Fb. In. Tw.

Buku Puisi Unboxing: Restart dan Update

Seseorang memperkenalkan diri. Namanya Agis, lelaki yang menumpang kuliah dan kerja di Kota Kembang selama lebih dari 11 tahun. Kala menumpang, Agis mengaku sukses mendulang unek-unek dan menulis puisi. Tapi, Agis meminta apabila kemampuannya perihal menulis puisi kurang spektakuler, aku – pembaca – boleh memberinya nilai paling rendah, mirip kepuasan setelah bertransaksi di marketplace, yaitu: satu bintang. Juga, Agis mengaku bahwa dirinya termasuk anak milenial yang sinis, konyol, receh, dan bodoh amat. Hanya saja, pengakuan ini masih diragukan Agis, sebab dirinya gampang overthingking dan anxiety attack.

 

Aku menyukai gaya Agis yang memperkenalkan diri dengan wajah datar, memberikan salam dua jari, dan mengenakan aksesoris kepala kucing. Perkenalan diri yang aku lihat dan baca di sampul belakang paket puisi (baca: buku puisi) berjudul Unboxing (2023) karya Willy Fahmy Agiska. Apalagi, Silmi Sabila – perancang sampul dan ilustrasi buku puisi Unboxing – mendesain sampul depan semirip wadah mainan. Sebab itu, di sampul depan, Agis digambarkan sebagai action figure yang masih terbungkus mika dan karton. Aku menelisik penampilan Agis terlalu nyeleneh. Barangkali, Agis bukanlah action figure – biasa aku lihat di toko mainan – yang berdasarkan tokoh dari komik, animasi, film atau permainan video.

 

Kalau mengingat perkenalan diri di sampul belakang, menghubungkan penampilan di sampul depan, aku merasa Agis adalah action figure yang berdasarkan karakter dari kaum-rebahan. Dalam pengertianku, kaum-rebahan adalah istilah untuk menyebut seseorang yang malas bergerak. Atau, seseorang yang lebih banyak beraktivitas di dunia maya (daring) daripada dunia nyata (luring). Menurutku, dunia maya bukanlah hal asing bagi Agis. Justru sesuatu yang intim, seperti perihal menulis puisi, Agis bisa kedodoran dibongkar-pasang media sosial, pasar digital, dan bahasa komunikasi yang selalu update. Jadi, apa benar Agis termasuk kaum-rebahan?

 

Aku tidak boleh menyimpulkan buku dari sampulnya. Masa gara-gara dunia maya, aku menuduh Agis sebagai kaum-rebahan. Aku harus membuka dan membaca buku puisi Unboxing. Lalu, mencari tahu terhadap jawaban Agis dari pertanyaannya sendiri: “Mau kemana sih update terus?” Tiba-tiba aku bertanya untuk menimpali pertanyaan Agis: “Kenapa harus update?” Aduh, aku harus mengikuti pesan di halaman sebelum kolovon dalam buku puisi Unboxing: “Helow, para paketers semuanya. Paket puisi ini bolehlah kamu buka dengan cara apa saja, sambil ngapain aja.” (hal: 5). Pesan itu seolah menandakan aku harus rileks, jangan tegang, memulai pembacaan pada setiap puisi dalam buku puisi Unboxing.

 

Willy dan Agis
Willy adalah nama panggilan yang aku pakai untuk memanggil Willy Fahmy Agiska – penyair kelahiran Ciamis, 28 Agustus 1992, yang menulis buku puisi Unboxing. Aku tergolong baru mengenal Willy Fahmy Agiska. Kalau tidak salah, kami berkenalan pada tahun 2021 di media sosial Facebook. Beberapa kali aku mengetahui aktivitas Willy Fahmy Agiska yang mengunggah puisinya di beranda Facebook. Pernah kami berhubungan perihal buku. Sayang, aku belum pernah bertemu Willy Fahmy Agiska di dunia nyata. Semoga pertemanan kami tidak sebatas dunia maya belaka.

 

Pada Juni 2023, buku puisi Unboxing datang kepadaku. Ketika mengetahui nama Agis di sampul belakang, aku merasa salah memakai nama panggilan Willy. Jangan-jangan, nama panggilan Willy Fahmy Agiska yang sebenarnya adalah Agis. Entahlah. Hanya saja, pada keterangan sampul belakang, Agis merupakan action figure. Kalau menengok pengakuan Agis, aku menganggap agak ganjil. Sebab, aku merasa Willy Fahmy Agiska begitu serius, tidak sinis, tidak konyol, tidak receh, dan tidak bodoh amat. Tapi, aku benar-benar tidak tahu menyangkut gampang overthingking dan anxiety attack.

