Fb. In. Tw.

Identitas Lokal dalam “Syair Tanah Lahir”

Verba volant, scripta manent:  yang terucap bakal lenyap, yang tertulis akan abadi.
(Giacomo Cassanova)

Tak ada manusia yang tak mengenal tanah. Historis penciptaan manusia pertama: Adam, mengindikasikan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Manusia sebagai makhluk estetis, sudah melakukan kegiatan sastra sejak ia dilahirkan dan menginjak tanah. Hal tersebut dikemukakan Teeuw bahwa manusia bukan hanya homo sapiens, homo faber, maupun homo loquens, melainkan juga menjadi homo fabulans, yakni makhluk bercerita atau makhluk bersastra. Teeuw menambahkan bahwa begitu manusia belajar bahasa sebagai alat komunikasi untuk kehidupan sehari-hari, dari titik inilah dia juga mulai belajar mempermainkan “bahasa” demi tujuan lain. Selain itu, sejak di pangkuan sang Ibu, manusia sudah menjadi makhluk bersastra.

Pernyataan di atas menyiratkan bahwa adanya hubungan komplementer antara manusia dan sastra. Hal ini semakin jelas terlihat ketika kita membaca karya-karya sastra, seperti puisi ataupun cerpen. Puisi sebagai karya sastra, bukan hanya sekadar permainan diksi maupun imaji. Untuk melacak kebatinan seorang penyair, kita dapat melihat puisi-puisi yang ia hasilkan/tulis. Tak pelak, puisi ibarat kitab jiwa seseorang yang peka akan kehidupan.

Pendapat Cassanova mengenai kekalnya sebuah karya yang tertulis, melahirkan sebuah perlombaan untuk manusia melakukan kegiatan kreatif dalam hal karang-mengarang. Hal itu pun turut menghasilkan orang-orang hebat, mulai dari Aristoteles dan sejawatnya, hingga penyair-penyair kenamaan dunia, seperti R.M Rilke, Pablo Neruda, Lorca, juga penyair ternama indonesia: Amir Hamzah, Chairil Anwar, W. S. Rendra.  Akan tetapi, hal ini juga menghadirkan persoalan tentang keberadaan manusia di bumi yang fana ini. Manusia selalu mempertanyakan eksistensinya di bumi. Para filsuf yang konsen dalam persoalan eksistensial semisal Sartre dan Kierkegard cukup menyoroti persoalan kehadiran manusia.

Terlepas dari hal di atas, kita harus menghargai kehadiran karya sastra sebagai mutiara hati manusia. Bagai bayi yang merangkak kita pun mulai menjalankan kehidupan, waktu demi waktu dalam pijakan yang sama: “tanah”. Hal ini begitu terasa ketika kita membaca kumpulan puisi Rudy Ramdani dalam antologi puisi Syair Tanah Lahir (Asasupi, 2013) yang menghimpun 84 puisi.

Rudy Ramdani merupakan penyair kelahiran Purwakarta yang sempat menjadi ketua umum Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Syair Tanah Lahir merupakan antologinya yang pertama. Selain aktif menulis di media massa, Rudy juga mendirikan Sangsastra (Sanggar Sastra Purwakarta) serta aktif di kegiatan kebudayaan. Dalam antologi pertamanya, Rudy mencoba menyajikan suguhan pertanyaan tentang apa dan siapa kita, berasal dari mana dan mengapa. Pertanyaan-pertanyaan ini coba ditampilkan Rudy dalam antologi Syair Tanah Lahir. Selain itu, kita juga diajak untuk merenungkan sebuah makna lahir, penghargaan manusia dengan alam dan sesama manusia, persoalan cinta dan hakikat tanah dalam kehidupan.

Lukman Asya dalam pengantar buku antologi ini mengatakan bahwa, Syair Tanah Lahir membahas persoalan waktu, penempuhan, dan keheningan. Ia berpendapat ada sebuah proses untuk seseorang penulis mencapai kesadarannya dalam menulis. Lukman juga menyatakan, dibutuhkannya waktu untuk penghayatan, penempuhan panjang dalam merenungkan kearifan serta membaca sebuah  keheningan. Rudy berhasil mengikrarkan bahwa puisi tidak lahir dari kekosongan budaya, melainkan berasal dari suatu penguatan kearifan lokal, persoalan kehidupan dan hal-hal lain yang membangun keseluruhan puisi. Dalam puisi-puisinya, Rudy menampilkan kesan satir tapi lembut dan mengalun sebagai puisi yang bernas dan memiliki makna yang perlu dikupas serta diapresiasi.

Identitas Lokal dalam Tanah Lahir
Puisi-puisi Rudy dalam Syair Tanah Lahir ini dibagi ke dalam 3 ruang, yakni Syair, Tanah, dan Lahir. Meskipun demikian, ketiga ruang tersebut nyatanya mampu membentuk satu kesatuan yang utuh mengenai filosofi puisi bagi Rudy. Mula-mula ibarat bayi, Rudy menampilkan perjalanan waktunya berkenalan dengan puisi dalam ruang “Syair” yang ditampilkannya lewat sajak “Tiap Puisi”: tiap puisi lahir dari ibu paling ganjil/ dari rahim paling sunyi saat kata terpetik/ dari remah kehidupan tercecar di ruang dan detik/ dari makna terluput terserak di peristiwa….

