Fb. In. Tw.

Florence Foster Jenkins dan Prasangka yang Membunuh

Diangkat dari kisah nyata seorang perempuan fenomenal yang hidup pada awal Abad ke-20 di New York, Amerika Serikat. Florence Foster Jenkins berkutat dalam informasi, betapa penting dan gentingnya pendapat dan prasangka orang lain. Ia mampu membunuh sekaligus menghidupkan gairah seorang manusia untuk tetap bertahan hidup di dalam dunia yang absurd ini.

Selama 110 menit, film arahan Stephen Frears ini membawa kita kepada ambiguitas nilai moral modernisme, menyajikan konfrontasi antara praktik politik dan musik serta cinta dan prasangka. Florence Foster Jenkins, tak cukup dideskripsikan dengan kata benar-salah atau baik-buruk, dsb.

Kenyataan bahwa karier keaktorannya tidak begitu bersinar, membuat St. Clair Bayfield (Hugh Grant) menyadari tirani ambisi pribadinya. Perselingkuhannya dengan Kathleen (Rebecca Fergusen) serta posisinya sebagai suami sekaligus manajer, yang harus memenuhi segala kebutuhan duniawi konglomerat Florence, menghadirkan karakter St. Clair Bayfield sebagai laki-laki realis.

Ambisi dan egoisme martabatnya sebagai laki-laki dalam budaya patrialkal Abad 20an itu, tidak membutakan matanya untuk mengambil jalan alternatif dalam menyikapi laku kerja kehidupan yang sebenarnya. Satu-satunya aspek non-realis dalam karaktek seorang St. Clair Bayfield ialah kejujuran perasaan dan cintanya kepada Florence Foster Jenkins.

Yang dimana, lagi-lagi, entah kenapa? Belakangan ini selalu digambarkan, dalam berhubungan dengan seorang wanita, tokoh pria dalam film-film Hollywood yang penulis konsumsi

Seperti St. Clair, Cosme McMoon Simon Helberg juga merupakan seorang pianis dan komposer muda yang tak begitu bersinar. Sampai akhir hayat, satu-satunya karier bermusik yang bisa dibanggakan dari pria penyuka sesama jenis ini hanyalah ketika ialah bersama Florence Foster Jenkins, bermain piano di Carnegie Hall.

Seperti La La Land, entah kenapa? dalam berhubungan dengan seorang wanita, tokoh pria digambarkan harus memilih antara; menurunkan derajat ketinggian ambisi dan egoismenya atau memilih fokus pada tujuan dan mimpinya –meski harus berpisah dengan sang kekasih, dalam rangka mewujudkan mimpi dan/atau keinginan hidup sukses dan sejatera. Dalam hal ini, tuan McMoon (22 Februari 1901–22 Agustus 1980) dan St. Clair Bayfield (2 Agustus 1875–19 Mei 1967) memilih yang pertama.

It happened last night, Florence Foster Jenkins – The worst singer in the world ?
Prasangka. Suatu proses lumrah yang terjadi di dalam pikiran manusia ini merupakan respon kognitif setiap individu dalam melihat individu/sistem nilai lain diluarnya. Ia adalah gambaran dalam pikiran, yang mempermudah individu dalam mengkalsifikasikan, berfikir, bersikap, serta menilai bagaimana individu/sistem nilai diluarnya beroperasi. Dan pada umumnya, hasil penilaian tersebut tidak berlangsung dalam pemaknaan atas ke-kompleksitasan suatu individu, tetapi lebih melibatkan mereka dalam kalsifikasi penyederhanaan (in-group atau out-group) yang hasilnya cenderung negatif, berpendapat dan bersikap melampaui bayangan individu tersebut (rasisme, seksisme dan prilaku intoleran lainnya).

Lalu, bagaimana individu dapat mengklasifikasikan suatu hal yang kehadirannya melampaui kehadiran fisik, yang dimana nalar sendiri pun tak cukup mumpuni untuk mengidentifikasi wujud tersebut?

Tayang perdana di London tanggal 12 April 2016 lalu, Florence Foster Jenkins menyentil isu klasik –lebih kurang eksis sejak 14.000 tahun lalu- tersebut dalam wujud asalinya, komedi. Seolah menisbikan, “Dunia hanya panggung sandiwara, penuh senda gurau”. Bukan tuhan, moral atau agama melainkan musik dan prasangka.

“Aku tidak pernah melihat orang yang begitu menyedihkan, menyombongkan diri cerminan egoisme dalam hidupku. Ini sangat sulit untuk dimaafkan.”

“Musik itu penting, tidak seharusnya menjadi ejekan.”

Ialah Earl Wilson (3 Mei 1907–16 January 1987). Film yang ditulis Nicholas Martin ini menempatkan Christian McKay –jurnalis jujur dan bersih, sebagai seorang antagonis. Tokoh dengan porsi minim namun berperan besar dalam keseluruhan cerita.

