Fb. In. Tw.

Konsierto di Kyoto: Narasi Pengembaraan Romantika dalam Imaji Intelektual

Mochtar Pabottingi merupakan penyair yang sabar dalam berkarya. Selama kepenyairan (di luar karya novel dan cerita pendek) baru dua kumpulan puisi yang dibukukan beliau. Konsierto di Kyoto (2015) adalah buku kedua, sebelum buku puisi Di Bawah Rimba Bayang-bayang (2003), di mana 8 dari 29 puisi-puisi dalam buku tersebut diberi pujian oleh Joko Pinurbo sebagai puisi yang “jernih dan dalam”.

Konsierto di Kyoto sendiri berisi 26 judul puisi setebal 100 halaman. Dan, pujian Joko Pinurbo dalam buku yang pertama menurut saya juga berlaku untuk buku Konsierto di Kyoto. Tapi menurut saya, seluruhnya. Karena ada yang menarik perhatian saya ketika membacanya.

Teks yang mengalami sentuhan khas puisi-puisi klasik. Namun karena dipadukan dengan bentuk narasi, menjadikan teks tersebut tidak bisu, mengikuti irama teks selanjutnya, teks yang lentur atau estetis—mengutip  Riffaterre—yang bermakna atau berarti, dan bukan sesuatu yang kosong.

Hal pertama yang saya rasakan adalah keromantisan puisi-puisi di dalamnya. Hal-hal yang begitu menyentuh seolah pembaca ikut mengalami. Pernyataan Noyes (1956: xxii—xxvi) yang mengetengahkan ciri sastra bercorak romantisme ke dalam lima hal: kembali ke alam, melankolik atau sendu, primitivisme, sentimentalisme serta individualisme. Kelima hal tersebut yang saya coba amati di dalam puisi berjudul ‘Sosok Semalam dalam Salju’ dan ‘Carla dan Kunto’ yang saya kutipkan sedikit di bawah ini:

Bagai ada bisikmu sampai: “aku adalah bagian dari hidupmu ribuan tahun silam. Ketika sekujur wujudmu masih bersit cahaya dan kalbumu belum dirasuk dahaga raga yang menggayuti seluruh pikiranmu.” (“Sosok Semalam dalam Salju”: bait ketiga)

Kalakian! Siapakah pengubah rendefu lepas jadi terungku sehingga cinta sewaktu merundung kalbu//Siapakah yang seketika melantunkan kidung pada bilik-bilik rindu//Siapakah yang membuat deretan poplar sepanjang telaga/Merunduk. Di bawah tatapan Carla” (“Carla dan Kunto”: bagian d)

Dua contoh puisi di atas mengandung kesenduan beserta ‘alam’ yang digambarkan oleh penyair. Timbunan salju saat petang, kembang-kembang kristal di pucuk-pucuk cemara, puncak-puncak gunung salju, dan keadaan alam yang sangat rinci berbaur bersama sosok semalam dalam salju, subjek si penyair. Hal yang sama juga terjadi pada puisi “Carla dan Kunto”, seperti mentari pagi di dahan-dahan langit musim panas, burung-burung flamingo, hingga deretan poplar sepanjang telaga, yang merunduk di bawah tatapan Carla, juga di bawah tatapan pembaca. Objek alam yang digunakan sangat tajam bukan seperti tampak sekilas, dan sambil mengungkapkan keelokan alam tersebut, pembaca seolah dipandu dalam menghayatinya.

Berikutnya adalah pengembaraan. Pengembaraan kadang menjadi hal penting bagi penyair. Mengutip sedikit esai Joko Pinurbo di Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 13 Tahun 1999, “Seorang penyair dari Jogjakarta pernah iseng-iseng berseloroh: wah, ternyata mahal juga euy biaya puisi yang bagus”. Dan, memang pada kenyataannya, misal Sitok Srengenge—masih esai Joko Pinurbo—berubah puisinya saat berada di Belanda. Juga pendahulu seperti Sitor Situmorang, puisi-puisi yang ditulisnya dari luar Negeri jauh lebih berkesan daripada yang ditulis di Indonesia.

Lalu apabila saya boleh menambahkan, presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri yang merantau dari Riau. Sampai Leon Agusta yang sempat mendekam di penjara Pekanbaru. Pengembaraan, perjalanan, perpindahan atau apapun itu membuat segala yang ada pada si penyair berubah. Pikiran, rasa, intuisi dan segala kekuatan yang digunakan penyair ketika berkarya dengan sengaja juga ikut berpindah.