Penggalan puisi di atas semacam temuan penyair dalam memandang kehadiran sebuah puisi, bahwa puisi lahir dari perenungannya dalam sebuah kehidupan yang mencecarnya setiap saat dalam ruang dan detik.

Selanjutnya, Rudy mulai mempertanyakan persoalan hakikat manusia, kerinduan dan makna kelahiran dirinya. Ataupun secara tersirat Rudy juga seorang nasionalis, yang cinta akan tanah kelahirannya: Indonesia, khususnya Purwakarta.

Kecintaannya terhadap tanah yang membesarkannya terlihat dalam sajak “Rindu Kampung”: lalu kumulai lagi mencamkan lenguh di kisaran/ daun-daun di batang rambutku/ mencari hati di belukar kendaraan/ langkah-langkah di padang aspal, raung mesin dan klakson/ kabut dari cerobong-cerobong dan knalpot/ di pelosok perkampungan jiwaku yang semakin kota pada matamu, Nyai/ aku rindu pematang sawah di biru urat dadamu/ tentang kicau burung liar/ dan ratusan serangga di ladang punggung kita (hlm. 44).

Puisi tersebut bernada protes dari seseorang yang sadar akan keutuhan alam. Puisi ini juga menampilkan peralihan dari era tradisional ke zona perkotaan, yang kemudian dirindukan oleh aku lirik dalam sebuah angannya, yang ingin kembali merasakan hadirnya sebuah suasana yang dulu pernah ia rasakan.

Tak berhenti di sana, dalam beberapa puisinya, seperti Kota, Surat Cinta Untuk Purwakarta, Ngeri Negeri, kita akan menemukan sebuah kepekaan sosial yang ingin disuarakan penyair lewat puisinya. Rudy juga intens menyebut kata “tanah” dalam beberapa puisi-puisinya, seperti dalam “Mitos”, “Lanskap Hujan”, “Sholat”, “Zikir Kerinduan”. Hal ini mengindikasikan kesadaran Rudy bahwa kehidupan adalah suatu kefanaan, yang awalnya tanah akan kembali ke tanah.

Selanjutnya, identitas lokal dalam puisi-puisi Rudy ini tidak sebatas tanah dalam arti formal, melainkan lebih mengarah pada suatu filosofi mengenai keberadaan suatu makhluk hidup di suatu permukaan, untuk apa dan kepada siapa ia akan kembali. Rudy pun menampilkan kecintaannya terhadap tanah kelahiran yang membesarkannya. Begitu cintanya dia terhadap tanah, sampai-sampai ia merepresentasikan dukanya terhadap bumi pertiwi dan sang waktu yang begitu cepat membesarkannya melalui metafor dan perlambangan.

Hal ini terlihat pada sajak “patriot”: kami selalu di sini/ seperti akar pohon mencengkram daging tanah/ menderas dalam pemburuh darah bumi/ menjadi humus bagi benih mimpi/ sebagai ruh yang merdeka (hlm. 56). Puisi tersebut sedikit banyak menggambarkan kecintaan penyair terhadap negerinya sekaligus rasa suka-dukanya dalam pengembaraan waktu yang berjalan.

Gaya dan Bentuk
Secara keseluruhan, puisi-puisi dalam Syair Tanah Lahir ini mengkristalisasikan suatu nilai-nilai kehidupan yang tidak terbatas pada persoalan romantisme, melainkan lebih kepada persoalan humanisme universal. Mungkin Rudy bisa dikaitkan dengan Chairil dengan rasa nasioanalisnya. Mungkin juga dengan gaya Acep Zamzam Noor yang bermain dalam ruang-ruang alam dan sekitarnya, ataupun penyair lainnya.

Akan tetapi, Rudy memiliki kekhasannya tersendiri, dalam arti kehadiran karyanya sebagai suatu buah tangan manusia yang sadar akan kehidupan. Berdasarkan hal tersebut, tak cukuplah kiranya jika kita memberikan gambaran tentang puisi-puisi Rudy satu per satu dalam ruang ini.

Namun, sebagai pembaca yang baik, sudah selayaknya kita memberikan suatu penafsiran dari karya-karya sastra yang lahir di Indonesia. Begitupun juga dengan puisi-puisi yang terhimpun dalam Antologi Syair Tanah Lahir karya Rudy Ramdani, yang mungkin akan banyak penafsiran untuk selanjutnya.

Merangkum semua hal di atas, baik dari segi struktur lahir/batin serta gaya kepengarangan Rudy, sedikit banyak dia mengejawantahkan dirinya lewat untaian puisi yang telah ia ciptakan bersama perjalanan waktu yang tak kunjung padam, disaksikan tanah yang menyimpan misteri dan keberadaan manusia dalam menanggapi kehidupan yang ditantangnya.

Sama halnya identitas lokal yang digambarkan Rudy, kita dapat menarik suatu  amanat baik itu tersirat maupun tersurat bahwa perlunya suatu perenungan dalam kehidupan,  kelahiran dan kematian, serta bagaimana memandang kehidupan dan menyadari pijakan kaki terhadap tanah yang membesarkan dan menjembatani langkah manusia.

Oleh karenanya, manusia boleh saja digerus zaman, tetapi karya-karyanya akan kekal dalam tulisan yang dibuatnya.[]

KOMENTAR
Post tags:

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI dan BSO-Literat.

Comments
  • Lukman A Sya

    Iwan Ridwan? Boleh juga Anda mengapresiasi puisi bung Rudy…

    10 April 2015

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register