Fb. In. Tw.

Puisi yang Bekerja dalam Lukisan

Pameran Seni Rupa bertajuk Puisi dibuka dengan sangat menarik di The Huiss Gallery (19/12/2015). Sebuah pandangan dari para pembicara dalam pembukaan itu mencuri perhatian saya. Terutama wacana yang ditawarkan Heru Hikayat tentang conseptual art karya Joseph Kosuth berjudul “One and Three Chairs” (1965)[1]. Sebuah penjabaran ide tentang kursi yang divisualkan dalam tiga bentuk, yakni bentuk kursi sesungguhnya, bentuk foto kursi tersebut, dan definisi kamus tentang kursi.

Heru mengatakan, “Mana yang sebenarnya kursi?” Yang jelas kursi dalam karya Joseph Kosuth ditangkap dalam tiga struktur, tiga makna, dan tiga sudut pandang yang berbeda. Bagi saya, relasi dari tiga sudut pandang tersebut yang menjadi menarik tentang kaitannya dengan pameran seni rupa bertajuk Puisi karya Ahmad Faisal Imron.

Conseptual Art karya Joseph Kasuth tersebut menawarkan gagasan tentang perpindahan struktur kursi pada ruang lain, media lain, sehingga kursi mengalami mutasi gagasan. Lebih khususnya, tiga gagasan tersebut telah menyudutkan kursi dari kursi yang umum dan interpretatif menjadi sebuah foto kursi dalam satu penjara potret dan kursi dalam penjara bahasa yang definitif. Gagasan kursi menjadi lebih khusus dan segmentatif.

Relasi dari ketiga sudut pandang tersebut menjadi jembatan bagaimana Joseph berbicara tentang kursi, sekaligus memberikan ruang bagi audiens untuk mendefinisikan kembali kursi yang telah lama mereka pahami. Pertanyaannya, apakah Ahmad Faisal Imron (AFI) bermaksud untuk menawarkan definisi baru tentang batas-batas puisi dan rupa dengan membenturkan keduanya dalam satu frame yang sama? Atau dalam bahasa Diyanto sebagai kurator pameran tersebut menyebutkan, “Melabilkan batas antara lukisan dan puisi.”

Secara pribadi, saya menyenangi pameran ini, sebab lukisan abstrak ekspresionis AFI memiliki muatan bahasa yang mempermudah saya menemukan pintu masuk dalam lukisannya. Bahasa tersebut terletak pada judul lukisan dan bait-bait puisi yang tercoret rapi, acak, dan bahkan kabur di dalam lukisannya.

Batasan yang Membebaskan
Merujuk pada buku Sanento Yuliman dalam Seni Lukis Indonesia Baru (1976), seni abstrak dimulai pada tahun 1950 dan marak pada tahun 1960 dengan sebuah gagasan bagaimana representasi atau objek dipandang dalam sudut pandang mikro dan makronya. Seperti pada karya Sadali dan Fajar Sidik, terkadang kita tidak menemukan objek pada lukisannya, hanya sebuah lanskap atau suasana abstrak yang dibangun dari bentuk dan garis yang teratur dan artifisial yang rupanya merupakan bentuk mikro dan makro dari objek tersebut. Setelahnya, seni rupa kita menampilkan ekspresi dalam lukisan dengan tanpa mengacu pada satu objek atau representasi tertentu. Sehingga lukisan benar-benar sebagai permainan komposisi garis, bentuk, dan warna.

Lukisan AFI tentu saja adalah lukisan yang masih dapat kita kenali objek-objeknya. Seperti pada lukisan “Senja Terakhir” yang menampilkan 5 fragmen lukisan dimana terdapat citra selangkangan dan kaki, wajah dan kepala beserta isinya, sepasang sepatu beda warna, pinggul dan payudara, rumah, berpadu dengan sapuan kuas yang kasar berwarna putih, merah, hitam, kuning, bercampur pula dengan bentuk spiral, lingkaran, lelehan cat, tanda silang, dan tentu saja puisi berjudul “Senja Terakhir”.

Bahasa menjadi suatu batasan kepada audiens dalam menikmati lukisan AFI. Misal dalam lukisan berjudul “Senja Terakhir” yang menampilkan citra selangkangan dan pinggul seorang perempuan pada dua fragmen lukisannya. AFI seolah ingin mengantar kita pada sebuah eksotisme tokoh kamu dalam puisi “Senja Terakhir” tersebut. Atau paling tidak, terdapat visualisasi eksotisme perempuan di dalam lukisannya. Bahasa dalam puisi tersebut telah tervisualisasikan oleh pilihan objek yang terdapat di dalam lukisan.