 

Barangkali, aku tergolong baru mengenal Willy Fahmy Agiska, sehingga tidak tahu bagaimana watak aslinya. Tapi, kenapa aku mempermasalahkan panjang atau pendek sebuah hubungan pertemanan. Toh, berkat mengetahui nama Agis, terutama digambarkan sebagai action figure, aku dapat menganggapnya sebagai pelaku-imajiner yang hidup dalam buku puisi Unboxing. Jadi, aku membayangkan bagaimana Willy Fahmy Agiska menghidupkan Agis. Pembayanganku masuk akal apabila menengok puisi adalah dunia rekaan yang bersumber dari imajinasi penyair.

 

Pengakuan Agis
Aku sering membaca kata “unboxing” sebagai judul video dalam aplikasi Youtube. Jika menonton video itu, aku mendengar kata “unboxing” yang diucapkan pengkonten – orang dalam video – untuk membuka kemasan dan mengenalkan benda. Bukan sembarang benda. Tapi, benda yang baru diketahui pengkonten, misal produk keluaran terbaru. Aku – penonton video itu – secara tidak langsung memperoleh informasi dari pengkonten terhadap keunggulan dan kekurangan benda tersebut.

 

Pengalaman menonton video unboxing dalam aplikasi Youtube ternyata sama ketika aku membaca buku puisi Unboxing. Kesamaan itu aku jelaskan begini: video unboxing adalah puisi dalam buku puisi Unboxing; pengkonten adalah Agis – pelaku-imajiner; serta produk keluaran terbaru adalah isi puisi. Sebab memiliki buku puisi Unboxing, tanda aku sudah subscribe Willy Fahmy Agiska dong.

 

Sekarang, aku mengambil contoh puisi Puisi: “//Sudah menggonjreng di lampu merah./ Pake topeng. Pake motor sport kayu. Pergi ke pasar./ Pasarnya udah ada yang ngatur. Sip.//” (hal: 44). Dalam puisi Puisi, Agis – menjadi narator-lirik – memberikan makna kepadaku, bahwa seberbahaya puisi dan seimajiner puisi, buku puisi tetap tidak laku di pasar, tapi penjualan buku puisi harus jalan terus.

 

Atau, aku mengambil contoh puisi Happy Anniversary: “//Waktu,/ apakah masih ada/ yang harus kutemukan lagi/ dalam dirimu?//” (hal: 65). Dalam puisi Happy Anniversary, aku menangkap Agis – menjadi aku-lirik – sedang merenungkan maksud waktu di hari ulang tahun. Apa yang ingin Agis korek lagi dari kebenaran maksud waktu? Aku hanya menafsir: kelahiran masa lalu, penantian masa depan, atau pencopotan momen-momen yang cepat masak dan basi.

 

Dua puisi di atas (puisi Puisi dan puisi Happy Anniversary) menjadi contoh bagaimana aku merasakan pengalaman sama antara menonton video unboxing dengan membaca buku puisi Unboxing. Barangkali, pengalaman sama itu bisa terjadi setelah aku menghadirkan Agis di setiap puisi. Lewat puisi Puisi, aku menganggap Agis sesuai dengan pengakuannya, yaitu: sinis, konyol, receh, dan bodoh amat. Sedangkan, lewat puisi Happy Anniversary, ternyata Agis memiliki sisi sentimental.

 

Menyangkut gampang overthingking dan anxiety attack, aku menengok penunjukan keberadaan pukul pada jam yang muncul pada tujuh puisi dalam buku puisi Unboxing. Penunjukan ini penting ketika aku merujuk pengalaman pribadi perihal kepanikan mengetahui waktu tinggal beberapa menit tapi belum sampai ke tempat yang dijanjikan. Atau, pengalaman pribadi perihal pikiran berlebihan yang disebabkan pacar kelewat telat datang di hari kencan kami.

