Menggali Lagi Budi Pekerti
Angin laut menyapu pelan rambut dan baju Bu Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti) yang sedang memberikan bimbingan konseling pada anak didiknya. Di tengah biru laut yang indah dan lembut, ternyata ada biru yang muram. Suami Bu Prani, Didit Wibowo (Dwi Sasono), duduk meringkuk karena sedang mengalami masalah psikologi.
Pembuka awal film Budi Pekerti cukup berhasil meyakinkan saya untuk tidak mengantuk saat menonton malam itu. Pengenalan karakter setiap anggota keluarga Bu Prani sangat asyik. Latar belakang Covid-19 juga tergambar hanya dari beberapa adegan pembuka.
Covid-19 berdampak pada kegagalan bisnis Didit yang membuatnya semakin merasa tertekan dan panik. Bu Prani sebagai guru BK berharap untuk dapat merangsek jadi Wakil Kepala Sekolah Swasta. Alasnnya tentu pragmatis: dapat tunjangan tambahan. Impian Bu Prani itu membuat tensi film semakin terasa.
Konflik bermula saat Prani ingin memberikan kue putu untuk suaminya. Kue yang manis itu justru menjadi awal cerita tragis. Prani berkonflik dengan seorang penyerobot antrean. Kemudian, rekaman saat ia marah dan penuh emosi itu tersebar luas di media sosial.
Rentetan konflik mulai menimpa keluarga Bu Prani. Konflik yang mempreteli betapa buramnya apa yang benar di dunia kita saat ini, akibat lebur dan kaburnya batas dunia nyata dan semesta maya. Simulacra! Di mana kita berpihak? Siapakah tersangka? Siapkah kita menjadi korban berikutnya?
Cancel Culture
Jari-jari netizen yang lebih lihai daripada investigator kasus curanmor, tentu terus membongkar siapa sebenarnya wanita bermasker yang sangat emosional di tempat putu Bu Rahayu. Namun, orang-orang dekat Bu Prani tentu tahu, wanita pemarah tersebut ialah Bu Prani. Kasus Ibu Pemarah-Penyerobot pun mulai mencuat, termasuk di sekolahnya. Yayasan tak mau citra tercoreng, apalagi sekolah Swasta akan macet finansialnya jika tak punya banyak siswa.
Bu Prani semakin tersudutkan di kehidupan nyata, dan di media sosial dihujani hujatan tak karuan. Arena pertarungan di jagat maya terus berlanjut. Klarifikasi dilawan klarifikasi. Klaim kebenaran dilawan klaim versi lian. Bu Prani terkena cancel culture. Seorang guru yang dianggap tak layak menjadi guru, meski didukung mantan anak didiknya.
Anak-anak Bu Prani, juga tertimpa tangga yang sama. Muklas (Angga Yunanda) yang dagang dengan jurus sebagai terapis online, dan Tita (Prilly Latuconsina) yang menjadi anak band perlawanan, mereka dikucilkan di dunia maya yang berdampak pada pengucian di dunia nyata.
Cancel culture memiliki pemaknaan berbeda dari setiap kelompok. Riset dari Pew Research Center di Amerika (2021) mengemukaan bahwa cancel culture dimaknai berbeda berdasarkan kelompok umur, dan ideologi politik konservatif/progresif, atau Republik dan Demokrat. Namun, film ini sepertinya ingin menyampaikan pesan bahwa cancel culture ialah sebuah penghakiman massa di dunia maya. Pengucilan seseorang dari berbagai lingkarannya.
Saya ingin mencoba membedah Budi Pekerti dari beberapa poin dari tulisan Alesandra Dubin di Insider (2022), “why cancel culture is so toxic…” begitu enam awal kata dari judulnya. Melalui konfirmasi dari guru besar psikologi, tulisan ini menyebut bahwa jika berada pada tangan yang salah, proses eksklusi sosial dari cancel culture justru dapat menjadi kontraproduktif. Itu hanya jadi api pembakar untuk kebencian (hate) dan penindasan (oppression).
