Fb. In. Tw.

Studi Selat Sunda: Mempelajari Ruang dan Waktu

Studi Selat Sunda berawal dari perbincangan di bawah pohon besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. Ketika Rewind Art Fest Performance Art #15 sedang berlangsung, Edi Bonetski, Ferial aka Ana, Ridwan Rau Rau, dan saya sendiri menyaksikan performance dalam acara tersebut, dan bicara panjang lebar tentang keinginan membuat peristiwa yang cukup asing dan sensasional. Keinginan mengarungi sebuah lautan besar dengan kapal yang besar pula, dan tentu saja performance diatasnya. “Kita lakukan diatas kapal ferry” “ujar Ridwan Rau Rau mengakhiri kesepakatan.

Akhirnnya diberi nama Studi Selat Sunda. Petistiwa performance art 24 jam di atas kapal (14 /01/2017). Para performer dari Bekasi, Jakarta, Bandung, Jogja, Lampung, bahkan Hungaria dan Vietnam mengikuti program ini. Studi Selat Sunda bukan hanya untuk seniman-seniman performer saja, tetapi siapapun yang sekadar ingin menikmati perjalanan Merak-Bakauhuni-Merak, para fotografer yang haus pertunjukan dan pemandangan laut ikut serta dalam kegiatan ini. Tanpa undangan khusus, semua bisa datang dan menikmati Studi Selat Sunda. Belajar bersama diatas kapal Ferry, diatas selat Sunda, berbagi cerita menikmati seni pertunjukan diatas kapal.

Pada hari Sabtu (14/01/2017), kami bertemu di Pelabuhan Merak. Ada yang berangkat dari kotanya secara berkelompok, ada juga yang perorangan. Senja pertemukan kami semua dalam sebuah diskusi tentang konsep yang nanti kami tampilkan di atas kapal. Pembicaraan dimulai  dari bagaimana situasi kapal. Banyak dari kami tidak tahu bahkan tidak pernah naik kapal. Artis performance yang pernah menaiki kapal membagi pengalaman mereka. Ketakutan kami adalah tenggelam dan tidak bisa berenang, semua sangat hawatir tentang hal itu.

Pukul 8 malam, kami memutuskan untuk mencoba naik kapal pertama, menyesuaikan ruang dan audien diatas kapal sambil menunggu artis performance yang belum hadir. Kapal ini tidak terlalu besar dan cukup sederhana, jadi kapal bergoyang hebat dan perut kami lumayan dikocok ketika itu. Pelan-pelan kami mulai beradaptasi dengan situasi kapal. Kami memilih ruang yang tepat untuk merespon ruang kapal nanti.  Kapal pertama sungguh sangat berisik dari bunyi mesin, dan orang-orang yang sedang bercakap-cakap. Setelah penyesuaian dan pemilihan ruang telah kami dapatkan, kami beristirahat turun di pelabuhan Bakauhuni untuk makan dan merumuskan konsep untuk kapal kedua yang akan kami naiki.

Kami membeli tiket kedua dan bergegas menuju dermaga tiga, dermaga khusus kapal-kapal besar. Kapal feri Adinda Windu Karsa berlabuh di hadapan kami. Di atas kapal ini kami konsep ulang selama15 menit untuk kembali merasakan ruang. Ada tiga lantai yang begitu besar, kami hanya memakai dua lantai saja yakni lantai dua dan lantai tiga. Performance dibuka di lantai tiga oleh pasangan romantis Arief Dermawan aka Nganga dan Dewi Lasmy. Mereka bermain kapal kertas yang terhubung benang jait, dibantu oleh ferial aka Ana. Aku seperti kembali ke masa kanak melihat performance mereka. Audiens saat itu melihat heran pertunjukan ini.

Performance tidak dibatasi waktu, artist performance dari Hungaria memilih long duration. Mereka bercerita tentang perjalanan Tupaia. Dua perempuan membuka kelapa satu persatu dan seorang lelaki terus membaca buku hingga kapal berlabuh. Performance disusul oleh Komet Raden Roro, disini saya melihat simbol ketakutan yang sangat lepas. Ia memakai kain putih dan kepala diikat dengan kain merah, sambil membawa timbangan kecil di tangan kiri dan pedang kecil di tangan kanan sambil berjalan mengitari lantai tiga dan turun ke lantai dua merespons ruang dan audiens yang sedang asik ngobrol dengan sanak dan saudaranya. Komet kembali kelantai tiga dan berdiri diam sambil memegang kedua simbol itu di belakang menara kapal.

Performance keempat adalah Riyadhus Shalihin dengan pakaian serba putih dan gulungan benang terlepas terhempas angin. Benang itu sampai ke auidens secara acak. Selanjutnya Ferial aka Ana performance di lantai dua tempat orang-orang duduk-duduk santai menikmati suasana di ruang terbuka. Ia mengenakan karung satu persatu dan menempelkan tubuhnya secara terbalik ke tembok dekat tangga. Edi Bonetsky  ikut turun performance juga dilantai ini dengan membuat perahu kertas dari yang kecil sampai perahu yang lumayan besar. Angin menerbangkan perahu-perahu kecil. Ia memegang dan memainkan perahu yang lumayan besar itu dikedua tangannya sambil menggiring telur dihadapannya serupa anak kecil yang bahagia. Di lantai dua ini benang yang berwarna biru melayang-layang sontak saya respon dengan membacakan sajak.

