Fb. In. Tw.

Benda dan Bunyi dalam Sajak Awal Tahun Kompas

Preambul

Media koran masih menjadi salah satu penyumbang penayangan karya sastra terkini dari penulis nasional. Umumnya pada akhir pekan, koran secara rutin memuat karya yang telah diajukan oleh penulis. Redaktur yang menggawangi rubrik sastra seolah menawarkan karya mana yang layak untuk dibaca masyarakat secara umum.

Meski pada akhirnya koran memiliki estetikanya tersendiri, selain dari kecakapan redaktur sastra dalam memilih karya, keterbatasan halaman menjadi penentu karya bisa ditayangkan atau tidak. Hal ini juga yang memengaruhi karya-karya sastra nasional secara bentuk, misal panjang karakter karya sastra, pada umumnya menyesuaikan dengan halaman koran (biasanya batas karya hanya satu halaman). Tidak jarang juga karya yang telah diajukan dipenggal terlebih dulu untuk menyesuaikan tata letak halaman di rubrik sastra.

Di luar hal itu, Katrin Bandel menyatakan bahwa halaman budaya (termasuk rubrik yang menayangkan karya sastra) di koran tidak berdiri sendiri, melainkan numpang gengsi pada korannya, maka kualitas halaman budaya suatu koran ditentukan juga oleh peran koran secara keseluruhan1. Bisa jadi rubrik sastra pada koran tidak dibentuk berdasarkan tujuan tertentu, hanya menjadi pelengkap keutuhan koran.

Persoalan peran media yang memuat karya sastra pernah disinggung oleh Eka Kurniawan. Eka menyatakan bahwa media sastra (atau media secara umum) seharusnya lahir dari satu gagasan besar, dari satu kegelisahan, dan tentu saja kemudian lahir dari satu visi mengenai kesusastraan macam apa yang ingin kita ciptakan? Tanpa itu, beribu-ribu media (jurnal, majalah, atau apa pun) hanya akan menjadi tempat pajangan karya untuk memuaskan ego para penulis saja2.

Tak dimungkiri juga, dengan penayangan rutin setiap minggunya, masyarakat dimudahkan untuk menikmati karya sastra terkini dari penulis sastra. Bagi penulis sendiri, koran menjadi salah satu media yang menguntungkan bagi eksistensinya.

***

Kompas menjadi salah satu koran nasional yang ikut andil meramaikan penayangan karya sastra setiap minggunya. Selaras dengan pernyataan Katrin, gengsi rubrik sastra Kompas pun terbangun didasarkan peran koran Kompas yang berkaliber nasional. Kompas terbilang menjadi media arus utama yang hadir di masyarakat.

Seperti koran lain umumnya, Kompas pun hanya menyediakan satu halaman, baik untuk cerpen maupun sajak. Rubrik yang menayangkan sajak biasanya diisi satu hingga dua penulis setiap akhir pekannya. Meski terbatas, beberapa minggu sebelumnya Kompas berani menayangkan satu sajak Binhad Nurrohmat yang cukup panjang berjudul “Kuburan Imperium3.

Akhir pekan pertama tahun 2018, harian Kompas memuat sajak-sajak dari dua penyair, yaitu Wayan Jengki Sunatra dan A Muttaqin4. Total terdapat sepuluh sajak yang ditayangkan pada rubrik Puisi harian Kompas. Terdapat kecenderungan khusus dari sajak-sajak tersebut, saya akan mencoba untuk membahas beberapa kecenderungan sajak-sajak dari dua penyair di atas.

Memaknai Benda-benda
Lima sajak Wayan Jengki Sunatra mengangkat benda-benda sebagai objek dalam sajaknya, benda tersebut adalah setrika arang, kamera, mesin tik, telepon, dan jam dinding. Selain mengambil bentuk dari benda, kelima sajak tersebut mencoba untuk memaknai peristiwa-peristiwa yang dialami benda.

Sebut saja pada sajak berjudul “Setrika Arang”, pada umumnya jenis setrika ini memang memiliki patung ayam jago di atasnya. Patung itu lalu dipersonifikasikan bahwa ia menunggu tanganmu memasukkan bara, setelah itu gerak setrika yang mondar-mandir dibebani makna sebagai kehidupan yang membosankan. Sedangkan pakaian-pakaian yang disetrika disandingkan dengan kenangan, penyandingan ini dapat dimaknai bahwa setiap gerak setrika, patung itu memiliki ingatan terhadap pakaian-pakaian yang disetrikanya.

