Fb. In. Tw.

Menyoal #KamiTidakTakut

Kamis (14/1/2016), pukul 11.07 WIB, notifikasi dari Detik.com muncul di layar ponsel saya. Ada bom meledak di Sarinah, katanya. Saya tidak peduli dan meneruskan pekerjaan saya. Kemudian, notifikasi lain muncul dari Whatsapp. Hampir semua grup Whatsapp yang saya ikuti membicarakan itu dan mulai memunculkan foto-foto mengerikan. Saya baru sadar bahwa ini bukan bom tak bertuan.

Banyak orang menyarankan untuk tidak pergi ke McDonald, Starbuck, Burger King, Pizza Hut, dan tempat-tempat lainnya yang berbau Amerika. Sungguh nahas, rencana makan siang saya dengan cheese burger hancur gara-gara teroris. Terpaksa saya tinggal di rumah, menyuruh adik saya untuk membeli nasi padang. Sebenarnya, sampai saat itu rasa takut belum menyergap saya. Saya masih cukup tenang.

Saya lantas menyalakan televisi dan membuka beberapa saluran dalam dan luar negeri. Ternyata benar, ini bukan teror sembarangan. Selain ledakan, ada baku tembak antara polisi dan pelaku teror. Beberapa polisi bersembunyi di balik mobil dan mengarahkan senapannya ke Gedung Sarinah. Tidak terlalu jelas memang, tapi saya melihat seorang polisi terkapar di jalan. Mungkin ia terluka atau sesuatu yang lebih buruk terjadi padanya.

Beberapa saat kemudian, ledakan terjadi tiga kali. Ledakan pertama seperti suara petasan. Ledakan kedua benar-benar mematikan pelaku teror tersebut. Beberapa orang dalam rekaman itu terkejut. Seseorang berkata, “Kena sendiri!” Sedang yang lainnya bilang, “Bunuh diri dia!” Barangkali sudah tak ada kesempatan lagi untuk melawan, pelaku teror itu menekan pemicu bom untuk dirinya sendiri, meledakkan dirinya sendiri. Ini sangat tragis. Bom ketiga membuat seseorang dalam rekaman itu berkata, “Allahuakbar!”

Saat itu saya di rumah dan rumah saya berjarak 60 km dari Jakarta, menurut GPS, 50 menit dari lokasi tragedi. Namun, ketakutan itu tiba-tiba terkirim dengan cepatnya ke pikiran saya. Apa yang sebenarnya terjadi. Saya hanya bisa menduga-duga. Jangan-jangan mereka ada di sekitar saya. Jangan-jangan rumah kosong di sebelah rumah saya didiami oleh seorang perakit bom. Jangan-jangan ketika saya tengah jalan-jalan di mal, bom mendadak meledak; menghancurkan tubuh saya menjadi seperti kornet. Gambaran-gambaran mengerikan muncul dalam pikiran saya, bersamaan dengan itu, ketakutan menjadi semakin nyata.

Saya tidak punya Facebook dan Twitter tapi saya dengar netizen bereaksi atas kejadian itu. Tagar PrayForJakarta muncul sebagai tagar yang paling populer di dunia. Disusul tagar-tagar lainnya seperti #Indonesiaunite, #SafetyCheckJKT, #Jakarta, dll. Namun, tagar yang menjadi perhatian ialah tagar KamiTidakTakut. Tagar tersebut disusul—atau entah siapa yang duluan—dengan pernyataan Presiden Jokowi, “Negara, bangsa, dan rakyat Indonesia tidak boleh takut dan tak boleh kalah oleh aksi teror.” Saya kira itu pernyataan yang pas dan menguatkan hati.

Hal yang menjadi pertanyaan, “Apakah benar kami tidak takut?” Dalam pada itu, saya berasumsi bahwa ketakutan itu pasti ada dalam pikiran masyarakat Indonesia, namun tagar tersebut dengan sukses merepresi ketakutan itu—meski itu belum sukses merepresi ketakutan saya. Menurut beberapa media massa, tagar tersebut ditujukan kepada pelaku teror. Itu sebagai bentuk pernyataan bahwa “Kami tidak takut!” selain untuk menjaga nilai tukar rupiah dan IHSG—sedikit agak konyol kedengarannya. Namun, hal yang pasti, pesan tersebut telah menyentuh ribuan orang untuk berani melawan terorisme.

