Kematian dan Keseharian
This world—
to what may I liken it?
To autumn fields
lit dimly in the dusk
by lightning flashes.
Minamoto-no-Shitago menulis puisi di atas untuk menggambarkan kematian. Ia tidak menulis makam, jenazah, atau hal-hal yang berkaitan dengan kematian. Dengan kedukaan dan kerinduan, puisi tersebut menyesali dunia melalui pergantian musim. Kematian tidak diasosiasikan dengan upacara pemakaman, tetapi dengan sekuntum bunga yang layu. Ketidakberdayaan manusia akan hidupnya dilambangkan dengan sekuntum bunga yang layu. Demikianlah, keterangan yang ditulis dalam buku yang berjudul Japanese Death Poems: Written by Zen Monks and Haiku Poets on the Verge of Death (1986).
Buku tersebut menjelaskan bahwa puisi-kematian Jepang dipengaruhi oleh ajaran Zen Buddhism. Oleh sebab itu, muncullah imaji-imaji alam yang hening. Bukan hanya dipengaruhi oleh Zen Buddhism, melainkan imaji alam ini dipengaruhi oleh periode saat puisi itu ditulis. Puisi di atas ditulis pada periode Heian; saat itu, bunga kerap menjadi imaji dalam puisi.
Imaji kematian membuat/membantu penyair dalam menggambarkan kematian. Puisi-puisi kematian barangkali satu-satunya tema puisi yang ditulis sebelum penyairnya mengalami kematian. Dengan demikian, hal-hal yang dituliskan oleh penyair pada puisi-puisi yang bertemakan kematian ialah pengalaman imajinatif.
Puisi-puisi kematian, bagi saya, bergantung pada biografi pengarangnya. Pengarang yang tinggal di suatu tradisi tertentu tentang kematian, ia akan merepresentasikan kematian dalam puisinya tidak jauh dari apa yang ia saksikan di alam budayanya. Sampai pada tahap ini, apakah kematian menjadi pengalaman yang imajinatif dalam puisi(?). Ini pertanyaan yang klise dan tidak terlalu penting. Pertanyaan lainnya: bagaimana cara seorang penyair meminjam ‘kematian yang lain’ untuk menyatakan ‘kematian dirinya’?
Apabila merujuk pada ilustrasi di atas, penyair dapat mengasosiasikan kematian dengan hal lain yang maknanya hampir mirip dengan kematian itu sendiri, misalnya gugur, kesedihan, perpisahan, bunga yang layu, kehilangan, daun yang gugur, dsb. Hal ini tentu saja bergantung pada alam budaya yang ditinggali oleh penyairnya. Lantas, bagaimana Joko Pinurbo menggambarkan kematian dalam puisi-puisinya? Menyoal soal itulah gunanya esai ini.
Ayu Utami pernah menulis tentang kematian pada puisi-puisi Joko Pinurbo dalam epilog buku Pacar Senja (2005). Menurutnya, puisi Joko Pinurbo berjarak dengan tragedi manusia. Ia mengatakan bahwa dalam puisi Joko Pinurbo, kematian menjadi sesuatu yang ganjil atau ambigu. Joko Pinurbo menghubungkan kematian—yang seharusnya sakral—dengan hal-hal yang profan, misalnya menunggu pacar di kuburan. Hal inilah yang—bagi Ayu Utami—berjarak dengan realitas.
Bagi saya, hal yang dikatakan oleh Ayu Utami belum paripurna. Saya melihat sesuatu yang lain pada puisi Joko Pinurbo. Pada puisinya, kematian menjadi bercampur dengan kenyataan sehari-hari atau profan. Oleh karena itulah, kematian dan pengalaman sehari-hari tidak berjarak. Efeknya, kematian menjadi hal yang biasa, tetapi juga memukau—mungkin juga lebih dari itu. Ini mirip mekanisme realisme magis.
Sejujurnya, saya merasa terkejut ketika membaca puisi-puisi Joko Pinurbo dalam buku Baju Bulan (Gramedia, 2013). Saya seperti melihat sisi Joko Pinurbo yang lain dari biasanya. Biasanya ia seperti anak-anak yang naif atau komedian satire. Pada tulisan sebelumnya, saya mencoba menerka rumus Joko Pinurbo dalam menulis puisi berdasarkan buku-bukunya yang telah saya baca dengan tidak saksama. Saya mengatakan bahwa Joko Pinurbo membuat ironi dalam puisinya. Namun, dalam seuntai puisi pilihan Baju Bulan, saya hampir tidak melihat rumus itu pada keumuman puisinya.
Pada umumnya, puisi-puisi pada Baju Bulan bertemakan kematian, perpisahan, kehilangan, penderitaan, dan ketidakberdayaan seseorang terhadap hidup. Tema-tema inilah yang diangkat oleh Joko Pinurbo. Saya melihat suatu keseriusan dan kedalaman dalam memandang hidup. Ia sangat intim dengan hidup itu sendiri dan keintimannya dimanifestasikan dalam puisi. Saya pernah menulis dan merasa banyak membaca puisi tentang kematian, tetapi tidak banyak dari puisi itu yang membuat saya agak depresi.
