Fb. In. Tw.

Menjangkau Ketumpuran Hidup Rifki

Dalam hidup, ada fase di mana saya merasa letih hingga sulit sekali menjangkau apa saja yang bisa dirasakan. Tahun-tahun belakangan ini, saya tenggelam dalam pekerjaan dan merasa terasing dengan sekitar. Mengobatinya, berbagai medium seperti, musik, film, dan ragam jenis buku termasuk puisi menjadi teman sehari-hari. Kadang kala ia memunggungimu, tetapi ada kalanya ia menjadi teman yang mempertegas dan mengaminkan keadaanmu.

Ketika saya membaca buku puisi Rifki Syarani Fachry berjudul (Penerbit Trubadur, 2022), puisi-puisinya seakan menuntun saya memetakan perasaan-perasaan letih, kesunyian, keterasingan, putus asa bahkan ketiadaan. Barangkali itulah perasaan saya beberapa tahun belakangan.

Puisi-puisi Rifki tampaknya mengambil posisi bahwa dinamika sosial tidak hanya soal hubungan antar individu saja, melainkan hubungan individu dengan dirinya sendiri. Rifki bergelut secara radikal menghadapi dirinya sendiri di kehidupan sehari-hari. Hal itu tampak pada salah satu puisi yang ditulis, aku telah jadi bagian dari sunyi/ dan waktu berhenti menghitungku/ jauh sebelum segalanya lebih dulu kuhentikan// kehidupan telah mengubur mayatku/ di dalam remuk yang peluk/ di kenihilan yang sibuk.// (Remuk, hlm.25).

Penyair yang menggunakan perangkat kehidupan bermasyarakat sebagai pijakannya, seperti bubungan dirinya dengan orang lain, dengan kota atau daerah tertentu, memiliki risiko sangat sulit terhubung dengan pembacanya. Hal itu berbeda ketika Rifki menitikberatkan puisinya pada individualisme dan mengarah pada dirinya sebagai aku untuk menjelaskan hidup yang haru-biru hingga ke ranah nihilisme.

Ia mencoba menggugat keberadaan dirinya sendiri sekaligus berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia secara liris menjelaskan kondisi tubuhnya yang hancur dan “rubuh satu demi satu”. Perasaan remuk berkepanjangan dan tak henti ini disebabkan karena manusia hidup tapi terasing dari kehidupan atau dirinya sendiri.

Masih dengan nada yang sama, Rifki mendeskripsikan dirinya lewat tiga puisi berjudul Aku /1 (hlm. 23), Aku /2 (hlm. 30), dan Aku /3 (hlm. 34). Ketika Chairil Anwar dengan puisi “Aku” miliknya bertumpu pada individualisme guna menjelaskan betapa dirinya hanyalah bagian dari yang terbuang namun bersikukuh menghadapi kehidupan dengan sangat jelas, Rifki pada “Aku /1”, dengan perasaan getir memaparkan kematian yang batasnya amat samar dengan kehidupan.

Dalam peti mati yang disebut diri sendiri
kukubur batu di jantungku
dengan nama orang lain.

Kutinggalkan badut di dalam diriku
lalu kubiarkan lima ribu nietszche
menihilkan hidupnya
seperti ada dan hari-harinya adalah mati

Kulepaskan bayanganku
kubiarkan gelap yang bernafas itu
membungkus orang-orang mati di tubuhku.

Sementara pasca wabah bunuh diri
pikiran tak dikenal merangkaki punggungku
menggali makam sisifus di tebing murung.

Pikiran itu bertanya kepada tulang-tulang
harus mati di mana aku? –diri
sejak kapan aku mati bersamamu?

Kendati penggunaan sudut pandang pertama acap kali dilakukan pada puisi-puisi di Akheiron, sebagai penyair ia membiarkan pembaca terhubung dengan puisi-puisinya. Hal itu menjadi mungkin sebab Rifki meracik larik-lariknya dengan tidak merujuk pada sesuatu yang utuh. Seperti pada bait pertama puisi “Aku /1”, sudut pandang pertama tidaklah utuh sebagai dirinya. Seakan ia sendiri mempertanyakan dirinya dan tak mengenalinya laiknya orang asing.

Ia menciptakan kondisi kenihilannya sendiri lewat penggarapan larik-larik yang tidak merujuk pada sesuatu yang hadir. Bagi Rifki, puisi beraksen kenihilan bukan menampilkan nihilisme kepada pembaca, melainkan bergerak dalam larik-larik dan bekerja menunjukkan nihilisme itu seperti apa. Interpretasi yang sangat luas dalam pembacaan puisi dimanfaatkan Rifki untuk memancing pembaca sejauh mana penghayatan pembaca terhadap puisi-puisinya sampai masing-masing pembaca memiliki pemaknaan ‘Yang Unik’ pada kondisi nihilnya masing-masing.

Hal itu bisa dilihat pada baris pertama puisi “Aku /2” ia menulis, “Aku ingin hidup di dunia tanpa diriku”. Pemaknaan pembaca tentu bisa beragam dan sangat luas hanya dengan membaca satu baris dalam puisi ini. Larik ini menjadi sorotan khusus bagi saya. Saya menikmati pembacaan ini karena menarik saya untuk mencari di mana dan ke mana sebenarnya ujung dari larik ini. Dan saya memaknainya, lagi-lagi Rifki menuntun pembaca pada kondisi nihil, kondisi yang tidak merujuk pada sesuatu yang hadir.