Independent mencatat itu sebagai sebuah tantangan dari orang-orang Indonesia kepada terorisme. Ini benar-benar sebuah pesan yang mengesankan dan heroik. Kembali lagi pada pertanyaan, “Apakah benar kami tidak takut?” Beberapa menit yang lalu (pukul 20.53 WIB) muncul petisi dari Pandji Pragiwaksono melalui Change.org. Ia menyatakan bahwa ia takut, namun ia mengajak masyarakat untuk menaklukkan ketakutan itu secara bersama-sama. Menurutnya, “Keberanian itu menular.” Sampai pada saat ini, sekurang-kurangnya, ada dua orang yang mengaku takut, saya dan Pandji.

Kembali lagi ke pertanyaan semula, “Apakah benar kami tidak takut?” Ternyata sebagian dari kita ada pula yang memang benar-benar tidak takut. Seorang fotografer dari AFP menangkap suasana ketika terjadi baku tembak. Foto tersebut memperlihatkan beberapa polisi yang tengah mengambil posisi (berlindung) di balik mobil. Sementara itu, di latar foto tersebut terlihat kerumunan massa yang tengah menonton aksi para polisi seperti menonton syuting film aksi atau video klip “Bintang di Surga” Peterpan. Sebuah risiko besar berani ditanggung oleh kerumunan massa tersebut. Peluru sangat mungkin menyasar ke tubuh mereka dan itu telah terbukti; satu orang tewas dalam kerumunan massa sesaat ketika pos polisi di depan Gedung Sarinah diledakkan.

Pada tahap ini jelas, “Kami tidak takut!” Beberapa orang tertangkap tengah berswafoto di dekat lokasi kejadian dengan wajah tersenyum. Para pedagang buah dan kopi pun masih menjajakkan dagangannya di sana. Seorang pengendara sepeda hendak melintas lokasi tragedi. Untung saja polisi dapat menghentikannya, meski pengendara sepeda itu sempat menghindar. Seorang netizen memotret seorang pedagang sate tengah membakar beberapa tusuk sate di sana. Netizen itu mengatakan, “This is Jakarta! You (baca: pelaku teror) can’t terror Jakarta people! Fear is not in our dictionary!

Entahlah, kita ini agak konyol atau apa. Ya, barangkali orang Indonesia punya cara sendiri dalam menghadapi tragedi. Mungkin kita tidak sama dengan orang-orang Prancis atau Amerika. Kita tidak perlu berharap ada yang menaruh karangan bunga dan lilin di lokasi tragedi atau menangis dan berdoa sepenuh hati di sana. Kadang-kadang ini seperti lelucon tapi seringkali lelucon itu tidak lucu.

Ingatkah kita, ketika pesawat Hercules jatuh di Medan di bulan Ramadan tahun lalu, para warga malah berswafoto di lokasi tragedi dengan senyum simpul. Foto dengan latar puing-puing pesawat dan dua orang yang tengah tersenyum adalah ironi dan keindahan yang tragis. Mungkin kita tidak perlu menangis sesegukan, namun kita juga tidak perlu berlaku seolah tidak ada tragedi yang terjadi.

Ada dua hal: (1) ketidaktakutan dan (2) cara kita dalam menghadapi tragedi. Pada satu momen, keduanya adalah hal yang berbeda. Namun pada momen lain, keduanya bisa saling berhubungan. Cara kita menghadapi tragedi menunjukkan bahwa kita tidak takut. Bukan keberanian, tetapi rasa penasaran dan keinginan untuk eksis telah mengabaikan ketakutan kita. Ya, meski ketidaktakutan seperti ini adalah ketidaktakutan yang tidak esensial dan fana.

Baiklah, meski tidak esensial dan fana, sekurang-kurangnya itu semua menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia “tidak takut”. Anggaplah, bos teroris telah gagal menciptakan ketakutan dalam pikiran masyarakat Indonesia. Mungkin sampai paragraf terakhir ini saya sudah menjadi berani. Ya, saya berencana makan cheese burger untuk makan siang berikutnya. Tentu saja saya akan menggunakan layanan pesan antar agar lebih aman. Barangkali akhir pekan ini saya akan mengajak istri saya ke Gedung Sarinah. Kami akan berswafoto, senyum-senyum di tempat orang mati, tentu saja tidak lupa menulis tagar KamiTidakTakut.[]

 

Comments
  • Wishu Muhamad

    Keren pisan tulisan langgeng ini.. saya suka, saya suka.

    30 Januari 2016

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register