Pada bait terakhir, patung ayam tersebut dipersonifikasi lagi bahwa ia berkukuruyuk dari masa lalu/ berharap dunia tidak sekelam/ abu dalam setrika. Onomatope berkukuruyuk pada larik ini, dapat dimaknai sebagai komunikasi atau berbicara, sedangkan pada larik selanjutnya patung itu berharap dunia(nya) tidak sekelam abu dalam setrika, hal ini menjelaskan bahwa harapan itu hadir pada masa lalunya namun kini ia hanya bisa bersetia menunggu tangan yang menggunakannya.

Dalam sajak “Setrika Arang”, terdapat paradoksal yang dialami oleh patung ayam jago, ia merasa bosan dengan hidupnya yang hanya mondar-mandir, sedangkan yang bisa ia lakukan hanyalah bersetia menunggu tangan yang akan menggunakannya lagi.

Hal yang sama terjadi dengan mesin tik pada sajak berjudul sama, yaitu “Mesin Tik”. Mesin tik dalam sajak itu diceritakan bahwa ia bergumam sungguh letih menjadi tua. Kondisi mesin tik sudah tidak digunakan oleh pemiliknya, sebelumnya ia pernah sangat berguna sebagai mesin lahirnya puisi-puisi dan surat-surat. Berbeda dengan setrika arang, mesin tik memiliki harapan yang lebih konkret, ia tak lagi menunggu digunakan, tapi tentu ia siap dilebur dalam tungku api/ lahir kembali menjadi bentuk berbeda.

Sajak berjudul “Jam Dinding” menghadirkan peristiwa yang lebih khusus, jam dinding mengetahui bahwa kau akan pergi dari sebuah beranda. Diksi pergi dalam sajak ini dapat diinterpretasikan sebagai kematian, beranda sendiri menjadi simbol dari hidup. Isotopi tentang interpretasi di atas, dibangun dari frasa denyut nadi dalam larik ia mengasihi denyut nadimu. Meski akhirnya kau dalam sajak tak jadi pergi, dan hanya termangu menatap jam dinding. Berbeda dengan dua sajak sebelumnya, pada bait pertama dijelaskan bahwa senandika jam dinding hanya terjadi dalam halusinasi, dan sajak ini tidak hanya menceritakan jam dinding sebagai benda yang mengalami peristiwa pada umumnya, namun diperluas sebagai jam dinding yang menatap seseorang.

Benda-benda dari sajak setelahnya tidak lagi bersenandika, namun aku hadir berinteraksi langsung terhadap benda terkait. Dalam sajak berjudul “Kamera” terdapat larik aku tak mengenali mataku lagi, aku di sini bukan aku kamera melainkan aku yang menggunakan kamera, hal diperkuat dengan larik lain, tak ada yang lebih indah/ selain matamu, kamera// kucipta gambar dari kelam. Sajak berjudul “Telepon” pun menghadirkan aku yang berinteraksi langsung, dibuktikan dalam larik gagang telepon menempel di kupingku.

Sajak-sajak Wayan, terkesan mudah untuk dipahami, dari benda-benda yang bersenandika atau memaknai peristiwa yang dialami oleh benda-benda. Hal ini disebabkan karena Wayan mengafirmasi peristiwa pada umumnya. Isotopi yang hadir pun dekat dengan objek benda-benda tersebut. Hanya saja penyair menghadirkan peristiwa dengan cara berbeda.

Nada-nada yang dibangun dalam sajak pada umumnya adalah murung, dari penceritaan sebuah benda yang mulai ditinggalkan (“Setrika Arang” dan “Mesin Tik”) hingga tokoh yang menghadapi sesuatu kerisauan (“Jam Dinding”, “Kamera”, dan “Telepon”). Penyair selalu berusaha mengaitkan benda-benda dengan kemurungan.

Membaca Kisah dan Menikmati Bunyi
Dibandingkan dengan sajak Wayan, A Muttaqin menghadirkan sajak-sajak yang lebih personal dan peristiwa khusus terhadap aku dalam sajaknya. Semisal dalam sajak berjudul “Nasi Goreng untuk Abban”. Abban di sini tidak menyempitkan makna pembaca, siapapun Abban, sajak ini menghadirkan isotopi kuliner, khususnya nasi goreng, seperti minyak, telur, teri, kentang, sosis, piring, lapar, dan sebagainya.