Baca juga:
– Ihwal Alih Wahana Puitwit Joko Pinurbo
– Menerka Mata yang Enak Dipandang
Saya membaca puisi-puisi-kematian yang ditulis Chairil Anwar, Moh. Wan Anwar, Beni R. Budiman, Subagio Sastrowardoyo, dan sejumlah penyair lainnya. Puisi-puisi mereka sangat dalam. Namun, barangkali, tidak ada irisan pengalaman antara saya dan puisi-puisi mereka. Puisi Joko Pinurbo, bagi saya pribadi, memiliki irisan dengan pengalaman banyak orang. Hal ini disebabkan diksi atau ‘kisah’ yang digunakan Joko Pinurbo sangat dekat dengan keseharian kita. Ia tidak membuat imaji-imaji yang megah, tetapi menggunakan bahasa sehari-hari—seperti biasanya; ia mengandalkan kisah sehari-hari dalam puisinya.
“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”/“Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang ke langit,/ke bintang-bintang, ke cakrawala, ke detik penciptaan/bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”/“Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi./Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”//
…
“Biarlah aku tumbuh dan besar di sini, Ibu./Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.”// (Joko Pinurbo, “Bayi di Dalam Kulkas”, 1995, hlm. 7).
Jika kita membaca puisi tersebut secara utuh, kita akan dapat menerka bahwa puisi ini tentang kelahiran—padahal kajian puisi bukan tebak-tebakan berhadiah, kenapa harus menerka? Hal tersebut terlihat dari kutipan di atas. Terdapat diksi penciptaan atau dialog “Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.” Itu benar. Namun, bagi saya, puisi ini lebih dari sekadar menceritakan tentang kelahiran. Puisi ini juga membicarakan ketidakberdayaan manusia dengan hidupnya, sekaligus membicarakan tentang kematian.
Mengapa Joko Pinurbo menggunakan diksi kulkas, bukan lemari atau gua? Jika dibaca secara sekilas, kita akan menerka bahwa kulkas ialah simbol dari rahim tokoh Ibu dalam puisi di atas. Saya sepakat atas hal tersebut. Namun, mengapa tiba-tiba saya teringat dengan lagu The Panas Dalam yang berjudul “Gadis Manis di Dalam Kulkas” dan lemari pendingin jenazah yang digunakan untuk mencegah dekomposisi atau pembusukan jenazah?
Artinya, kulkas dapat ditafsirkan sebagai (1) rahim, tempat permulaan seorang bayi, sekaligus sebagai (2) lemari penyimpan jenazah, tempat yang dapat mengabadikan tokoh Bayi. Ia tidak ingin keluar (atau kembali hidup) karena ia tahu, di luar (dunia), ia akan menjadi tidak abadi atau mengalami penderitaan kembali. Dialog, “Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu,” mengindikasikan hal tersebut, sekaligus menyampaikan bahwa manusia tidak memiliki daya untuk menghadapi dunia. Bagi saya, ada penyesalan yang dihadapi penyairnya.
Joko Pinurbo menulis puisi ini dengan bahasa sehari-hari dan kisah sehari-hari (dialog Ibu dan anaknya). Kisah sehari-hari itu mengalir begitu saja, tetapi tidak menjadi kisah yang longgar; ia tetap ketat sebagaimana puisi-puisi bagus dan sebagaimana hidup ini berjalan. Bahasa atau idiom atau diksi memperkuat realitas keseharian dalam puisi ini. Ini fantastis!
Puisi selanjutnya berjudul “Antar Aku ke Kamar Mandi” (2001). Sayang sekali, puisi ini tidak dibahas oleh Ayu Utami padahal puisi ini dimuat di buku kumpulan puisi Pacar Senja. Puisi ini juga semakin menegaskan hal yang saya singgung di paragraf ketujuh.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang terjaga di tengah malam. Ia membangunkan seseorang dan minta diantar ke kamar mandi. “Maka Kuantar kau ziarah ke kamar mandi dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki. Kau menunggu di luar saja. Ada yang harus kuselesaikan sendiri (bait ketiga, “Antar Aku ke Kamar Mandi”, hlm. 19).” Setelah ia selesai dengan urusannya di kamar mandi, ia kembali. “Ia dapatkan Seseorang sedang mendengkur nyaring sekali. Jangan-jangan dengkurMu yang bikin aku takut ke kamar mandi (bait terakhir, “Antar Aku ke Kamar Mandi”, hlm. 19).”
Ada dua ruang yang eksis dalam puisi ini: kamar mandi dan kamar tidur. Secara sederhana, saya mengindentifikasi kedua ruang itu: kamar mandi adalah dunia (ruang yang profan), sedangkan kamar tidur adalah alam penciptaan yang mengawang-awang seperti mimpi (ruang yang sakral). Terdapat kode-kode yang menarik dalam puisi ini. Tokoh Ia (tokoh yang ingin ke kamar mandi) ditulis dengan huruf kecil, sementara tokoh Aku (tokoh yang mengantar ke kamar mandi) menggunakan huruf kapital. Kemungkinan, Aku adalah Tuhan atau semacamnya.