Poin pertama yang menarik bagi saya, cancel culture justru melepaskan masalah struktural dan kolektif menjadi (hanya) tanggung jawab individu. Beban yang berat harus dipikul sendirian. Ketika Bu Prani dipersekusi di media online karena cara bimbingan konselingnya yang aneh, netizen tak mempertanyakan peningkatan kemampuan profesi dari sekolah maupun pemerintah.
Ketika Muklas terpaksa menutupi fakta soal sosok Ibunya, netizen tak mempertanyakan bahwa memang hanya dengan meraih dan menjaga sebanyak mungkin follower dan penonton, seorang influencer mendapatkan endorse dan bayaran dari jenama produk. Sementara ia tak punya upah pasti dan kesempatan kerja sektor riil makin kecil.
Film ini menyindir diri saya. Sudah sejauh mana saya memahami seseorang melakukan laku tercela karena desakan, atau karena memang kerakusan? Sejauh mana saya sudah berlaku adil dalam penghakiman jika terdapat keburukan di media sosial? Jangan seperti kamera-kamera telepon pintar tim Gaung Tinta yang siap merekam hanya karena Tita berjualan baju bekas yang dicap kapitalistik, sementara musik Tita sangat progresif.
Poin kedua, sejauh mana kita harus mengecek ulang fakta sebelum memutuskan untuk mengisolasi seseorang dan menghujatnya di media sosial? Mengutip psikolog yang memerhatikan isu dampak teknologi terhadap kesehatan mental, tulisan di Insider itu menyebutkan ada tiga hal yang dapat dilakukan: mengumpulkan fakta selengkap mungkin, menghubungi “calon tersangka” secara langsung, dan bersikap membuka kesempatan untuk mendengar dari pihak yang disalahkan.
Namun, dari film Budi Pekerti itu ingin menyampaikan bahwa ketiga hal itu cukup sulit dilakukan. Misalnya saat menggambarkan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang pendidikan yang dipimpin oleh mantan anak didik Bu Prani yang mengkonfirmasi hujatan netizen mengenai sistem konseling ngaco yang dilakukan Bu Prani kepada Gora (Omara Esteghlal). Padahal, pimpinan LSM itu tentu bisa melakukan verifikasi informasi dengan cara yang lebih partisipatoris, alih-alih jaga reputasi karena penghakiman massa di linimasa.
Cerita film Budi Pekerti menggugat saya dengan cukup tajam dan jeli dari cerita yang melekat pada keseharian saya sebagai netizen. Masalah individu, di era media sosial, terasa mustahil dilokalisir. Mengutip kenyinyiran tulisan Insider, film itu seperti menyentil: “sosial media dan kanal berita 24 jam hanya menjadi penyulut konsumsi budaya pengeksklusian (cancelitation) sebagai hiburan.” Padahal, itu dapat berdampak buruk pada dua pihak: glorifikasi kekerasan terhadap netizen yang memprsekusi dan menimbulkan ketagihan, juga terhadap pihak yang di-cancel.
Di atas itu semua, kita mungkin dapat belajar untuk menggali kembali budi pekerti kita di media sosial, soal bagaimana menilai dan memperjuangkan kebenaran. Barangkali karena ketidakmampuan itu pula, bangsa kita terpojok sebagai netizen yang tidak sopan di sebuah survey Microsoft.
Namun, saat netizen tak mengampuni seseorang karena kesalahan yang dilakukan atau mungkin “disematkan”, film ini membangun tanda tanya di kepala saya: jika saya menjadi orang terdekat Bu Prani, apakah saya dapat memaafkannya? Lalu bercengkrama sambil menyuapinya bakso kecil di kala hujan sangat deras.