Dalam buku Konsierto di Kyoto, puisi-puisi berjudul “Harau”, “Kuil Ise”, “Prosesi”, “Kaliurang”, “Rembang Kabut”, “Konsierto di Kyoto”, “Samisen” beserta puisi-puisi lain yang dalam teksnya mengandung ruang atau tempat, telah menyatu bersama penyair, terasa benar-benar akrab dengan penyair sehingga kembali ke pernyataan Riffaterre di atas.

Kemudian terakhir adalah imaji intelektual yang sebenarnya hanya pernyataan karangan saya sendiri. Karena Pradopo (1987: 86) mengatakan ada beberapa imaji antara lain penglihatan, pendengaran, perabaan dan citraan gerak. Namun penyair membuat imaji-imaji dalam buku ini menjadi tak sekadar terlihat, terdengar, tersentuh, dan bergerak. Proses ‘membuat imaji-imaji’ ini yang saya rasa unik.

Mungkin tak sulit bagi seorang penyair yang juga dikenal sebagai intelektual mengolah hal-hal demikian. Misalnya pada puisi berjudul “Seperti Zeus Kepada Apollo Pada Usianya yang Ketujuh Ratus”:

Aku adalah hukum-hukum/Teramat teguh. Tak berhingga//Begitulah kuletakkan medan-medan magnet/Orkestrasi energi. Dengan titik-titik koordinat/yang tak kau lihat.”

Proses berpikir tentang manusia dan semesta sampai pada puisi yang berjudul “Krito, Senja Saga di Athena”:

“Sebab manusia ditakdirkan untuk bangkit jadi lebih mulia dari pada dewa.”

Segala kemampuan penyair dalam berpikir kembali membuat nilai tambah untuk hal pengembaraan yang dialami dan romantisme yang digunakannya. Ketiga hal tersebut menurut saya jelas menyatu di dalam puisi yang berjudul “Selalu Aku Menjelma Dalam Hujan”, bagian c, bait kedua:

“Siapakah melepas partikel-partikel masa kecil/sehingga menyerbu berseliweran. Menyatu//Dalam limbubu. Dalam deru angin daunan bayang-bayang.”

Penyair menggunakan perangkat kata partikel, dan mengolah kejadiannya menjadi ‘menyerbu berseliweran’ kemudian bersatu dengan alam, ‘angin limbubu’ dan ‘dalam deru angin daunan bayang-bayang’ yang lalu membuat saya bertanya, sedang berada di manakah penyair ketika peristiwa puisi tersebut? Mungkin ada di perasaan masing-masing pembaca.

Dikarenakan dalam buku Konsierto di Kyoto belum ada catatan pembaca atau esai penutup, setidaknya perlu ada kajian yang jauh lebih rinci tentang puisi-puisi Mochtar Pabotinggi ini. Namun apabila suatu hari ada yang bertanya kepada saya apa yang membedakan Konsierto di Kyoto dengan buku puisi penyair lain, selain dari apa yang saya tulis di atas, saya akan mengatakan seperti yang dikatakan penyairnya dalam puisi berjudul “Sendiri”, “Bisakah engkau berkabar/Pada sebuah tiada//Bisakah kau bercinta/Pada sebuah alpa.”

Oleh karena itu, buku puisi ini lahir, setidaknya untuk melupakan suasana dunia yang semakin rumit. Juga arti dari Konsierto sendiri, こんしえrと(jepang), consierto (spanyol), dalam Indonesia diartikan sebagai konser, pertunjukan musik, dimana pembaca adalah penontonnya, berada di suatu ruang dan waktu, boleh ikut menyanyi, berloncat-loncat, bertepuk tangan, melupakan dunia di luar ruang tersebut.[]

Pekanbaru, 2016

KOMENTAR

Lahir di Medan, 26 Desember 1990. Menamatkan pendidikan di ITS Surabaya. Esainya pernah dimuat di Riau Pos. Juara 1 Lomba Menulis Feature di buruan.co. Puisinya pernah dimuat di Riau Pos dan Pikiran Rakyat. Termaktub dalam kumpulan puisi "Bendera Putih untuk Tuhan" (Riau Pos, 2014) dan "Pelabuhan Merah" (Riau Pos, 2015). Kini mengembara di Jakarta.

You don't have permission to register