Fb. In. Tw.

Maca #12: Membaca Mateo dan Memahami Konsep Cinta di Dalamnya

Suara Sherlly Maulani dengan intonasi dan nada yang ekspresif mencuri perhatian sekitar 35 orang pada Sabtu Sore (11/6) itu. Mimik Sherlly juga menarik. Apalagi, apa yang ia tampilkan dalam dramatic reading ialah novel Mateo karya Mayesharieni. Novel ini sendiri dikatakan cukup “kontroversial”. Sebab, Mateo dengan cukup berani mengangkat tema seputar asmara, seksualitas, dan realitas sosial masyarakat urban.

Dua orang pembahas novel Mateo ini memiliki kapabilitas berbeda. Vina Mnlgs sebagai pelukis sekaligus bagian dalam Abandon Ink, dan Nitasya sebagai Presiden Girl Up Unpad 2020 dan aktivis kesetaraan gender. Selain kedua pembahas Mayesharieni sebagai penulis novel Mateo pun turut ada di panggung. Sambil menyimak diskusi yang dipandu Zulfa Nasrullah, peserta dapat membaca esai ‘Tubuh, Perempuan, dan Seksualitasnya’ karya Nitasya dan lukisan ‘Seperti Rumah’ karya Vina Mnlgs.

Diskusi novel ini sendiri berlangsung dalam program Maca #12, sebuah program rutin yang menginisiasi ruang apresiasi dan kolaborasi antara sastra dan seni. Kali ini Maca diselenggarakan oleh Manusa Project.

Mateo, Poliamori, dan Tubuh Perempuan

Mateo disebut-sebut sebagai novel kontroversial lantaran memuat konsep cinta yang tidak biasa dalam ceritanya. Novel dengan genre romantis ini dengan tegas menampilkan tema seputar asmara, seksualitas, dan realitas masyarakat urban yang disuguhkan oleh tokoh bernama Mateo dan Dia. Bersama Mateo, Dia menuju cinta diri, menemui beragam pengalaman bercinta yang dalam, bertubi-tubi, dan penuh keterbukaan yang liar.

Mateo adalah seorang profesor laki-laki berkebangsaan Spanyol yang datang ke Indonesia untuk mengajar di lembaga belajar Bahasa Spanyol. Dia adalah murid dari Mateo. Sebetulnya, Dia sudah memiliki pasangan bernama Bayu. Namun, justru karena konflik itulah konsep hubungan poliamori muncul dalam novel ini.

Poliamori dapat diartikan sebagai jenis hubungan yang memperbolehkan pasangannya untuk menjalin hubungan dengan pasangan yang lainnya. Terdengar mirip dengan konsep poligami, hanya saja poliamori tidak mensyaratkan pernikahan sebagai ikatan. Ciri paling nampak dari hubungan ini adalah mengedepankan sifat saling terbuka satu sama lain.

Melalui konsep hubungan poliamori yang diajarkan oleh Mateo, Dia dihadapkan dengan kegamangan batin. Hal tersebut dapat terjadi lantaran Mateo mengajarkan Dia konsep cinta yang membebaskan, tidak terikat, dan bermakna universal. Dia diajak untuk mengeksplorasi identitasnya sebagai perempuan, khususnya perempuan yang tinggal di Negara Timur.

Nitasya, dalam esainya, menjelaskan bahwa menjadi perempuan adalah menjadi seseorang yang mesti memenuhi tuntutan masyarakat. Maksudnya, mematuhi seperangkat aturan dan norma yang dilekatkan oleh masyarakat kepada perempuan. Tujuannya tidak lain menjadi dewasa dan paripurna. Perempuan dituntut untuk memiliki sifat pasif, penurut, dan tertutup. Melalui aktivitas seksual, pertentangan atas wacana ini dibangun.

“… bahwa seks memiliki akar yang naluriah, seperti lapar atau haus. Sama seperti kita telah menciptakan pekerjaan dan pasar untuk mengendalikan rasa lapar dan haus, kita pun telah menciptakan keluarga dan ideologi cinta yang romantis untuk mengendalikan seks.” (Mayesharieni, Mateo, hlm. 131).

Menurut Nitasya, novel Mateo merupakan sebuah upaya melepaskan konsepsi hubungan yang menundukkan salah satu dalam dominasi, serta konstruksi terkait seksualitas dan gender. Melalui ketabuan tubuh perempuan yang dibangun oleh masyarakat, Mateo ingin menghancurkan ketabuan yang ada melalui ekspresi positif yang dialami oleh Dia.

Tanya dari Peserta

Mendengar penjelasan yang cukup banyak menyentil berbagai ketabuan di masyarakat, hujan yang mengguyur Bandung sore itu juga dibarengi hujan tanya dari para peserta. Mereka bertanya (atau mungkin menggugat), isu-isu ihwal stigma masyarakat, feminisme, dan poliamori.

Raihan Ahmil bertanya sekaligus menyampaikan argumentasi terkait penghapusan stigma patriarkal yang terjadi di masyarakat Indonesia. Kiki Amelia juga bertanya terkait kelanjutan gerakan feminisme apabila pola pikir patriarkal telah terhapus. Ada pula Bagus yang menyampaikan poliamori melalui sudut pandangnya.

Kegiatan diskusi ditutup oleh penampilan dari Bagus & Wangsit Siliwangi. Meskipun lagu-lagunya masih terdengar asing di telinga, laki-laki asal Majalaya tersebut berhasil menghipnotis penontonnya lewat lagunya yang berjudul Om Sultan. Peserta diskusi pun turut bernyanyi bersama. Di pengujung penampilannya, Zulfa Nasrulloh diajak naik ke atas panggung untuk membacakan beberapa bagian novel Mateo sambil diiringi musik oleh Bagus & Wangsit Siliwangi. Hujan mengguyur, dan saat itu serasa para peserta berdoa dalam pesta: segala penindasan terhadap tubuh, perempuan, atau stigma akan hancur.

KOMENTAR

Maca merupakan program rutin yang menginisiasi ruang apresiasi dan kolaborasi antara sastra dan seni. Bentuk utama program ini adalah diskusi atau workshop dengan format pembahasan yang intim dan menarik. Selain itu, salah satu bentuk apresiasi yang menjadi konsentrasi Maca adalah alih wahan dari teks sastra (dalam hal ini buku) menjadi bentuk karya lain seperti musik, performance art, film, desain, atau pameran seni rupa.

You don't have permission to register