Dilema Pendidikan
Bu Prani yang tangguh, kreatif, dan percaya diri dalam mendidik karakter siswanya di sekolah, ternyata terlihat gamang saat menghadapi hancurnya karakter dirinya di media sosial. Kondisi itu mungkin cukup memberikan gambaran bagaimana pendidikan kita sebenarnya juga belum terlalu siap untuk menghadapi rekonfigurasi moral di era digital.
Di sekolah-sekolah Australia, media literasi digarap secara serius dalam kurikulum di beberapa mata pelajaran (AMLA, 2022). Riset dari University of Tasmania pada 2018 juga cukup menggambarkan bahwa 77% guru di Australia merasa percaya diri bahwa mereka mampu mengajarkan siswa mereka untuk memilah mana berita yang benar dan dapat dipercaya. Meski riset dari Corser dkk. (2022) masih menggambarkan kerumitan dalam implementasiya secara jelas.
Film Budi Pekerti bisa jadi menyindir dan mempertanyakan pendidikan di Indonesia, soal tanggung jawab pemerintah, sekolah, dan guru untuk turut memperbaiki brutalitas netizen kita. Bisa jadi juga, menyinggung bagaimana “budi pekerti” yang dikonsepsikan dalam nilai pendidikan selama ini masih cukup andal di era digital.
Berikutnya, bagi saya film Budi Pekerti juga menyentil soal konsep “merdeka belajar” a la rezim hari ini. Sejauh manakah guru mampu merdeka dalam melakukan pola ajarnya? Apakah sekolah dan negara telah siap melindungi setiap cara ajar yang dilakukan oleh seorang gurunya?
Mengingat Bu Prani, saya jadi teringat Bu Timi di Smansa Cianjur. Suatu kali, saat saya akan lomba puisi, saya harus mengikuti praktikum biologi, kelasnya Bu Timi. Tapi, ketika di laboratorium, ia dengan halus berbisik: “kamu sekarang ikut dulu saja praktikum dan pengamatannya, nanti laporannya boleh ditulis dalam bentuk puisi.”
Kerapihan Produksi
Ide cerita yang memberikan pesan getir dan manis pada saya tentu tak akan terasa emosional tanpa eksekusi yang baik di ranah produksi. Saya akan memulainya dengan hal yang paling saya kagumi.
Saya menonton film ini pada 2 November, dan menulis resensi ini di tanggal 9 November. Wregas Bhanuteja berhasil membuat saya masih ingat dengan kuat beberapa adegan “teatrikal” di film-nya. Adegan metaforis yang disajikan, ceritanya dibangun dengan cukup logis, sehingga tak terlalu terasa mengada-ada. Misalkan bagaimana iring-iringan siswa yang menggunakan payung dapat menjadi simbol perlawanan sekaligus sebuah keteduhan. Ada recall antara perlakukan Bu Prani dengan yang diberlakukan pada Bu Prani.
Semua akting di keluarga Bu Prani juga sangat baik. Seperti ada sugesti yang tertanam di kepala mereka untuk memerankan karakter masing-masing dengan kuat dan konsisten. Tita dengan matanya, Muklis dengan gaya bicaranya, dan tentu Prani dengan segala kelengkapan aktingya. Cukup menyetubuh.
Soal artistik film, saya meyakini Wregas sudah membayangkannya sejak menulis skenario. Skuter listrik, lompat tali, kolam ikan, makam, dan seluruh setting-nya. Ide-ide artistik itu cukup berhasil dieksekusi oleh Dita Gambiro dengan ciamik. Mulai dari kostum warna-warni, hingga dukungan detail pada adegan-adegan detail treatikal yang saya sebutkan sebelumnya.
Akhirul resensi, saat menulis tulisan ini, sebenarnya berseliweran juga perdebatan soal film ini, terutama di platform X. Tapi saya tak ingin meresponsnya. Tulisan ini hanya ingin membagikan apa yang saya rasakan dari sebuah tontonan. Jika tulisannya tak memuaskan, mohon jangan cancel saya juga.