Jadi ceritanya begini: Ia ingin ke dunia (kamar mandi), tetapi takut. Lantas, Aku (Tuhan) mengantarnya sampai ke depan kamar mandi. Setelah selesai dengan urusan dunia (urusan kamar mandinya), ia pulang (mati). Hal yang ia dapati ketika pulang ialah Aku yang tengah mendengkur. Ia berpendapat bahwa dengkuran Aku yang membuatnya takut untuk ke kamar mandi: “Jangan-jangan dengkurMu yang bikin aku takut ke kamar mandi (bait terakhir, “Antar Aku ke Kamar Mandi”, hlm. 19).”
Puisi ini memperlihatkan sekali lagi penyesalan, kesia-siaan, atau ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi dunia. Bait keempat “Kamar mandi gelap gulita. Kauraba-raba peta tubuhmu, kau dengan suara: Mengapa tak juga kautemukan Aku? (bait keempat, “Antar Aku ke Kamar Mandi”, hlm. 19)” menjadi representasi dari kondisi di dunia. Di dunia, justru kegelapan itu muncul. Di kamar mandi (dunia), ia mencoba mengenali dirinya, “Kauraba-raba peta tubuhmu.” Bahkan, tokoh Ia tidak dapat menemukan Aku (Tuhan), “Mengapa tak juga kautemukan Aku?”
Bait terakhir menjadi seolah kesimpulan dari puisi ini. Hal yang menyebabkan tokoh Ia takut ke kamar mandi (dunia) ialah dengkuran tokoh Aku. Dengkuran tersebut dapat kita asosiasikan dengan banyak hal, misalnya firman-firman atau cerita-cerita tentang dunia di alam ruh. Ya, saya sempat dengar cerita bahwa di alam ruh, sesosok ruh sangat takut ketika ia akan ditiupkan ke tubuh seorang bayi (calon manusia). Ia takut dengan keganasan dan kefanaan dunia. Ini seperti kita yang takut dengan alam lain setelah alam ini, bukan?
Joko Pinurbo mampu mengeksplorasi realitas sehari-hari menjadi realitas yang lain. Ketakutan pergi ke kamar mandi adalah hal sehari-hari yang lumrah bagi sebagian orang. Namun, Joko Pinurbo mampu melihat realitas itu dan mengeksplorasi realitas itu atau—sederhananya—menjadikan realitas itu (pergi ke kamar mandi) sebagai analogi dari realitas lain (perjalanan manusia dari alam satu ke alam lainnya).
Puisi berjudul “Mudik” memiliki visi yang sama dengan kedua puisi di atas. Puisi ini menceritakan tokoh Aku yang mudik karena neneknya rindu padanya, “Seperti pesan Ayah, ‘Nenek rindu kamu. Pulanglah!’ (bait pertama, “Mudik”, hlm. 23)” Kemudian, “Nenek sedang meninggal dunia (larik pertama bait ketiga, “Mudik”, hlm. 23).” Tokoh ia pun pergi dengan taksi.
Hal yang menarik dari puisi ini ialah membuat kematian menjadi (lagi-lagi) bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti mandi, makan, dan main PES 2017. Hal tersebut terlihat pada larik, “Nenek sedang meninggal dunia (larik pertama bait ketiga, “Mudik”, hlm. 23).” Kata sedang pada larik tersebut menunjukkan bahwa kematian akan berakhir pada suatu waktu dan dilanjutkan dengan peristiwa berikutnya. Padahal, kematian adalah hal yang final bagi manusia. Selain itu, tindak tanduk tokoh Ayah pun menunjukkan bahwa kematian adalah hal yang biasa-biasa saja. Keresahannya di dalam becak bukanlah keresahan yang timbul atas kematian Nenek, melainkan keresahan yang muncul karena tokoh Ayah tidak menemukan tokoh Aku di stasiun,
“Di jalan menuju stasiun kulihat Ayah sedang celingak-celinguk di dalam becak, wajahnya tampak lebih tua; becak melaju dengan sangat tergesa. Dari jendela taksi aku melambai ke Ayah, sekali kukecup telapak tanganku; ia pun mengecup tangannya, lalu melambai ke aku sambal berpesan, ‘Hati-hati di jalan ya!’ (bait kelima, “Mudik”, hlm. 23).”
Selain, ketiga puisi di atas, ada beberapa puisi yang memiliki visi serupa dengan kedua puisi di atas, sekurang-kurangnya hingga halaman 40.
Kematian itu misteri bagi setiap orang. Tidak ada kata atau metafora yang mampu menjangkaunya, termasuk puisi dari Jepang di atas. Namun, Joko Pinurbo mampu membuat kematian dekat dengan peristiwa sehari-hari: betapa dekatnya ia dengan keseharian manusia. Bagi saya, itu yang membuat puisi-puisinya menggetarkan.[]