Metode serupa kerap dilakukan Rifki dalam buku Akheiron, sehingga ketika ia menuliskan individualisme, nihilisme, Nietszche, Cioran, sampai Orsinian-nya Ursula K. Le Guin pun dalam puisinya menjadi sesuatu yang tidak paripurna.

Kembali pada puisi “Aku /1”, Seperti yang menjadi fokus saya pada bait, Kulepaskan bayanganku/ kubiarkan gelap yang bernafas itu/ membungkus orang-orang mati di tubuhku// bagi saya ini bentuk tindakan pembangkangan individu yang hidup dalam kosmos yang menyeramkan ini. Seseorang melepaskan bayangan-bayangan peradaban hari ini dan membiarkannya kembali sebagaimana adanya sembari menyaksikan keruntuhan penguasa dengan mata kepala sendiri.

Berangkat dari sini, sebagai pembaca saya bisa melihat Rifki menciptakan dunianya sendiri di luar peradaban hari ini. Ia menegasikan hal-hal yang umumnya jelas dan utuh seperti tuhan, surga, neraka, waktu, lagi gerhana, lewat peleburan antara subjek dan objek. Lebih jelas bisa dilihat pada puisi “Akheiron” (hlm. 24) berikut ini:

Neraka ditemukan tewas tanpa kepala
di depan gerbang nyawa.
kematian dan surga memandang mayatnya
tanpa perasaan apa-apa.

Di kota Bahasa, meta puisi dan prosa,
pabrik boneka, perusahaan uang dan angka
meremukkan dirinya.

Bayangan seseorang
menjahit lubang hitam di dada murung
sebuah patung.

Dan aku
mayat terbakar yang digantung.
anarkis yang kaki dan tangannya dibuat bunting
aku dilempari batuan dan hukum
divonis kurungan penjara seribu tahun.

Bagiku
hidup adalah bangkai heina yang membusuk
di bawah hujan belatung.

Ada dua pembacaan saya pada puisi ini. Pertama, penggunaan neraka sebagai subjek di baris puisi ini adalah bentuk upaya Rifki untuk menunjukkan yang nihil atau tiada, menjadi sesuatu yang wujud meski pada kenyataannya tetap tak berwujud. Kedua, ada hal lain yang ditawarkan Rifki sebagai penyair kepada pembacanya, bahwa ia seorang anarkis yang menulis puisi dan menceritakan kondisi kehidupannya yang getir.

Rifki menjadikan puisi sebagai dunia yang dibangunnya sendiri. Puisinya bukan dunia yang hidup dalam belenggu otoritas, bahkan otoritas keberadaan lewat upaya-upayanya menihilkan dan menegasikan yang ada. Menurut saya, tahap ini sangat radikal yang berakar dari gagasan penghapusan otoritas dan mengedepankan ‘aku’ yang didemonstrasikan anarkis.

Dasar dari segala dasar anarkis adalah kebebasan terhadap dirinya sendiri dan akan kontradiktif rasanya jika individu mengorbankan kebebasan itu demi tujuan kelompok atau masyarakat. Rifki menggunakan semangat itu sebagai titik pijakan puisi-puisinya. Seperti dalam “Anon” (hlm. 21) pada salah satu lariknya berbunyi, “betapa, jauhnya anarki menempuh segala aku.” Ia melandaskan sikapnya pada anarki. Termasuk dalam “peristiwa pemberontakan telah nanah, bagi mereka yang mati karena kehendaknya sendiri” (Kemudian Ia Mati Dengan, hlm. 2).

Semangat anarkisme bukan kali pertama dilakukan penyair di Indonesia sebagai landasan untuk menulis puisi-puisinya. Menarik waktu ke belakang, misalnya Cumbu Sigil memakai semangat yang sama dalam kepenyairannya, terlepas dari perdebatan apakah Cumbu Sigil hanya penyair fiktif semata atau memang ada. Namun, persamaan semangat ini yang menjadi sorotan.

Perdebatan-perdebatan seputar mana yang lebih revolusioner antara melakukan demonstrasi turun ke jalan atau menulis puisi tidak lagi layak diperdebatkan—meski boleh saja. Hal itu dipertegas dalam pengantar buku ini oleh Reyhard Rumbayan, “Puisi, sebagai ekspresi emosional, seringkali mendahului revolusi itu sendiri. Ia melampaui kenyataan, keputusasaan bahkan ambisi peradaban.”

Dalam konsistensi negasi yang dilakukannya terhadap segala hal, bahkan terhadap dirinya sendiri, Rifki menghadirkan diksi-diksi yang tegas sebagai alat untuk memberontak realita kehidupan saat ini. Ia tak hanya menghabiskan energinya untuk melakukan pemberontakan terhadap realita saja, sebab puisinya terjaga dari apa yang ditawarkan realita sehingga pembaca dituntut membaca puisi-puisinya alih-alih memiliki perasaan “mending baca berita atau lihat langsung kalau imajinasi puisinya sama saja dengan apa yang hadir saat ini.”

Pada akhirnya, membaca puisi-puisi dalam buku ini menyadarkan saya bahwa menilik diri sendiri tak kalah penting dengan melihat bagaimana masyarakat bekerja. Sebab diri sendiri hal yang paling dekat dengan kita dan diri sendiri pula yang merasakan jika dirimu telah menjangkau satu perasaan terakhir dalam hidup: tumpur.

KOMENTAR

Menulis fiksi dan nonfiksi. Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis dan aktif mengurus kolektif maniacinema.net. Kontak via instagram/twitter @thedesperateact

You don't have permission to register