Duong Thu Huong Si Pembangkang
Kebebasan badan barangkali bisa dirampas. Namun siapa yang mampu merebut kebebasan berpikir. Barangkali begitulah kehidupan Duong Thu Huong, seorang novelis Vietnam. Setelah pemerintahan komunis Vietnam berhasil mengusir Amerika, ia malah kehilangan kemerdekaannya. Padahal ia merupakan salah seorang pejuang garis depan negara komunis di Asia Tenggara itu.
Duong tidak boleh memiliki paspor untuk bepergian ke luar negeri. Kalau pun bisa ke luar negeri, ia memerlukan lobi yang istimewa terhadap pemerintah Vietnam. Seperti pada 1994, atas bantuan Danielle Mitterrand, ibu negara Prancis saat itu, ia bisa ke Paris untuk menerima sebuah penghargaan atas karyanya.
Dosa Duong, jika dianggap sebagai dosa, kepada Vietnam barangkali cukup banyak. Publikasi novelnya mengenai kehidupan di bawah pemerintahan komunis Vietnam cukup meledak di Barat. Ia juga mantan anggota Partai Komunis yang dipecat lantaran dianggap sebagai pengkhianat. Yang paling parah ia adalah pembangkang—“pelacur pembangkang” kata seorang pemimpin partai—yang menolak tunduk meski pernah dipenjara selama delapan bulan pada 1991.
Sebelum dikenal sebagai seorang novelis, Duong merupakan anggota Brigade Perempuan Muda Vietnam. Ia pernah bertempur selama tujuh tahun di hutan dan kawasan Bình Trị Thiên yang dibombardir bom pesawat Amerika Serikat. Pertempuran yang membuatnya berpikir, bahwa pada saat yang sama ia memerangi sesama bangsa Vietnam.
“Kami memang dibombardir bom, tapi orang-orang Amerika itu di langit dan aku tak pernah melihat mereka. Aku hanya melihat orang-orang sesama Vietnam (Selatan),” tutur Duong kepada Alan Riding/New York Times.
(Pada saat membaca bagian wawancara itu, ingatan serial Tour of Duty yang diputar di RCTI pertengahan 1990-an muncul dalam kepala saya. Saya pun lantas menyetel lagu “Paint in Black” Rolling Stones (lagu pembuka serial tersebut) untuk menyelesaikan tulisan yang saya sadur dari laporan Alan Riding di The New York Times dan beberapa sumber lainnya ini.)
Duong Thu Huong lahir di Provinsi Thai Binh pada 1947. Ia terlahir dari keluarga cukup berada. Neneknya merupakan pemilik tanah yang kemudian pindah ke Vietnam Selatan pada pertengahan 1950-an. Pada masa kecilnya ia kesulitan sekolah karena dianggap bukan berasal dari kelas proletariat dan kaum tani.
Namun, pada saat usianya menginjak 16 tahun, ia dibolehkan mengikuti kelompok teater keliling. Di situ bakatnya tampak. Lantas ia dikirim mengikuti pelatihan di perguruan tinggi, mempelajari akting, menari, dan menyanyi untuk hiburan popular.
Duong tumbuh dewasa bersamaan dengan Perang Vietnam yang semakin gawat. Di usia 20 tahun, ketika ia menjadi pelajar di Sekolah Tinggi Seni Kementerian Budaya Vietnam, ia bergabung menjadi relawan Brigade Perempuan Muda Vietnam di garis depan. Padahal pada saat itu Duong ditawari beasiswa untuk kuliah di Uni Soviet, Jerman Timur, atau Bulgaria. Namun Duong memilih berangkat ke garis depan.
“Tapi aku memilih untuk maju ke depan karena negara kami sedang berperang dan nenek moyangku selalu berjuang untuk negara kami,” katanya. “Aku bergabung dengan sekelompok seniman muda yang tampil untuk pasukan dan korban perang. Slogannya adalah: ‘Lagu kami lebih lantang dari ledakan bom.’ Kami akan membungkam teriakan dengan lagu.”
