Fb. In. Tw.

Nenekku Bukan yang Tertua

Nenekku dianggap paling tua di kampung. Namun ia menolak. Ia seringkali menolak dengan marah-marah. Katanya: “Kakakku yang tertua!” Ketika para warga mengungkapkan apa yang mereka yakini bahwa kakak nenekku telah mati, ia akan mencak-mencak dan berteriak keras: “Dia masih hidup!”

Nenekku mengaku sering memimpikan kakaknya. Mimpinya macam-macam. Paling sering ia bermimpi kakaknya tengah berada di atas sebuah kapal, di tengah lautan luas. Ketika televisi hadir di rumahnya, setiap hari ia akan menyaksikan tayangan berita lalu ketika bertemu dengan siapa pun, ia akan menyampaikan berita-berita itu.    

Ndak ada berita tentang dia,” katanya. “Dia hidup di mana mungkin.”

Nenekku sering dianggap gila. Suatu malam ia bermimpi kakaknya berdiri di jebak rumah. Tubuh kakaknya kurus, tidak menggunakan baju. Wajahnya tampak meringis kesakitan. Kakaknya berdiri saja di tempat itu dan dalam mimpi itu nenekku melihat keluar dari lubang dinding rumahnya. Adalah seekor anjing yang pertama kali melolong panjang dan membuatnya  cepat-cepat mengintip dari lubang dinding itu. Melihat kakaknya, cepat ia berlari keluar dan tersandung palang pintu. Ia terjatuh—dalam mimpi itu. Aslinya ia terbangun. Berkeringat dan gemetar. Nenekku teringat pada masa-masa masih bersama kakaknya. Ingatan yang membuatnya menangis. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara. Hanya air mata keluar dan menuruni pipi keriputnya. Di luar, anjing benar-benar melolong, menyayat-nyayat. 

Cukup lama baru ia bisa tertidur lagi. Seekor anjing dari kejauhan membalas lolongan anjing miliknya. Lolongan berbalas-balasan anjing itu seperti tengah berusaha saling bertukar cerita. Nenekku mendongak, memandang atap rumah. Jari-jari tangannya berjalinan di atas perutnya. Angin yang menyelusup dari lubang-lubang dinding membuatnya kedinginan. Lolongan anjing itu masih lama terdengar setelah nenekku tertidur. Matanya terpejam dalam.    

Besok paginya ia terbangun pagi sekali. Pertama yang ia lakukan adalah menyapu halaman rumah. Ia tidak hanya menyapu dedaunan tetapi juga pasir-pasir yang memenuhi permukaan tanah yang keras itu hingga halamannya menjadi tampak licin. Panci-panci kotor yang tergantung di dinding rumah ia cuci hingga mengilap. Termos yang jarang terisi ia isi penuh dengan air panas. Toples gula dan kopi dibersihkan sampai kopi-kopi yang mengeras di bagian dalam toples habis tak tersisa. Beberapa jejak tahi ayam di lasah berugak ia siram dan gosok dengan potongan serabut kelapa. Terakhir, ia memasak makanan kesukaan kakaknya: tumis kangkung dan ikan kuning telinga digoreng kering tanpa sambal.   

Ia yakin kakaknya akan pulang. Mimpi itu adalah pertanda. Dan ia yakin kakaknya akan pulang dalam keadaan lapar. “Apa dia susahin, ya?” tanyanya pada diri sendiri. Ia tahu mimpi orang tidak memakai baju berarti orang tersebut sedang kesusahan. Ia menerima pengetahuan itu dari orang tuanya.     

“Jangan susahin tempat tinggal,” katanya seolah kakaknya yang telah bertahun-tahun tak bersamanya telah duduk di sampingnya. 

Suaranya terdengar disertai desisan karena gigi-giginya kebanyakan tanggal. “Masih saya sanggup ngunyah dendeng goreng,” katanya kepada seseorang yang meragukan giginya yang tersisa. “Kalian masih muda tapi rematik,” katanya lagi mencemooh balik. 

Lalu ia bercerita tentang pengalamannya mengikuti ibunya ke hutan mencari gadung. Dulu tak banyak beras. Sangat mewah bisa makan nasi semacam itu. Setiap hari mereka akan pergi ke hutan mencari aneka macam umbi-umbian. Paling sering mencari gadung. Dan nenekku bersama kakaknya sering mengikuti ibunya memetik dan mengolah gadung sampai bisa menjadi makanan. 

“Kakak saya dulu suka sekali nasi gadung,” katanya. “Sekarang yang kita makan racun semua,” katanya masih terus mencemooh.  

Ia selalu yakin orang dulu lebih sehat dan bisa hidup lebih lama daripada orang sekarang. Ia mengingat bagaimana makanannya begitu alami dan apabila melihat anak-anak sekarang—cucu-cicitnya—memakan aneka makanan instan, ia akan memberikan ceramah panjang dan meminta kami lebih menyayangi hidup.  

