‘tubuh’ perempuan sebagai narasi utama dalam karya-karyanya.

Ada sepuluh cerpen dalam buku kumcer Perempuan Berkepang Kenangan. Kesepuluh cerpen itu, sebagian besar menjelajahi masa lalu secara lebih jauh. Muatan masa lalu yang kuat di dalam cerita-cerita Sinta, menurut Banu, hampir secara keseluruhan merupakan masa lalu dari penulisnya. Banu pun menjelaskan bahwa pengarang kumcer Perempuan Berkepang Kenangan, memiliki latar belakang sebagai filolog dan pengidap lupus, dengan banyak perjalanan seperti ke Perancis dan Belanda. Maka, tak heran saat kita membaca kumcer Perempuan Berkepang Kenangan, kita diajak Sinta Ridwan untuk bertamasya ke berbagai wilayah dari mulai Cirebon hingga ke Paris.

Menurut Banu, saat kita membaca kisah yang bercerita tentang Eropa seperti Paris dan Leiden, Sinta Ridwan tidak terjebak pada kekaguman yang berlebihan terhadap kota-kota di dua negara tersebut. Bahkan, ada kegetiran dalam keindahan di kota-kota yang penulis kunjungi. Inilah yang membedakan Sinta dengan penulis yang masih terperangkap pada kekaguman yang berlebihan saat melancong ke kota-kota di Eropa atau Amerika. Menurut Banu, kumcer ini bukan hanya sekadar catatan perjalanan yang kemudian dikemas menjadi fiksi, melainkan sebuah perjalanan spiritual penulisnya. Saat membaca kumcer Sinta, kita tidak hanya mendapatkan informasi tentang keindahan sebuah kota atau alam saja, tapi juga sebuah pengetahuan, khususnya sejarah dan kegetiran hidup seorang perempuan.

Setelah Banu selesai menjelaskan isi dalam kumcer Perempuan Berkepang Kenangan, diskusi pun memasuki sesi tanya jawab. Syarif Maulana, memantik diskusi terlebih dahulu dengan bertanya kepada pembicara.

“Sejak awal, Banu mencampur adukan analisis atas kumcer ini dengan kehidupan pribadi penulis. Padahal, bisa jadi saat penulis menuliskan cerita ini, penulis tidak ingin mengaitkan tokoh dengan pengalamannya. Persoalannya, bagaimana jika Banu tidak mengenal Sinta? Adakah hal yang objektif?” Tanya Syarif.

Banu kemudian menjawab dan menjelaskan bahwa kita tidak bisa mengatakan ada pandangan yang objektif atau subjektif. Pada akhirnya, semua akan bermuara pada pandangan subjektif: bagaimana kita memandang sesuatu, alat analisis yang digunakan, semuanya kita yang tentukan, dan itu sah saja.

“Dalam menganalisis karya seseorang tidak bisa melepaskan pengarang dari karyanya. Kita akan membaca biografinya untuk mengetahui lebih dalam karyanya itu. Riset tentang pengarang itu penting, maka saya cenderung menjadikan kedekatan saya untuk menyelami karya Sinta, dan itu terbukti dalam cerpen-cerpennya. Sinta Ridwan adalah penulis yang berani membuka aibnya sendiri, masa lalunya yang getir. Ia merupakan penulis yang jujur.” tutur Banu dengan antusias.

Setelah diskusi yang panjang dan alot antara peserta dengan pembicara, acara diskusi diselingi dengan pembacaan pesan whatsapp dari Berto Tukan sebagai tanggapan untuk kumcer Sinta. Syarif Maulana, membacakan pesan Berto tersebut. Menurut Berto, kumcer Sinta cenderung banyak menggunakan sudut pandang orang pertama, bertebaran tokoh-tokoh yang hampir mempunyai karakter yang sama. Tidak ada perbedaan yang spesifik di antara tokoh-tokoh tersebut. Ini tantangan untuk Sinta ke depannya. Selain itu, cerpen Sinta ditulis dengan latar Eropa, tapi ia tidak terjebak pada kekaguman budaya Eropa. Pertanyaannya, seberapa kuat kaitan penulis dengan budaya Indonesianya?

Di akhir acara, Sinta berbagi perihal proses kreatif saat menulis cerita-cerita yang ada dalam kumcer Perempuan Berkepang Kenangan. Ia menjelaskan, “Kebanyakan dalam cerita ini memang lahir dari pengalaman-pengalaman saya pribadi. Karena saya adalah seseorang yang fokus pada bidang filologi, maka saya ingin menceritakan kembali apa yang saya lihat dan alami seperti halnya filolog.”

Sinta melanjutkan, “Dalam filologi tidak ada istilah untuk ‘menghakimi’ sesuatu. Filolog hanya bekerja dengan naskah, melihat teks, mengoreksi kata atau kalimat yang rusak, kemudian menceritakannya kembali. Seperti itulah awalnya saya menulis cerita-cerita yang ada dalam kumcer ini. Akan tetapi, dalam menuliskannya, saya tidak ingin hanya menceritakan kembali fakta-fakta yang ada, maka dari itu saya memilih fiksi.”

Kemudian, acara ditutup oleh penampilan Paraudara dan Bob Anwar. Masing-masing menyuguhkan suatu penutupan yang manis di sore itu.[]

Redaktur Apresiasi Buruan.co. Giat belajar di Lingkar Studi Filsafat (LSF) Nahdliyyin.

You don't have permission to register