
Harimau Tuan Kite
Tuan Kite punya ide gila untuk memelihara harimau. Walaupun hal itu sulit diwujudkan, dengan cara tertentu seekor harimau benggala sekarang benar-benar hadir di rumah besar. Terkurung dalam kandang yang secara khusus dibuat Tuan Kite sejak sebulan lalu.
Dengan cepat harimau itu jadi kebanggaan Tuan Kite, sekaligus mengubah beberapa kebiasaannya; salah satunya adalah perubahan tema lukisan-lukisan Tuan Kite dari bunga-bunga menjadi harimau, bukan karena bunga-bunga tidak menarik lagi baginya. Melainkan karena Tuan Kite benar-benar mengagumi binatang buas itu, keinginan untuk mempertahankan lingkungan seni di kehidupannya sambil melimpahkan kekaguman pada penghuni baru rumah besar itulah yang membuat Tuan Kite mengganti tema lukisannya.
Sampai sekarang sudah ada 32 lukisan harimau yang dihasilkan Tuan Kite. Beberapa lukisan dipajang di ruang tengah dan di kamar utama. Saat dinding hampir penuh, lukisan lainnya mulai diletakkan di sepuluh kamar mandi dan seluruh kamar pembantu. Tidak banyak yang berkomentar tentang itu, tapi siapapun yang melihat lukisan harimau itu dan mengenal Tuan Kite akan dengan mudah bersepakat bahwa pria yang gemar menarik janggutnya itu lebih baik melukis bunga-bunga, alih-alih menunjukkan kebuasan binatang itu, lukisan yang dihasilkannya membuat harimau itu terlihat menyerupai seekor kucing peliharaan semata.
Tuan Serine, yang suatu kali datang berkunjung untuk jamuan teh dan obrolan santai, juga segera salah mengartikan binatang dalam lukisan itu. “Kenapa banyak sekali lukisan kucing di rumah ini?” katanya sambil mengelap tangannya yang gampang berkeringat. Tuan Kite yang mendampingi Tuan Serine segera tertawa mendengar pertanyaan itu.
“Tidak tahukah kamu, saya memelihara seekor harimau!”
“Harimau?”
“Benar. Seekor benggala asli. Walaupun ini keturunan ketiga, kakek dari harimau ini adalah hewan buas asli Sundarbans,” kata Tuan Kite. Siapapun yang mendengar caranya bicara dengan gampang menangkap kebanggaan yang berusaha disiratkannya. Walaupun begitu, Tuan Kite sendiri dengan gampang menangkap kebingungan di raut wajah Tuan Serine yang sedang menatapnya.
“Jadi harimau peliharaanmu sudah tidak buas?” tanya Tuan Serine.
“Tentu saja buas. Hanya saja kakeknya lebih buas. Jangan mengira hanya karena harimau ini dari penangkaran, dia bukan binatang buas lagi!” balas Tuan Kite sambil menarik-narik janggutnya.
Tuan Serine, yang dengan gampang menangkap kekesalan pada cara bicara kawannya segera mencairkan suasana dengan melepas tawanya. “Tentu saja harimaumu tetap binatang buas!” katanya dengan lantang, lebih dari yang diniatkannya. Hal itu membuat telapak tangannya segera berkeringat. “Semisal tangan saya ini dijulurkan ke dalam kandangnya, pasti harimaumu akan segera mengoyaknya.”
Melihat Tuan Serine menyodorkan tangannya, Tuan Kite segera menepuk tangan itu. “Janganlah… harimauku pasti dengan mudah menghilangkan tangan seperti ini, tapi itu tidak perlu terjadi,” katanya.