Di lantai tiga, Reynaldo dan Jante menaiki menara dan memasang artefak di atasnya. Saat itu ada sedikit gangguan dari keamanaan kapal. Dua polisi kapal berbadan tegap datang ke lantai tiga dan menanyakan kegiatan kami, disini kami menjelaskan dengan sangat hati-hati. Tentu saja sebelumnya kami tidak izin pada pihak kapal. Keamanaan menegur kami dengan bijak, menyampaikan naik ke menara. Jante dan Rey diperintahkan untuk turun dari menara karena dari pihak kapal takut terjadi hal yang tak terduga. “Kalian boleh melakukan seni pertunjukan disini asal tidak mengganggu kenyamanan penumpang lain, jika penumpang lain mulai merasa risih dengan keberadaan kalian, maka sebaiknya sudahi seni pertunjukan ini” ujar dua polisi kapal. Grup yang menaiki  Menara itu bernama Cau Pisang Banana terdiri dari Bakrie, Reynaldo, dan Jante.

Peserta Studi Selat Sunda berfoto bersama di atas kapal.

Peserta Studi Selat Sunda berfoto bersama di atas kapal.

Tidak terasa waktu sudah sangat cepat sekali mengantarkan kami dari Bakauhini ke Merak. Di kapal kedua ini kami baru mengerti tentang ruang dan waktu. Bagaimana penyesuaian angin yang kencang dan pemanfaatan waktu tempuh. Di kapal yang besar ini waktu tempuh dari bakauhuni-merak hanya 1 ½ jam saja. Jadi kami dibatasi waktu ketika itu. Kami mesti pandai memanfaatkan ruang dan waktu dengan efisien.

Kapal berlabuh, kami membeli tiket ketiga untuk menghemat waktu. Beberapa peserta ada yang memutuskan pulang, seperti pasangan suami istri Arief Dermawan dan Dewi Laksmy, Umay, dan Fikry. Dayax dan Julia Tetuko harus kembali ke Jakarta pagi ini, Vincent Rumahloine harus kembali ke Bandung, dan Le Giang (Vietnam) akan ke Yogyakarta. Kami meninggalkan mereka di pelabuhan Merak dan kembali membeli tiket ketiga tujuan Bakauhuni.

Kami sudah mengerti keadaan dalam kapal feri yang besar, dari kapal kedua kami benyak belajar tentang ruang, audiens dan cuaca. Cuaca yang tiba-tiba gerimis kecil dan angin yang kencang karena perfromance art dilakukan di luar ruangan. Di kapal ketiga, kapal Virgo 18 yang sama besarnya dengan kapal sebelumnya kami mulai membentuk konsep kembali untuk memanfaatkan ruang dan waktu. Kami sadar jarak tempuh 1 ½ jam untuk sampai ke Bakauhuni. Lantai tiga tidak bisa digunakan penumpang kami akhirnya memanfaatkan lantai dua saja.

Ketika kapal mulai melaju, Riyadhus Shalihin membuka ruang perfromance dengan membuka gulungan benang dan menghempaskannya. Benang melayang sangat jauh ke belakang kapal seperti anak-anak menikmati layang-layang. Ridwan Rau Rau memilih di pojok lantai dua kapal, menduduki tempat sampah sebagai kursi, dan memasukan beberapa cotton bud di kedua telinganya. Ia menikmati sekali situasi kapal, membungkus kepalanya dengan keranjang salak sambil membuka salak satu persatu lalu memakannya. Kemudian Jante mulai merespon apapun yang dilihatnya. Ferial pun ikut merespon Riyadhus Shalihin dengan menggulung benang ke tubuhnya. Dendi mulai lari-lari kecil dengan meminta tas audiens kemudian dikenakan di punggungnya sehingga memikul banyak tas. Ia seperti menikmati olahraga pagi diatas kapal dengan beban yang berat. Kemudian Resyaldo merespon ruang dengan jalan kayang sambil memainkan harmonika dan bernyanyi Indonesia Pusaka di sisi kapal.

Bakri mulai panik dengan keadaan sekitar yang sudah chaos dengan seni pertunjukan. Ia mengambil kelapa dan laptop lalu berjalan menyeret tubuhnya sambil tiduran dengan menyanyikan lagu karya Ismail Marzuki “Indonesia Pusaka”. Di sini Bakri jadi pemantik audeins, ia mengelilingi kapal lalu turun tangga sambil menyeret tubuhnya pelan-pelan. Saya mengambil ruang dibawah tangga lantai dua, menandai area dengan tambang dan menjadikannya simbol. Saya mengikat lonceng kecil di kedua jari tengah, kemudian menggulung  tubuh dengan plastik dan menyemprotkan pilox ke plastik itu.

Audiens hanya sedikit di kapal ini. Jadi kami bisa eksplore ruang dengan sangat bebas. Di lantai dua itu juga Haryo Utomo performance dengan membuka sepatu kanan dan melibatkan audiens. Banyak audiens yang diminta membukakan sepatunya sebelah dan ditukarkan dengannya. Kemudian audiens diminta memakainya. Performance art Haryo sangat menarik, saya meresponsnya dangan menggulung tubuh dengan plastik dan tambang kemudian membacakan sajak. Rupanya performance Haryo adalah penutup dari Studi Selat Sunda.

Di sini kami sangat belajar memanfaatkan ruang publik khususnya di atas kapal, kami memahami situasi kapal dan penumpang, terutama waktu tempuh perjalanan Merak-Bakauhuni-Merak dengan segala cuacanya. Kami tiba di pelabuhan Bakauhuni pukul 6 pagi. Kami tidak istirahat sama sekali, hanya duduk-duduk menikmati sisa perjalanan dan pelajaran. Selanjutnya Studi Selat Sunda akan dibuat zine untuk dokumentasi. Di dalam media itu, kami akan membahas lengkap konsep performance art dan pelajaran yang kami temukan dari Studi Selat Sunda. Semoga Februari karya-karya kami segera terbit dalam bentuk zine. Salam dari para pemburu Selat Sunda.[]

Post tags:

Bergiat di KOLONI HITAM performance art.

You don't have permission to register