Begitu juga pada sajak berjudul “Moto Seorang Santri saat Bertandang ke Warung Kopi”, diksi dari isotopi yang hadir adalah kopiah, kopi, rokok, dan sebagainya. Isotopi ini menjadi penting karena membangun keutuhan meskipun sajak-sajaknya menghadirkan peristiwa yang khusus, dan tidak setiap pembaca pernah mengalaminya.

Hal yang kontras dari sajak-sajak karya A Muttaqin adalah bunyi, sajak-sajak tersebut seolah mementingkan kenikmatan pelisanan dibanding pemaknaannya. Sajak “Nasi Goreng untuk Abban” misalnya, pada bait pertama Minyak dan telur adalah saudara seiman. Mereka saling memandang/ dengan cinta yang cepat matang, tak gampang iri pada teri dan kentang. Bunyi akhir ang terus diulang pada bait ini. Secara pemaknaan, diksi seiman memiliki kode budaya yang kurang diterapkan, konteks yang biasanya hadir dalam frasa saudara seiman adalah persoalan religiositas.

Anggap bahwa minyak dan telur disepertikan sebagai dua orang yang memiliki kepercayaan sama, dan keimanan yang sama membuat mereka mudah jatuh cinta (cepat matang), namun …tak gampang iri pada teri dan kentang, ada apa dengan teri dan kentang? Mengapa harus iri kepada teri dan kentang? Padahal cinta antara telur dan minyak telah cepat matang, seakan pengibaratan dalam bait ini tidak utuh. Di sini kita bisa membaca iri dan teri yang memiliki rima akhir sama.

Pada bait kedua terdapat larik dari udang sementara si udang meminjam kulit sosis agar kau tenang. Kulit sosis yang membuat tenang cukup sulit untuk diafirmasi oleh khazanah pembaca, bunyi akhir ang lagi-lagi diulang dalam bait ini. Bait selanjutnya merupakan repetisi tentang objek-objek yang disaudarakan.

Begitu juga pada sajak berjudul “Perjuangan Mencintai Pagi Hari”, rima akhir -uk berulang pada beberapa bait, misalnya kantuk, kriuk, mengaduk, membungkuk, membujuk, manuk, handuk, dan sebagainya. Meski dari sajak-sajak yang dominan menghadirkan rima ini, kita masih dapat mengikuti benang merah peristiwa yang sedang diceritakan.

Sajak lainnya adalah “Tasawuf Buta Huruf” yang berintertekstual dari Kitab Raja Ali Haji. Sajak Tasawuf Buta Huruf berusaha mengalimatkan aksara Jawa, yang didasarkan pada Kitab Raja Ali Haji tersebut.

Sedangkan pada sajak “Drama Satu Babak”, pembaca digiring pada peristiwa pentas drama yang terkesan vulgar hingga diceritakan pada bait terakhir, Lelaki itu mendekat. Panggung murup redup. Seorang perempuan pemirsa/ membekap mata anaknya. Dua muda-mudi berkecap-kecup. Layar ditutup. Sajak terakhir ini terkesan hanya mewartakan apa saja yang terjadi di panggung dan sekitarnya.

***

Sajak-sajak dari dua penyair yang ditayangkan di Harian Kompas memiliki gaya yang berbeda. Kecenderungan dari sajak-sajak tersebut kurang lebih adalah memaknai benda-benda atau mengoptimalkan unsur bunyi dalam sajaknya. Sajak-sajak di atas lebih mengangkat tema-tema yang bersifat personal dan menjadi refleksi terhadap diri sendiri, bukan bersifat kritik terhadap kondisi sosial.

Mari kita baca sajak-sajak yang akan tayang di harian Kompas selanjutnya, dan melihat apakah Kompas menjawab keresahan Eka Kurniawan, yakni kesusastraan apa yang akan kita ciptakan?[]

  1. Disarikan dari kumpulan esai Katrin Bandel berjudul Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas (2013) halaman 16.
  2. Mengutip jawaban Eka Kurniawan tentang media sastra, dapat dilihat di https://ekakurniawan.com/journal/tanya-jawab-media-sastra-6731.php
  3. Dapat dilihat di rubrik Puisi harian Kompas tanggal 2 Desember 2017.
  4. Dapat dilihat di rubrik Puisi harian Kompas tanggal 6 Januari 2018.

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register