Tidak banyak yang ingin dibicarakan Tuan Kite setelah itu. Terutama setelah pikirannya penuh oleh bayangan harimau peliharaannya menerkam tangan manusia. Memang, memelihara binatang langka hanya dibolehkan untuk generasi ketiga yang lahir dalam penangkaran. Dengan begitu binatang buas tersebut telah terbiasa dengan kehadiran manusia. Dengan cara-cara tertentu hal itu membuat Tuan Kite sedikit kecewa. Dan, dengan cara-cara tertentu juga, bayangan soal harimaunya mengoyak tangan seseorang dirasanya bisa mengobati kekecewaan itu. Sambil menarik-narik janggutnya, Tuan Kite menimbang-nimbang apakah harimau peliharaannya perlu benar-benar mengoyak tangan seseorang untuk membuktikan kebuasannya.
Sambil berjalan berdampingan, dijelaskannya pada Tuan Serine kandang harimau peliharaannya tidak jauh dari tempat mereka biasa duduk mengobrol. Setiap harinya harimau itu diberikan pakan satu kilogram daging babi dengan campuran dua setengah kilogram tulang ayam. “Kalau makanannya datang, jalannya anggun sekali ke tempat makanan itu. Khas binatang buas,” jelas Tuan Kite sambil melepaskan sehelai janggut yang tersangkut di jari tangannya.
“Apa dia sering mengaum?” balas Tuan Serine.
Pertanyaan itu segera membuat kening Tuan Kite berkerut. Sejak harimau itu datang ke rumah besar, belum sekalipun dirinya mendengar suara auman. Memang beberapa kali didapatinya harimau peliharaannya menggeram, tapi jelas itu bukan auman yang dimaksud Tuan Serine. “Jarang …” jawabnya kemudian.
“Sayang sekali. Padahal belum pernah saya melihat harimau, apalagi mendengarnya mengaum. Karena sekarang saya bisa melihat harimau, saya ingin mendengarnya mengaum.”
“Mungkin karena manusia bukan ancaman atau sesuatu yang perlu ditakut-takuti buatnya. Karena besar di penangkaran, dia jadi terbiasa dengan manusia,” kata Tuan Kite.
Tuan Serine tidak menanggapi pernyataan itu. Dia tidak yakin apa hubungan pernyataan Tuan Kite dan sifat alami harimau, tapi dia yakin pendapatnya tidak dibutuhkan untuk pembicaraan mereka soal auman itu. Sebenarnya Tuan Serine tahu, bahwa harimau mengaum semata-mata untuk berkomunikasi dengan harimau lainnya. Maka jika Tuan Kite jarang mendengar harimau peliharaannya mengaum, pastilah hanya ada dua alasan yang mungkin jadi penyebab: jika bukan karena harimau itu kesepian, maka harimau itu bisa saja malas berkomunikasi dengan manusia.
Sambil terus berjalan, Tuan Serine mengelap tangannya yang kembali berkeringat. Sebentar, keheningan segera muncul, karena mereka berdua tidak lagi bicara. Tuan Serine segera memecah suasana kaku itu dengan bertanya apakah harimau peliharaan Tuan Kite jantan atau betina.
“Tentu saja jantan!” balas Tuan Kite, kemudian tersenyum simpul.
“Bagaimana bisa tahu beda harimau jantan dan betina?”
“Di sertifikatnya dijelaskan kalau itu harimau benggala jantan.”
“Wah, yang jantan pastilah lebih buas dari yang betina. Begitu kan?”
Tuan Kite menjawab pertanyaan itu dengan melebarkan senyumnya kemudian tertawa. Dari senyuman dan tawa itu Tuan Serine segera mengerti betapa sekarang adalah waktu bagi dirinya untuk ikut tertawa. Mereka berdua kemudian terus berjalan ke taman belakang sambil tertawa bersama.
Sesampainya di taman belakang, Tuan Serine segera melihat kandang harimau itu. Berjarak sekitar tiga meter dari bangku – tempat mereka biasa duduk – yang ada di bawah salah satu pohon. Di dalam kandang tersusun kayu-kayu sebagai rintangan sekaligus replika suasana hutan Sundarbans; di antara kayu-kayu itu berbaring harimau peliharaan Tuan Kite. Tuan Serine bisa melihat hewan itu sedang menatap dirinya dan Tuan Kite.