 

Berikut ini, aku memperlihatkan baris dari tujuh puisi perihal penunjukan keberadaan pukul pada jam: “/jam 9 pagi untuk matahari/” (puisi Biasalah, hal: 14); “/dan jam 10 pagi yang bintitan./” (puisi April Mop, hal: 15); “//Jam 13.00, baru 25% hari/” (puisi Dramaturgi Siang Kita, hal: 16); “/dari St.Gondangdia jam lima/” (puisi Spada, hal: 26); “//Jam setengah sembilan,/” (puisi Kalo Lagi Yagitulah, hal: 28); “//Pas banget jam sembilan/” (puisi Kalo Lagi Yagitulah, hal: 28); “//Jam sembilan lebih dua/” (puisi Kalo Lagi Yagitulah, hal: 28); “/jam sembilan lebih duaempat./” (puisi Kalo Lagi Yagitulah, hal: 28); “/sampe manéh insomnia di ujung jam 4 pagi/” (puisi Paket Mimpi buat Hamzah, hal: 39); “/jam 11/12 malam, dengan celana pendek, kaos oblong,/” (puisi Paket Mimpi buat Hamzah, hal: 39); serta “//Jam 13.00, pas matahari lagi judes/” (puisi Apa Lagi sih, Penyair, hal: 41).

 

Kebetulan, baris dari tujuh puisi di atas berhubungan dengan aktivitas Agis di indekos, tempat kerja, ruang rapat organisasi kampus, dan kedai kopi. Agis tidak benar-benar kaum-rebahan yang sempat aku pertanyakan di pengantar tulisan ini. Tapi, aku merasa penunjukan pukul pada jam bukan sekadar alibi terhadap aktivitasnya. Sebab, tujuh puisi di atas bertarikh 2021, artinya waktu itu masih bersuasana PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di masa Covid-19. Apalagi, aku menemukan aktivitas Agis ternyata masih di masa Covid-19: “/Lagi saling lempar analisis/ situasi oleng organisasi kampus/ di masa pandemi kayaknya.//” (puisi Kalo Lagi Yagitulah, hal: 29)

 

Kebetulan lagi, dalam buku puisi Unboxing, terdapat puisi PPKM – bertarikh 2021 –yang bisa mengkaitkan kesehatan akal Agis sehingga gampang overthingking dan anxiety attack. Mari aku mulai dari pembacaan bait kedua puisi PPKM, yaitu: “//Semuanya tutup. Besok tutup./ Dan besoknya lagi juga tutup./ Siapa mulutmu, kalau bukan/ pameran salah ucap.//” (puisi PPKM, hal: 49). Diksi “tutup” mengingatkanku pada kondisi PPKM harus menerapkan protokol kesehatan dan menutup tempat-tempat yang memungkinkan keramaian.

 

Lalu, ingatanku memunculkan kengerian dan kesedihan terhadap nyawa manusia yang melayang akibat Covid-19. Terutama, aku mengingat tempat tinggalku, tersiar kematian dari toa masjid, bikin kecemasan selalu hadir di setiap waktu. Begitulah, kemunculan dan kesedihan dalam ingatanku setelah membaca bait ketiga, atau penutup, puisi PPKM: “//Nama nama tuhan digotong 24 jam./ Saat itu, kau terus menyebut sunyi/ dan rasa takut itu kuburan.//” (hal: 49).

 

Aku mengira apa yang terjadi pada Agis pada tahun 2021, tetap menghantuinya hingga tahun 2023. Hanya saja, hantu itu turut membangkitkan sisi sentimental Agis, bahwa ada kepedulian terhadap manusia. Perkiraanku itu muncul ketika membaca bait: “//Kenapa mesti terus membaca/ dan bersahabat dengan sehat di antara/ daftar pesanan, alat-alat makan kotor bekasmu,/ merecehkan peran dan uang kembalian,/ atau ngantuk berat di turunan kurva dagang/ yang membawa semua harga diri.// (puisi Kurang Bisa Begini Kurang Bisa Begitu, hal: 22).

 

Puisi Kurang Bisa Begini Kurang Bisa Begitu merupakan puisi satu-satunya bertarikh 2023 dalam buku puisi Unboxing. Seolah, dalam Puisi Kurang Bisa Begini Kurang Bisa Begitu, Willy Fahmy Agiska menempatkan Agis menjadi pengingat kita bahwa manusia selalu rapuh terhadap sakit, bencana, hingga kekacauan. Dan, manusia hanya dapat menyerahkan dirinya kepada Tuhan, kecuali hanya mau terjebak menjadi pengulangan bunyi asing tanpa bisa aku artikan: “//nok nok nok nok…/” (puisi Kurang Bisa Begini Kurang Bisa Begitu, hal: 22).