Melihat ketanaran dan pemberitaan “sempurna” Florence oleh media massa luas, membuat New York Post mengutus seorang wartawan untuk menyaksikan langsung penampilannya. Earl bersama ribuan orang lainnya di Carnegie Hall mampu mengidentifikasi dengan cepat dan jelas, bahwa kemampuan bernyanyi Florence tidak cukup mumpuni.

Wujud keantagonisan Earl sebagai wartawan yang kritis itu, menyebabkan tokoh yang kita sayangi dalam film ini berakhir tiada. Atas nilai-nilai yang dianutnya, kehadiran Earl membawa kita kembali kepada realitas, mengkritisi kembali segala mitos pengisahaan Florence Foster Jenkins. Bahwa di balik seluruh ‘pembiasaan’ praktik politik praktis St. Clair Bayfieild, gangguan tatanan nilai moral, serta efek empatik yang hadir dalam rangka mewujudkan impian istrinya itu, madam Florence merupakan stereotipe perempuan konglomerat – sosialita, yang hanya berurusan dengan budaya dan tata krama kelas bangsawan, tanpa pernah benar-benar bersentuhan dengan realitas sebenarnya. Perempuan manja, yang hanya melakukan apa yang ia ingin, tanpa mampu menerima kritik maupun pecegahan orang lain.

Namun di balik itu semua, laporan Carnegie Hall oleh Earl Wilson yang jujur dan beralasan itu, menyisakan perspketif lain yang semestinya harus diinformasikan pula di dalam tulisannya; ke-kompleksitasan pribadi seorang Florence Foster Jenkins.

Ketika disimak lagi dengan seksama, disetiap penampilannya, madam Florence sesungguhnya menghadirkan sesuatu yang kehadirannya melampaui kehadiran fisik yang sukar teridentifikasi oleh nalar saja. Seolah ada sesuatu di dalam dirinya, yang ketika itu dikonsumsi dengan bijak, ia mampu menghadirkan suasana lian –­joyness. Carnegie Hall membuktikan itu, Florence mampu membuat semua orang tetap nyaman menikmati penampilannya walau suaranya begitu menganggu kesehatan telinga. Florence menghadirkan musik sebagai sesuatu yang dimana, aspek duniawi tak cukup memadai untuk menerjemahkan itu semua. Musik tidak hanya semata persoalan ketepatan nada, harmonisasi dsb. melainkan menyoal jiwa dan penyampaian perasaan.

Meryl Streep, aktris brilian nan berumur ini memerankan tokoh autobiografi yang bernama asli, Narcissa Florence Foster (19 Juli 1868–26 November 1944). Seorang pianis berbakat pada masa mudanya, dengan julukan “Little Miss Foster” ia pernah bermain piano di hadapan Presiden Rutherrford B. Hayes di Gedung Putih.

Larangan dari sang ayah serta kenyataan bahwa kariernya sebagai pianis harus berkahir karena tangan kirinya tak lagi mampu menyentuh paino akibat virus sipilis yang ditransfer dari suami pertamanya, Dr Frank Thornton Jenkins tidak menyurutkan sedikitpun hasrat dan ambisinya dalam bermusik.

Berjuang hidup dengan sipilis selama 50 tahun dan keberlimpahan harta warisan yang ia dapatkan atas sepeninggalan ayah dan ibunya, masih membuatnya tetap mededikasikan hidupnya kepada musik. Musik ialah hidupnya. Kebahagian, penghalang kedatangan malaikat maut.

Florence Foster Jenkins. Berapa banyak dari kita yang merasa rendah diri setelah mendengar ‘gelak-tawa’ atau kritikan dari orang lain ketika melakukan hal-hal yang membangkitkan antusiasme dan semangat terdalam kita? Seberapa sering kita bernyanyi lepas di kamar mandi karena tidak cukup percaya diri bernyanyi dihadapan orang banyak? Atau menari sendirian di kamar? Membiarkan alunan musik mengerakkan tubuh ini dengan sendirinya.

Siapa yang diuntungkan ketika prasangka dan pendapat, ternyata menghalau hasrat seseorang untuk menjalani kehidupan yang dia inginkan? Menghalangi lahirnya suatu kebahagian dalam kehidupan seseorang, karena realitas begitu arogan dalam menilai kapabilitas suatu individu.

Film yang mendapatkan nominasi Best Actress dan Best Costum Design pada helatan Academy Awards ke-89 ini, seolah mendedikasikan dirinya kepada siapapun di luar sana, yang memiliki antusiasme dan semangat akan suatu hal dalam hidupnya, namun dunia dengan begitu cepat menghancurkan itu semua.[]

Post tags:

Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UPI. Aktif di Teater Lakon.

You don't have permission to register