Setelah duduk di bangku, barulah Tuan Serine melihat penyangga kanvas milik Tuan Kite di sisi lain kandang, tepat di balik pohon yang sebelumnya menutupi penyangga itu. “Sedang melukis lagi sepertinya,” kata Tuan Serine.
“Tentu. Saya selalu melukis sambil melihat harimau itu. Memperhatikan setiap garis ototnya, lorengnya, dan caranya bernapas. Benar-benar binatang yang buas …”
Mendengar pernyataan itu, Tuan Serine segera teringat lukisan-lukisan yang dilihatnya ketika baru datang ke rumah besar. Sungguh, bagi dirinya binatang dalam lukisan milik Tuan Kite tidak lain dan tidak bukan adalah seekor kucing. Kecuali itu, Tuan Serine tahu dirinya tidak perlu memberikan pendapat tentang hal semacam itu jika menyangkut karya seni.
“Benar-benar seniman sejati!” kata Tuan Serine.
Mendengar tanggapan kawannya, Tuan Kite menghela napas panjang. Siapapun yang melihat wajahnya dapat dengan mudah melihat Tuan Kite sedang berusaha menahan senyum. Ditatapnya Tuan Serine seolah-olah ingin menyampaikan sebuah rahasia.
“Kuncinya ada di garis untuk menggambarkan mulutnya. Jika berhasil, selanjutnya adalah memilih warna yang tepat untuk gusi, gigi dan lidah. Hal paling menakutkan dari harimau adalah mulutnya. Lukisan yang baik bisa menggambarkan bagaimana mulut itu terlihat akan mengoyak mangsanya …” kata Tuan Kite, setengah berbisik.
“Kau memang ahlinya!”
Senyum Tuan Kite semakin melebar. Ditarik-tariknya janggut. “Jika ingin lukisan kita terlihat benar-benar hidup, tentu kita harus mengerti bagaimana jiwa binatang itu sesungguhnya. Imajinasi dan emosi adalah hal penting jika ingin melukis…”
“Berarti perlu menjadi harimau jika ingin melukis harimau.”
“Tentu … Tentu! Saat melukis, saya adalah harimau itu …” kata Tuan Kite. Untuk alasan-alasan tertentu pendapat Tuan Serine sungguh membuatnya senang. Ditarik-tariknya janggut sambil memperhatikan harimau dalam kandang. Di sana, harimau itu masih berbaring menatap mereka. Ketika Tuan Kite menoleh ke Tuan Serine, dilihatnya laki-laki itu sedang mengelap telapak tangan sambil memperhatikan harimau juga. Tuan Kite tahu tangan Tuan Serine gampang berkeringat. Pastilah itu karena kelenjar keringat Tuan Serine terlalu aktif – tangan yang dibayangkan Tuan Kite akan sangat gurih dan menghasilkan banyak kaldu jika diolah menjadi sup. Saat didapatinya Tuan Serine menatapnya, Tuan Kite membalas tatapan itu dengan tersenyum.
“Pastilah harimauku akan sangat menyukaimu…” kata Tuan Kite, kemudian menepuk-nepuk bahu kawannya. Usahanya untuk menahan senyuman agar tidak semakin melebar membuat wajahnya terasa aneh. Kembali diperhatikannya harimau di dalam kandang. Di sana, harimau itu masih diam berbaring, menatap dirinya dan Tuan Serine yang terus mengelap keringat di telapak tangannya. Sekarang Tuan Kite memperhatikan tangan yang berkeringat itu. Entah sejak kapan, terasa air liur berkumpul di dalam mulutnya, kemudian tanpa kontrol mengalir melalui pinggir bibir laki-laki itu, menetes-tetes.