“Sekarang nasi gini dulu besok saya carikan gadung,” katanya meliat makanan yang tersedia di berugak. Ia duduk di salah satu sudut berugak memandangi makanan yang tertata rapi. Kangkung tumis di cawan putih, sebakul nasi yang masih mengeluarkan uap, ikan kuning telinga goreng yang menumpuk di atas sebuah piring terbaik yang nenekku miliki. Piring yang hanya keluar ketika hari lebaran dan apabila ada acara besar seperti nikahan. 

Akan tetapi, ketika siang tiba dan tidak ada siapa-siapa yang datang, ia mulai berjalan mondar-mandir. Ia tidak bungkuk. Masih kuat. Bibi-bibiku lama-lama kasihan juga melihatnya dan mulai membujuknya untuk berhenti menunggu. “Makan dah epe,” kata salah seorang bibiku. Nenekku tidak mau. Lalat-lalat terbang dan semakin banyak. Meskipun telah dibuat kesal, bibiku tetap membantu dengan menutupi makanan itu. Sampai sore hari pun tetap tak ada yang datang. Malam hari, kami, para cucunya, menghabiskan makanan itu.   

Selama kami makan di berugak, nenekku berdiri di halaman dan memandang ke utara, di tempat jebak berada. Tanpa diberitahu kami tahu ia tengah mengingat suatu pagi ketika kakaknya pergi, keluar dari jebak itu, meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru. Siang hingga sore kakaknya tidak juga kunjung kembali. Malam hari suara ribut terdengar dari arah utara. Dari perkampungan para warga yang lebih padat. Salah seorang warga datang ke rumahnya dan memberitahukan terjadi penangkapan di jembatan.  

Malam itu kakak nenekku tidak pulang. cerita-cerita dengan cepat beredar. Orang-orang ditangkap dilarikan ke laut. Dililitkan batu di leher mereka dan dilemparkan sampai tenggelam. Ibu nenekku meratap kepada langit memberitahu suaminya apa yang terjadi. Nenekku menangis sejadi-jadinya. Beberapa hari setelahnya ketika keadaan membaik pencarian pun mereka lakukan bersama keluarga besar Nenek. Namun, tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan kakaknya. 

Kakak nenekku dipercaya telah mati. Dibunuh.

Angin segar berhembus suatu hari dan bertahan sangat lama bahkan sampai hari ini di hati Nenek. Seorang yang baru pulang dari perantauan mengaku melihat seorang laki-laki di kapal, sangat mirip dengan kakaknya. Warga itu memanggilnya tetapi kakak nenekku lebih dulu menghilang. “Noh, dia masih hidup!” teriak Nenekku, dan seperti ketika kakaknya menghilang, air mata kembali merayapi pipinya.  

Melihat kami makan masakannya dengan lahap ia berkata, “Sisakan sedikit siapa tahu sebentar lagi dia sampai!” Kami tidak menghabiskan masakan itu seperti yang ia minta tetapi hingga larut malam tidak ada seorang pun yang muncul.  

Setelah kami semua telah berada di tempat tidur, dari kamar tidurnya terdengar ratapan-ratapan. “Apa kamu tunggu lagi pulang dah,” katanya. “Bahagia sekali kamu di sana.” 

Suaranya terdengar jelas. Sangat jelas. Beberapa suara terdengar memintanya tidur tetapi ia tidak menggubris. Ia tetap melanjutkan ratapan-ratapan dan kisah-kisah lama ketika kakaknya masih berada di dekatnya. Setelah ibunya meninggal ia adalah orang tertua di keluarga kami. Tidak ada lagi yang setua dirinya. Namun, ia yakin bukan dirinya yang paling tua. Kakaknyalah yang paling tua. 

“Nanti kalau dia pulang kaget kalian. Ganteng sekali dia. Tinggi besar,” katanya suatu hari. Lalu ia menceritakan bagaimana kakaknya sangat pintar dan berpikiran maju. Kakaknya adalah guru pertama di kampung kami. Banyak yang menawarinya pekerjaan yang lebih menghasilkan tetapi kakaknya memilih menjadi guru. Seseorang yang begitu menyukainya mencatat namanya dalam sebuah perkumpulan dan akan mendapatkan kesempatan kuliah di negeri yang sangat jauh, tempat segala sesuatunya telah begitu maju. Kakaknya nenek begitu senang dengan tawaran itu dan ia langsung menyetujuinya.  

“Gara-gara namanya ada di situ dia dikira ikut Pe-ka-i” kata Nenek. 

Lalu ia mengumpat berbagai kekejaman yang telah dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya dikenal baik oleh nenekku. Orang-orang itu membunuh teman mereka sendiri.

 “Banyak sekali orang diseret dan dipenggal, siang ini dia teman kamu makan, nanti malam dia yang bunuh kamu,” kenang Nenek. 

 

Catatan kaki:
Jebak : Gerbang rumah

Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB.

You don't have permission to register