Namun kita juga jangan melihat puisi di dalam lukisan AFI sebagai makna bahasa saja, tetapi ada bangun rupa atau bentuk yang membangun bahasa tersebut di dalam kanvas. Puisi tersebut disusun dalam susunan dan penempatan tertentu yang memperkuat ekspresi lukisan. Selain itu pemilihan warna teks, bentuk teks yang berhuruf kapital atau tulisan elok, juga besar dan kecil, tipis dan tebal tulisan yang seolah ingin menyampaikan sebuah ideologi huruf[2] dimana hal tersebut sangat mempengaruhi pembaca. Seperti yang juga disinggung AFI dalam pengantar pamerannya sebagai kerja bahasa tulis di dalam kehidupan kita sehari-hari.

Bahasa dalam bentuk puisi kata AFI, memiliki singgungan dengan seni rupa. Dimana puisi harus melukiskan, dan sebuah lukisan harus mengandung unsur puitis. Irisan itu bagi saya dalam lukisan AFI perlu menjadi sorotan. Bagaimana sebuah lukisan mampu menyampaikan kepuitikan sebuah puisi dan puisi mampu mengkatrol sebuah lukisan pada satu makna tertentu.

Tentu saja makna lukisan akan terbatasi oleh bahasa sebab bahasa dengan sistem tandanya adalah konvensi yang selalu membawa pembaca pada satu jalan makna yang relatif sama. Sementara warna, bentuk, garis, terkadang labil menyampaikan relasi maknanya. Maka lukisan selalu menawarkan ruang kosong yang bebas untuk membawa audiens pada satu kesan dan perasaan yang bermacam-macam.

Namun, melihat itu, bagi saya, puisi pun memiliki ruang kosong bagi audiens untuk memasukinya dalam multiinterpretasi teks. Meski puisi memiliki batasan pada makna konvensi, ruang kosong di dalam puisi selalu hadir sebab puisi adalah bentuk lain dari konvensi bahasa yang hadir dalam kehidupan sehari-hari audiens. Maka dapat ditarik garis pengertian, puisi dan lukisan di dalam karya AFI menawarkan ruang kosong yang terkadang saling mengisi dan juga melepaskan.

Dikatakan mengisi, saat setiap visual dalam lukisannya mencoba menghadirkan lanskap puisi, dan puisi mencoba menghadirkan tanda-tanda ekspresif dan abstrak dalam lukisan. Dikatakan pula melepaskan, sebab bisa saja kita memandang puisi dan lukisan dalam fram karya tersebut berdiri sendiri dan setiap medan estetiknya menciptakan gagasan baru atau entitas gagasan baru.

Kerja kolaborasi ini dalam sebuah lukisan abstrak ekspresionis kerap saya cermati dalam lukisan Jean Michael Basquiat. Lukisan ekspresionis yang tentu saja mengedepankan ekspresi pelukis dan selalu memiliki suasana didaktis. Dimana gagasan di dalam lukisan selalu dimunculkan lebih untuk mendukung satu gagasan tertentu. Seperti pada lukisan Basquiat berjudul Leeches (1983) yang dalam bahasa Indonesia berarti lintah darat. Terdapat tulisan di dalam lukisan POWER + MONEY (VALUE). Tulisan tersebut ditulis dengan huruf kapital yang menandai ketegasan, juga relasi dengan visualisasi kepala manusia bertanduk seperti setan dengan judul lintah darat menegaskan sebuah makna didaktis, sebuah sikap kritik terhadap praktek penghisapan yang dilakukan rentenir. Dimana kekuasaan dan uang yang dimilikinya merupakan nilai.

Begitu pun puisi di dalam pameran lukisan AFI yang berlangsung dari tanggal 19-26 Desember 2015 tersebut. Puisi menjadi corong bagaimana sikap AFI terhadap tema-tema yang ia angkat, tentang puisi, titik ba, alis sriti, senja terakhir, langit lembur awi, ruang tunggu, uzlah, judul-judul lukisan itu membawa kita pada ruang pikir, objek, latar, peristiwa, yang dihadirkan dalam bentuknya yang puisi, yang terkawal makna puisi, yang terikat sekaligus bebas, dan kebebasan itu hadir dalam lukisannya, sebuah lanskap atau entitas gagasan baru yang siapa saja bisa memasukinya dengan cukup melihat puisi itu bekerja (baca: menerjemakan dirinya) dalam lukisan.[]

[1] https://en.wikipedia.org/wiki/One_and_Three_Chairs

[2] Meminjam bahasa Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah esai Metasusastra dan Ideologi Huruf  tentang ideologi huruf dalam cerpen Nukila Amal berjudul Hari Anya Jatuh Cinta . Esai tersebut termaktub dalam Jurnal Kritik Edisi 4 Penerbit Komodo tahun 2012.

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register