Semenjak itulah kehidupan Duong Thu Huong dibentuk oleh perang.
Perang Vietnam berakhir pada 1975. Perang yang bukan sekadar melibatkan Vietnam dan Amerika. Tapi juga pertempuran Komunis dan SEATO (Fakta Pertahanan Asia Tenggara) yang didukung oleh Inggris, Prancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, dan Thailand.
Di usia 30 tahun, Duong Kembali ke Hanoi. Ia kemudian bekerja di industri film yang disokong pemerintah Komunis. Ia menulis lima buah naskah yang menurutnya diproduksi menjadi film-film jelek.
Gajinya sebagai penulis naskah film tidak cukup untuk hidup. Lantas ia mengambil pekerjaan serabutan. Di antaranya dengan menjadi ghost writer. Salah satunya menjadi penulis hantu untuk buku sekelompok jenderal mengenai Perang Vietnam. Pada buku itu ia harus menulis angka kematian Perang Vietnam lebih tinggi dari fakta sebenarnya sekadar untuk menunjukan bahwa tak ada pengorbanan yang lebih besar daripada rakyat. Pekerjaan yang barangkali bertentangan dengan Nurani Duong.
Pada 1979, Duong diundang untuk bergabung dengan Partai Komunis. Enam tahun berselang, 1985, atas desakkan teman-temannya ia baru mau bergabung meski dengan perasaan enggan. Pada tahun itu pula novel pertamanya Beyond Illusions terbit. Penjualannya cukup sukses, mencapai 100.000 eksemplar.
Dua tahun kemudian, ketika Duong menerbitkan novel keduanya Paradise of The Blind, masalah mulai muncul. Novel yang juga pernah diterbitkan oleh IndonesiaTera dengan judul Surga bagi Si Buta (2004) ini mengisahkan pemerintahan Komunis Vietnam yang korup. Novel ini menjadi novel pertama yang terbit di Amerika Serikat. Sementara itu, di negaranya sendiri novel ini dilarang.
Lantaran novel itu Duong coba dibungkam. Dia ditawari sebuah rumah sekelas menteri oleh Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam Nguyen Van Linh agar ia diam. Namun ia menolaknya. Sebab ia berjuang demi demokrasi. Ia ingin berada di sisi rakyat ketimbang seorang menteri. “Prinsipku adalah bahwa kamu boleh kehilangan segalanya, bahkan hidup kamu, tapi kamu tidak boleh kehilangan kehormatan,” kata Duong.
Tak lama setelah kejadian itu, ia selamat dari dua percobaan pembunuhan atas dirinya. Pada 1989, Duong memberikan pidato “Partai yang Harus Berterima Kasih kepada Rakyat” dalam Kongres Penulis Vietnam. Imbasnya ia langsung dipecat sebagai anggota partai.
Dua tahun kemudian, 1991, Duong dipenjara. Ia dianggap telah menjual “rahasia” negara kepada pihak asing. Yang mana “rahasia” yang dimaksud adalah manuskrip novel-novelnya. Oleh karena itu, novel-novel Duong seperti Novel Without a Name, Memories of a Pure Spring, No Man’s Land, dan The Zenith belum pernah diterbitkan di Vietnam.
Beruntung bagi pembaca di Indonesia, beberapa di antaran novel Duong pernah diterbitkan oleh IndonesiaTera dengan penerjemahan yang cukup baik. Novel-novelnya yang sudah diterjemahkan di Indonesia antara lain: Novel Tanpa Nama (1998) & Sorga bagi Si Buta (2004) penerjemah Sapardi Djoko Damono; Menembus Mimpi Hampa (200) penerjemah Landung Simatupang. Semoga novel-novel itu dicetak ulang lagi.
Duong bercerai dengan suaminya pada 1982. Kini ia hidup bersama dua anak dan empat cucunya di Hanoi. Di usianya yang tak lagi muda, ia tetap seorang idealis sekaligus bebal.