 

Restart dan Update
Tahun 2019, pertama kalinya, aku memiliki ponsel pintar yang dapat mengakses jaringan internet, sehingga dapat memanfaatkan aplikasi media sosial, marketplace, serta mesin pencari. Juga, aku dapat memanfaatkan aplikasi permainan daring atau aplikasi lain. Setelah itu, aku menyadari bahwa selama memiliki ponsel pintar, ternyata tidak bisa begitu lama memanfaatkan aplikasi, sebab terjadi update yang menyempitkan kapasitas memori ponsel pintar. Pada akhirnya, tahun 2023, aku harus memanfaatkan aplikasi yang sesuai kapasitas memori ponsel pintar dan menunggu ponsel pintar milikku benar-benar ketinggalan zaman.

 

Aku membayangkan semua manusia mirip ponsel pintar yang membutuhkan update demi keberlangsungan hidupnya. Dan, di antara semua manusia itu, beberapa manusia mengalami gangguan karena kapasitas memorinya tidak mencukupi untuk update. Tapi, aku bertepuk tangan mengetahui ada salah satu menusia yang kerajinan update dalam hidupnya. Menusia yang kerajinan update itu harus bersyukur memiliki kelebihan kapasitas memori. Tapi, menusia yang kerajinan update itu menimbulkan kegusaran ketika aku mengingat pertanyaan Agis pada sampul belakang: “Mau kemana sih update terus?” Seolah, update adalah bekal bepergian ke antah-berantah.

 

Memang, pertanyaan Agis semacam sindirian, apalagi dalam buku puisi Unboxing, aku membaca dua bait dari dua puisi: “//Kata-kata berjalan/ tidak seperti kakimu berjalan./ Sebelah ke kemarin, sebelah ke hari lain//” (puisi Unboxing Sdr. Penyair (I), hal: 59) dan “//Antara panjang jalan dan bahasa/ yang di mana batasnya//” (puisi Unboxing Sdr. Penyair (II), hal: 60). Dua bait dari dua puisi tersebut memberiku bayangan bahwa manusia perlu berhenti sejenak, tidak perlu terpaksa mengejar bahasa (baca update). Toh, manusia tidak pergi kemana-mana, hanya berakhir seperti bait ini: “//Dan kita selamanya/ cuma bisa “yaudahlah, biarin”./ Mimpi dapat banyak solusi/ seringkali sepet maknanya.//” (puisi Dramaturgi Siang Kita, hal: 17).

 

Aku mengingat kembali sebuah anekdot sufi dalam buku Kearifan Orang-Orang “Pandir” (2003) karya Idries Shah dengan judul Penuh (hal: 151), bahwa: “…kamu tahu begitu banyak membuatmu sama dengan sebuah wadah yang sudah penuh air. Karenanya, seperti wadah itu, kamu tidak dapat menerima masukan lagi.” Maksud anekdot sufi itu adalah manusia harus mengurangi sesuatu yang lama sebelum mengisinya dengan sesuatu yang baru. Atau, manusia perlu me-restart dirinya agar terhindar seperti bait beriku ini: “//Manusia jadilah kanibal/ bagi kelaparannya sendiri sendiri.//” (puisi Kanibal, hal: 58).

Daftar Bacaan
Idries Shah (2003), Kearifan Orang-Orang “Pandir”, Bandung: Pustaka Hidayah
Willy Fahmy Agiska (2023), Unboxing, Bandung” Penerbit Buruan & Co.

KOMENTAR

lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Tinggal dan bekerja di Gresik. Lulusan Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Suka menulis puisi. Beberapa puisinya pernah dimuat di Koran Tempo, Kompas, Bali Post, Suara Merdeka, majalah Kalimas, dan Buruan.co. Buku puisi tunggalnya adalah Sang Perajut Sayap (Muhipress, 2011) dan Sepatu Kundang (Buku Bianglala, 2012). Selain puisi, juga menulis esai. Tahun 2022, esainya pernah dimuat di Langgar.co, berjudul Kebungson dan Leran, Gresik: Tempat Imajinatif bagi Penyair Penghayat Makam, dan masuk sebagai Sepuluh Tulisan Pilihan Langgar 2022. Sejak tahun 2021 hingga 2022, sekitar delapan bulan, sempat menulis kolom untuk rubrik Sastra di portal Gresiksatu.com, sebuah rubrik seni dan budaya yang bersinggungan dengan Gresik.

You don't have permission to register